Efektivitas Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Konflik dan Keamanan langsung diuji
beberapa hari setelah diterbitkan. Mengacu pada rusuh pascapengumuman
pemenang Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), inpres ini
nyata-nyata tidak efektif menjaga stabilitas dan ketertiban umum. Ketika
memberi pembekalan pada rapat kerja pemerintah tahun 2013, Senin (28/1) di
Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumumkan, “Hari ini
saya mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2013…” Dengan terbitnya inpres ini,
Presiden minta aparat keamanan tidak ragu lagi bertindak dan Polri tidak
terlambat mengantisipasi gangguan keamanan.
Aparat
keamanan diberi wewenang menangani konflik komunal atau aksi kekerasan
dengan tegas dan tuntas. Tiga hari kemudian, tepatnya Kamis (31/1), situasi
keamanan dan ketertiban Kota Makassar tak menentu.Walaupun dikatakan masih
kondusif, suasana kota mencekam karena suhu politik sedang memanas
mengiringi rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel di sebuah hotel.
Hari itu warga Sulsel akan tahu siapa pemenang pemilihan gubernur yang
pemungutan suaranya dilaksanakan beberapa hari sebelumnya. Sekitar pukul
16.00 Wita, kerusuhan akhirnya meledak pascapleno rekapitulasi penghitungan
suara Pilkada Sulsel 2013. Ribuan orang bersenjata batu, parang, dan panah
terlibat bentrok. Beberapa kali terdengar bunyi tembakan. Ada tiga korban
luka dalam bentrokan antarmassa pendukung calon gubernur di Jalan
Lasinrang, Makassar.
Menurut calon
gubernur nomor urut satu, Ilham Arief Sirajuddin, kerusuhan pecah karena
polisi setempat tidak tegas. Keamanan dan ketertiban umum di Kota Makassar
memang sudah pulih.Tetapi,skala kerusuhan itu semestinya bisa diturunkan.
Karena itu, dalam konteks efektivitas dan implementasi Inpres No 2/2013,
rusuh di Makassar itu otomatis melahirkan pertanyaan tentang kesigapan dan
cara aparat keamanan setempat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang
tidak diinginkan. Mencegah bentrok antarkelompok massa atau memperkecil
skala kerusuhan, tentu akan jauh lebih baik dibandingkan dengan bertindak
melerai dua kelompok massa yang sedang menggelar bentrok berdarah.
Langkah
preventif itu diyakini sangat bisa dilakukan dan sudah pasti akan efektif
bila kepala daerah dan aparat keamanan setempat mengenali betul karakter
warga, membangun suasana dialogis dengan semua elemen masyarakat, dan
membangun kesadaran bersama akan pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban
umum. Selain itu, kepala daerah dan jajarannya hingga di tingkat kelurahan
serta RT/RW juga harus mau membangun sinergi dengan aparat keamanan pada
radius terdekat misalnya polsek atau pos polisi terdekat. Dengan pendekatan
yang sederhana seperti ini, jajaran pemerintah daerah dan aparat keamanan
setempat akan berkemampuan merekam dinamika masyarakat dari waktu ke waktu,
termasuk potensi gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum.
Dari rekaman
dinamika masyarakat itulah, kepala daerah dan pimpinan aparat keamanan
setempat bisa merumuskan langkah-langkah preventif guna menghilangkan
potensi bentrok antarkelompok warga. Begitu juga ketika harus menyiapkan
kekuatan dan peralatan sebagai antisipasi manakala bentrok antarkelompok
benar-benar tak dapat dihindarkan. Skala kerusuhan di Makassar mestinya
bisa diperkecil oleh jajaran pemda dan aparat keamanan setempat karena
sudah ada peristiwaperistiwa kecil yang mendahuluinya. Apalagi, latar
belakangnya terkait pelaksanaan dan hasil pilkada.Pengalaman mengajarkan
bahwa elemen warga yang tidak puas atas jalannya pilkada selalu saja ada,
melampiaskan ketidakpuasan mereka dengan caracara di luar koridor hukum.
Mencegah Konflik
Inpres No
2/2013 tentang Penanganan Konflik dan Keamanan memang dirasakan tidak
efektif menjaga stabilitas dan ketertiban umum di daerah rawan konflik
sebab inpres itu antisipasi. Ketika mengumumkan inpres itu,Presiden juga
menegaskan bahwa inpres baru ini bertujuan meningkatkan efektivitas
penanganan gangguan keamanan di seluruh Tanah Air. Sebagaimana penjelasan
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Inpres No 2/2013 memosisikan kepala
daerah sebagai koordinator penanganan konflik.
Aparatur negara
di wilayah konflik baru bergerak atau bekerja setelah konflik terjadi atau
di tengah bara konflik. Artinya, aparatur pemda dan keamanan setempat dalam
posisi menunggu terjadi konflik. Maka itu, Inpres No 2/2013 akan berfungsi
atau dijalankan saat konflik terjadi. Karena itu, Inpres No 2/2013 tidak
efektif untuk menjaga stabilitas dan ketertiban umum di wilayah rawan
konflik sebab idealnya aparatur pemda dan kepolisian daerah semestinya
proaktif mencegah konflik. Seharusnya Presiden melengkapi Inpres No 2/2013
dengan menerbitkan instruksi lain yang berisi perintah kepada semua kepala
daerah dan aparat keamanan daerah untuk proaktif mencegah konflik. Kalau
ada kepedulian dari pemerintah pusat dan daerah serta aparat keamanan pada
semua tingkatan, konflik horizontal dan aksi kekerasan bisa diminimalisasi.
Semua tragedi
konflik dan aksi kekerasan tidak terjadi tiba-tiba.Selalu saja ada
peristiwa yang mendahuluinya yang bisa di-jadikan dasar pertimbangan bagi
peme-rintah untuk melakukan tindakan preventif serta mengantisipasi
kemungkinan terburuk. Warga di daerah rawan konflik tidak ingin lagi
diselimuti perasaan waswas. Aparat keamanan pun sudah lelah melerai
konflik. Maka itu, kewajiban pemerintah mewujudkan keamanan dan ketertiban
umum harus diubah orientasinya. Bukan lagi melerai dengan pendekatan
keamanan, melainkan berorientasi pada langkah-langkah preventif, mencegah
terjadi gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Satu-satunya
cara adalah peningkatan kemampuan aparatur pemda dan keamanan daerah
merekam dinamika masyarakat di wilayahnya masing-masing. Dari dinamika
masyarakat itulah bisa muncul indikator-indikator tentang potensi gangguan
keamanan dan ketertiban umum. Apalagi, pemerintah sudah memiliki data
tentang daerah rawan konflik. Kementerian Dalam Negeri mencatat, per 2010
terdata 93 konflik dan per 2011 sebanyak 77 konflik.Pada periode
Januari–Agustus 2012 terjadi 89 konflik.
Sedangkan
menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dari 183 daerah
tertinggal, 143 di antaranya daerah rawan konflik. Maka itu, prioritas atau
upaya maksimal pencegahan konflik horizontal semestinya difokuskan pada
daerah-daerah yang telah terdata oleh Kemendagri dan Kementerian PDT itu. Aparatur
pemda dan keamanan daerah harus mau turun ke bawah, mendata potensi konflik,
mengupayakan dialog, serta mendorong pihak-pihak yang bertikai untuk
musyawarah mufakat. Kalau peran aparatur pemda dan keamanan daerah efektif
mencegah konflik horizontal, stabilitas, dan ketertiban umum di daerah,
otomatis terjaga alias kondusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar