Kamis, 21 Februari 2013

KPK (jangan) Tersandera


KPK (jangan) Tersandera
Ali Ri’fan Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SINAR HARAPAN, 20 Februari 2013


Kemunculan surat perintah penyidikan (sprindik) terkait status Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengundang banyak pertanyaan publik.
Apalagi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak langsung membantah dan membenarkan isi sprindik itu. Sontak masyarakat bertanya-tanya: Apakah sprindik itu memang benar milik KPK? Jika benar, lantas siapa yang membocorkannya?

Itu karena bocornya draf sprindik tersebut tak boleh dianggap sepele karena menyangkut marwah sebuah lembaga yang selama ini sangat dipercaya masyarakat. Apalagi, bocornya “dapur KPK” itu juga telah menyeret nama Istana Kepresidenan. Istana—dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—dituding memiliki kaitan dengan bocornya draf sprindik.

Hal tersebut karena sebelumnya, SBY yang juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat saat jumpa pers di Cikeas pernah mengungkapkan agar Anas Urbaningrum fokus terlebih dahulu terhadap masalah hukum. Seolah-olah asumsi yang muncul, SBY sudah tahu status Anas.

Pada titik inilah tudingan sekaligus suara miring ikhwal keterlibatan pendiri partai segitiga biru itu bermunculan sehingga suasana menjadi kian keruh. Mendengar kabar itu, SBY merasa tidak nyaman dan memerintahkan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha untuk mengklarifikasi tudingan tersebut.

Kejanggalan

Harus diakui, bocornya spirindik yang menggegerkan jagat media hari-hari ini mengundang sejumlah kejanggalan. Contoh kasat mata ialah tentang ketidakkompakan pemimpin KPK. Pemimpin KPK Abraham Samad, misalnya, pernah membenarkan sudah ada sprindik terkait status Anas dan sudah ditandatangani dua pemimpin KPK.
Tapi tak berselang lama, Abraham meralat ucapannya itu. Bahkan salah satu pemimpin KPK, Adnan Pandu Praja, yang sebelumnya memparaf draf tersebut selang sehari tiba-tiba mencabutnya dengan alasan belum adagelar perkara.

Memang harus diakui, dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi, KPK merupakan lembaga yang menerapkan asas kepastian hukum. Itulah sebabnya KPK sangat hati-hati ketika hendak memutus orang menjadi tersangka.
Artinya, jika salah sedikit saja memutus status seseorang, kredibilitas KPK taruhannya. Namun kehatian-hatian itu tentu saja harus disertai dengan kecepatan dan kekompakan. Itu karena dalam kasus Anas Urbaningrum ini, KPK terkesan lamban. Ketidakkompakan pun terlihat di sana sini.

Beberapa pemimpin KPK, misalnya, ada yang bilang bahwa nilai mobil Toyota Harrier yang diterima Anas dari kontraktor Hambalang kurang dari Rp 1 miliar. Ia berdalih KPK hanya mengusut kasus-kasus besar di atas Rp 1 miliar sesuai dengan amanat dan cita-cita dibentuknya lembaga KPK.

Sementara pemimpin lain berdalih bahwa lambatnya penanganan kasus Anas ini karena penyidik KPK masih mengejar bukti keterlibatan Anas dalam kasus yang lebih besar. Kesimpangsiuran penanganan kasus Anas ini menandakan bahwa soliditas para pemimpin KPK masih dipertanyakan.

Padahal, sebagai lembaga yang menganut sistem kolektif-kolegial, KPK seharusnya kompak. Terjadinya tarik-menarik di antara pemimpin KPK—apalagi disertai bocornya sprindik itu—bisa memunculkan anggapan bahwa lembaga antirasuah tersebut masih tersadera kepentingan politik.

Jangan Tersandera

Karena itu, sebelum terlambat KPK harus bergerak cepat dalam melakukan investigasi internal atas bocornya sprindik yang menggegerkan itu. Jika diperlukan, KPK mengundang orang-orang eksternal untuk ikut mengusut dalang pembocoran sprindik.
Yang mengkhawatirkan jika memang sprindik tersebut asli dan dibocorkan oleh oknum KPK, ini bisa menjadi preseden buruk ikhwal kredibilitas lembaga yang selama ini amat dikagumi masyarakat karena mampu membui para koruptor kelas kakap tanpa pandang bulu itu. Lebih menyedihkan lagi, tudingan bahwa KPK bisa dimainkan oleh kepentingan politik tertentu, bisa jadi, dibenarkan masyarakat. Ini jelas sangat berbahaya!
Itu karena sebagai lembaga luar biasa (superbody) yang diberi mandat penting di negeri ini, KPK tak boleh tersandera oleh kepentingan apa pun. KPK merupakan lembaga yang berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan yang langsung di bawah kekuasaan pemerintah. KPK adalah lembaga yang independen sekaligus bebas dari pengaruh mana pun.

Saking istimewanya, dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi, KPK memiliki cara-cara yang istimewa pula seperti melakukan koordinasi, supervisi, monitoring, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Bahkan dalam diri KPK melekat kewenangan penyadapan, penahanan, dan tidak boleh menghentikan kasus seperti mengeluarkan surat penghentian perkara (SP3).

Selain itu, KPK juga lembaga yang menganut asas keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Dalam menjalankan tugasnya, KPK dituntut teliti dan nihil dari penafsiran beragam, mampu beroperasi secara transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.

KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya tindak pidana korupsi. Artinya, KPK dibentuk bukan untuk gagal, apalagi menjadi lembaga yang melempem karena bisa disetir orang-orang tertentu.

Tindakan KPK harus jelas dan benderang, bukan dalam ranah abu-abu. Dengan kata lain,  
KPK mesti berjalan di atas kaki keadilan. Ini penting karena keadilan—seperti diungkapkan filsuf Yunani Socrates (470-399 SM)—merupakan nilai tertinggi dalam masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar