BERTAHUN-TAHUN ada gunjingan soal upaya pembangunan
keluarga sejahtera yang dimulai pada 1970, dengan secara resmi memperkecil
ukuran keluarga Indonesia melalui program Keluarga Berencana (KB), tapi itu
tidak digubris.
Akhirnya, dalam rapat koordinasi awal bulan ini, Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) dan Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) sebagai pembina menganjurkan agar langkah-langkah dan
kegiatan di masa lalu diteruskan dan tidak usah malu-malu untuk
mempergunakannya kembali. Langkah-langkah itu sesungguhnya merupakan
pengembangan program KB sebagai gerakan masyarakat, bukan seperti sekarang
seakan-akan pelaksanaan KB menjadi pekerjaan rutin yang dilakukan kalangan
yang terbatas.
Di masa awal, gerakan KB yang difokuskan pada upaya memperkecil
ukuran keluarga secara resmi telah selesai pada 1989, yaitu ketika Presiden
HM Soeharto memperoleh penghargaan UN
Population Award dari PBB sebagai negara dengan program terbaik
sedunia. Gerakan memperkecil ukuran anggota keluarga itu berubah menjadi
gerakan pembangunan keluarga sejahtera yang kemudian didukung dengan UU No
10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, dan bahkan menjadi acuan dunia sejak Konferensi Kependudukan
Dunia 1994 di Kairo, Mesir.
Dengan tetap gigih memperkecil ukuran keluarga Indonesia sejak awal
1990, beberapa bulan setelah penghargaan PBB diterima, gerakan Pembangunan
Keluarga secara tidak resmi dimulai. Komunitas yang KB-nya berhasil diberi
penghargaan berupa hadiah komunitas (community
incentive) untuk membantu keluarga yang sudah ber-KB membangun keluarga
sejahtera.
Para peserta KB diajak membangun ekonomi mikro dalam kelompok mereka,
diberi kelapa hibrida agar anak mereka yang tumbuh dewasa bisa panen dan
berpendapatan cukup untuk biaya sekolah atau hidup sejahtera. Insentif
komunitas diberikan kepada kelompok keluarga untuk membuka usaha ekonomi
produktif agar keluarga miskin membuka usaha ekonomi dalam kelompok mereka.
Pada 1993, setelah Hari Keluarga Nasional dideklarasikan, keluarga
Indonesia diajak bersatu menjadi bagian dari keluarga nasional yang hidup
rukun dalam Negara Kesatuan RI. Kehidupan keluarga nasional memperkuat
delapan fungsi keluarga yang Berketuhanan Yang Maha Esa, mendukung budaya
bangsa, cinta kasih sesamanya, me lindungi keluarganya, berKB dan menganut
budaya hidup sehat, memperkuat pendidikan, wirausaha, serta mengembangkan
lingkungan yang damai untuk keluarga yang hidup bahagia dan sejahtera.
Disepelekan
Pemberdayaan keluarga itu dilakukan secara cermat dengan mengajak
setiap keluarga berkembang secara mandiri. Dari sebelumnya keluarga
prasejahtera menjadi keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga
sejahtera III, dan akhirnya keluarga sejahtera III plus yang tidak saja
sejahtera, tetapi peduli terhadap sesamanya, utamanya kepada keluarga
prasejahtera. Gerakan pembangunan keluarga itu dilakukan dengan tetap gigih
memperjuangkan upaya memperkecil jumlah tanggung an dalam setiap keluarga.
Sayangnya, pada saat terjadi reformasi, keberhasilan gerakan yang
dianggap sebagai keberhasilan Orde Baru itu disepelekan. Program pendukung
gerakannya diubah menjadi program rutin suatu instansi dan bahkan dengan
sembrono diserahkan kepada daerah tanpa bimbingan yang sungguh-sungguh oleh
kantor pusatnya. Gerakan yang sudah mandiri dijadikan program yang kaku dan
kegiatan lembaga serta masyarakat luas seakan dipotong dan dianggap tidak
diperlukan.
Akibatnya tingkat fertilitas yang selama bertahun-tahun turun dari
tingkat 5,6 anak pada 1970-an menjadi 2,3 anak pada 2000-an naik lagi
menjadi 2,6 anak pada 2003 dan bertahan sampai 2012 pada tingkat yang sama.
Pemberdayaan keluarga prasejahtera menjadi keluarga sejahtera III plus
seakan tidak lagi diperlakukan sebagai gerakan dengan fasilitasi
pemerintah.
Pemerintah hanya melayani keluarga miskin saja dengan kontrasepsi
gratis. BKKBN yang dulunya didukung kuat oleh petugas lapangan KB tidak
lagi memberi bantuan yang berarti pada upaya pemberdayaan keluarga yang
dilakukan masyarakat luas, seperti gerakan pemberdayaan keluarga melalui
Posdaya yang dikembangkan bersama perguruan tinggi melalui kuliah kerja
nyata (KKN) tematik Posdaya di mana-mana.
Moto ‘Dua anak cukup’
diganti dan keyakinan keluarga kecil akan memperoleh akses usaha ekonomi
melalui insentif komunitas diputus sehingga keluarga Indonesia melirik
tambahan anak sebagai upaya menyelamatkan keluarga dalam menghadapi
kemiskinan yang kesenjangan yang makin menganga.
Pada akhir 2006, sesungguhnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
mengingatkan agar dilakukan revital isasi gerakan pembangunan keluarga oleh
BKKBN. Namun perintah itu disalahtafsirkan sebagai upaya memperkuat program
kontrasepsi semata. Dukungan untuk memperkuat delapan fungsi keluarga,
termasuk pendidikan dan wirausaha, agar jumlah keluarga yang kecil
benar-benar bisa dikembangkan menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera,
justru diabaikan.
Akibatnya upaya pembangunan keluarga, termasuk pengurangan
kemiskinan, bisa dianggap gagal, baik dalam mempertahankan ukuran keluarga
maupun dalam mengantarkan keluarga yang berukuran kecil menjadi keluarga
yang bahagia dan sejahtera.
Kini tiba waktunya untuk
kembali ke semangat 1989, ketika kita mendapatkan penghargaan PBB karena
upaya pemberdayaan keluarga dilakukan dengan memperkuat delapan fungsi
keluarga yang pada 2000 dikukuhkan sebagai pembangunan abad milenium,
dengan delapan sasaran. Semua itu sesungguhnya merupakan sasaran
pembangunan keluarga yang paripurna. Marilah kita sempurnakan pembangunan
kependudukan dan keluarga di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar