Sabtu, 16 Februari 2013

Menghidupkan Kembali Gerakan Keluarga Sejahtera


Menghidupkan Kembali 
Gerakan Keluarga Sejahtera
Haryono Suyono  Mantan Menko Kesra dan Taskin
MEDIA INDONESIA, 14 Februari 2013


BERTAHUN-TAHUN ada gunjingan soal upaya pembangunan keluarga sejahtera yang dimulai pada 1970, dengan secara resmi memperkecil ukuran keluarga Indonesia melalui program Keluarga Berencana (KB), tapi itu tidak digubris.

Akhirnya, dalam rapat koordinasi awal bulan ini, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai pembina menganjurkan agar langkah-langkah dan kegiatan di masa lalu diteruskan dan tidak usah malu-malu untuk mempergunakannya kembali. Langkah-langkah itu sesungguhnya merupakan pengembangan program KB sebagai gerakan masyarakat, bukan seperti sekarang seakan-akan pelaksanaan KB menjadi pekerjaan rutin yang dilakukan kalangan yang terbatas.

Di masa awal, gerakan KB yang difokuskan pada upaya memperkecil ukuran keluarga secara resmi telah selesai pada 1989, yaitu ketika Presiden HM Soeharto memperoleh penghargaan UN Population Award dari PBB sebagai negara dengan program terbaik sedunia. Gerakan memperkecil ukuran anggota keluarga itu berubah menjadi gerakan pembangunan keluarga sejahtera yang kemudian didukung dengan UU No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, dan bahkan menjadi acuan dunia sejak Konferensi Kependudukan Dunia 1994 di Kairo, Mesir.

Dengan tetap gigih memperkecil ukuran keluarga Indonesia sejak awal 1990, beberapa bulan setelah penghargaan PBB diterima, gerakan Pembangunan Keluarga secara tidak resmi dimulai. Komunitas yang KB-nya berhasil diberi penghargaan berupa hadiah komunitas (community incentive) untuk membantu keluarga yang sudah ber-KB membangun keluarga sejahtera.

Para peserta KB diajak membangun ekonomi mikro dalam kelompok mereka, diberi kelapa hibrida agar anak mereka yang tumbuh dewasa bisa panen dan berpendapatan cukup untuk biaya sekolah atau hidup sejahtera. Insentif komunitas diberikan kepada kelompok keluarga untuk membuka usaha ekonomi produktif agar keluarga miskin membuka usaha ekonomi dalam kelompok mereka.

Pada 1993, setelah Hari Keluarga Nasional dideklarasikan, keluarga Indonesia diajak bersatu menjadi bagian dari keluarga nasional yang hidup rukun dalam Negara Kesatuan RI. Kehidupan keluarga nasional memperkuat delapan fungsi keluarga yang Berketuhanan Yang Maha Esa, mendukung budaya bangsa, cinta kasih sesamanya, me lindungi keluarganya, berKB dan menganut budaya hidup sehat, memperkuat pendidikan, wirausaha, serta mengembangkan lingkungan yang damai untuk keluarga yang hidup bahagia dan sejahtera.

Disepelekan

Pemberdayaan keluarga itu dilakukan secara cermat dengan mengajak setiap keluarga berkembang secara mandiri. Dari sebelumnya keluarga prasejahtera menjadi keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan akhirnya keluarga sejahtera III plus yang tidak saja sejahtera, tetapi peduli terhadap sesamanya, utamanya kepada keluarga prasejahtera. Gerakan pembangunan keluarga itu dilakukan dengan tetap gigih memperjuangkan upaya memperkecil jumlah tanggung an dalam setiap keluarga.

Sayangnya, pada saat terjadi reformasi, keberhasilan gerakan yang dianggap sebagai keberhasilan Orde Baru itu disepelekan. Program pendukung gerakannya diubah menjadi program rutin suatu instansi dan bahkan dengan sembrono diserahkan kepada daerah tanpa bimbingan yang sungguh-sungguh oleh kantor pusatnya. Gerakan yang sudah mandiri dijadikan program yang kaku dan kegiatan lembaga serta masyarakat luas seakan dipotong dan dianggap tidak diperlukan.

Akibatnya tingkat fertilitas yang selama bertahun-tahun turun dari tingkat 5,6 anak pada 1970-an menjadi 2,3 anak pada 2000-an naik lagi menjadi 2,6 anak pada 2003 dan bertahan sampai 2012 pada tingkat yang sama. Pemberdayaan keluarga prasejahtera menjadi keluarga sejahtera III plus seakan tidak lagi diperlakukan sebagai gerakan dengan fasilitasi pemerintah.

Pemerintah hanya melayani keluarga miskin saja dengan kontrasepsi gratis. BKKBN yang dulunya didukung kuat oleh petugas lapangan KB tidak lagi memberi bantuan yang berarti pada upaya pemberdayaan keluarga yang dilakukan masyarakat luas, seperti gerakan pemberdayaan keluarga melalui Posdaya yang dikembangkan bersama perguruan tinggi melalui kuliah kerja nyata (KKN) tematik Posdaya di mana-mana.
Moto ‘Dua anak cukup’ diganti dan keyakinan keluarga kecil akan memperoleh akses usaha ekonomi melalui insentif komunitas diputus sehingga keluarga Indonesia melirik tambahan anak sebagai upaya menyelamatkan keluarga dalam menghadapi kemiskinan yang kesenjangan yang makin menganga.

Pada akhir 2006, sesungguhnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengingatkan agar dilakukan revital isasi gerakan pembangunan keluarga oleh BKKBN. Namun perintah itu disalahtafsirkan sebagai upaya memperkuat program kontrasepsi semata. Dukungan untuk memperkuat delapan fungsi keluarga, termasuk pendidikan dan wirausaha, agar jumlah keluarga yang kecil benar-benar bisa dikembangkan menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera, justru diabaikan.

Akibatnya upaya pembangunan keluarga, termasuk pengurangan kemiskinan, bisa dianggap gagal, baik dalam mempertahankan ukuran keluarga maupun dalam mengantarkan keluarga yang berukuran kecil menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Kini tiba waktunya untuk kembali ke semangat 1989, ketika kita mendapatkan penghargaan PBB karena upaya pemberdayaan keluarga dilakukan dengan memperkuat delapan fungsi keluarga yang pada 2000 dikukuhkan sebagai pembangunan abad milenium, dengan delapan sasaran. Semua itu sesungguhnya merupakan sasaran pembangunan keluarga yang paripurna. Marilah kita sempurnakan pembangunan kependudukan dan keluarga di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar