Sabtu, 16 Februari 2013

Save Partai Politik!


Save Partai Politik!
W Riawan Tjandra  Dosen FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum UGM
MEDIA INDONESIA, 14 Februari 2013


DISKURSUS publik mengenai partai politik dan kiprah mereka dalam ruang publik politis kian menguat. Wacana mengenai parpol dan dinamika peranan mereka dalam kehidupan sosial nyaris tak pernah terpisahkan dari isu soal korupsi dan konspirasi politik. Partai politik yang dalam UU mengenai partai politik (UU No 2 Tahun 2008 jo UU No 2 Tahun 2011) dinisbatkan mengemban fungsi pendidikan politik, representasi politik, partisipasi politik dan rekrutmen politik, justru sering mengontaminasi ruang publik politis dengan berbagai perilaku koruptif dan konspirasi politik.

Nyaris semua parpol tak lepas dari sirkulasi permainan transaksi politik yang berkelindan dengan politik uang dalam mencapai tujuantujuan politis mereka, yang menjadikan batas antara yang legal dan tak legal kian samar. Di negara kampiun demokrasi seperti Amerika pun, ternyata partai dalam sejarah ‘Negeri Paman Sam’ pernah juga dilihat sebagai penghalang demokrasi yang berpengaruh negatif terhadap politik Amerika di awal abad ini.

Partai pada masa itu dinilai telah mengalihkan pemilihan menjadi kompetisi semu. The true kingmaker memutuskan pemenangnya di balik pintu tertutup. Sebagai dampak dari fenomena tersebut, muncullah pandangan progresif yang melihat masalah kepartaian sebagai salah satu bagian dari program besar reformasi institusional, yang mencakup demokrasi langsung, pemilihan senator secara langsung, pemilihan pendahuluan langsung, dan hak pilih perempuan dan tuntutan terhadap pelayan publik/administrator yang tidak partisan.

Kelompok progresif di Amerika pada saat itu bahkan pernah melihat partai sebagai kekuatan yang merusak (obstructive forces) bagi realisasi kehendak umum (general will) para pemilih.

Saat ini, secara beruntun berbagai korupsi politik dan konspirasi partai terungkap di ruang publik. Partai yang menjadikan pemerintahan bersih dan di masa kampanye dengan lantang meneriakkan yel-yel antikorupsi ternyata terbelit oleh skandal korupsi politik yang berdampak terhadap krisis institusional dalam partai tersebut. Publik juga tak menduga di partai yang menggunakan simbol agama dan selama ini menjadi ikon partai bersih dan profesional, pucuk pimpin annya justru tersandung kasus gratifi kasi politik. 

Benarlah sinyalemen yang menyatakan saat ini pengungkapan berbagai kasus korupsi politik ibarat sebuah ‘arisan korupsi’. Tak satu pun partai bebas dari belitan korupsi politik sehingga terungkapnya berbagai modus operandi korupsi politik di dalamnya hanya tinggal menunggu giliran layaknya sebuah arisan.

Akar masalah dari terseretnya partai dalam berbagai kasus korupsi politik ialah sistem kontestasi politik melalui pemilu telah dikonstruksi menjadi proses demokrasi yang sangat mahal. Biaya politik untuk mendanai baik operasional partai maupun dalam pemilu nyaris sulit diterima dengan akal sehat. Yang lebih parah lagi, ruang public lagi, ruang publik politis sangat terbuka bagi manipulasi identitas diri melalui jargon dan slogan yang justru menggiring ke kondisi banalitas/pendangkalan politik.

Dampak dari demokrasi yang berbiaya sangat mahal untuk memenangi kontestasi politik di ruang publik politis merupakan sebuah pertaruhan politik yang berdampak pada kerugian materiil yang sangat besar bagi yang kalah. Partai yang memenangi kontestasi politik pun tak lepas dari jerat beban dana politik yang harus ditutup pascaterpilih melalui segala cara.

Akibatnya, berbagai modus operandi korupsi politik yang terungkap umumnya bermuara pada persoalan upaya untuk menutup utang dana politik tersebut. Skandal korupsi politik yang terungkap pada umumnya melibatkan triaktor: politikus, birokrat, dan pengusaha (hitam).

Hakikat dari keberadaan partai politik dalam sistem demokrasi sebenarnya tak dapat dilepaskan dari makna demokrasi dalam kehidupan publik. Fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, komunikasi politik, dan pengendalian konflik sering dilekatkan pada fungsi sebuah partai politik. Melalui rekrutmen politik, partai politik selama ini telah menghadirkan para pemimpin publik/negara dalam jabatan-jabatan publik dengan basis legitimasi politik untuk mengelola urusanurusan publik (res publica). Termasuk dalam cakupan tersebut ialah pengelolaan urusan-urusan parlemen di ranah legislasi, penganggaran, dan kontrol politik.

Fungsi partisipasi politik bagi warga yang dikanalisasi partai politik telah memungkinkan sinergi kepentingan publik dengan kebijakan. Di sisi lain, fungsi partisipasi politik bagi warga yang diperankan partai politik pada hakikatnya merupakan pilar utama demokrasi sipil yang membangun checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment pernah menyatakan, ketika segala sesuatu terperangkap dalam sistem komersial (termasuk komersialisasi politik), ia akan terpenjara dalam apa yang disebut sebagai industri kebudayaan yang melahirkan fasisme pikiran.

Dengan berkaca pada pandangan Adorno dan Horkheimer tersebut, kiranya layak untuk mencari akar masalah dari berbagai kasus korupsi politik dan konspirasi yang membelit partai politik pada sistem yang dikonstruksi negara yang selama ini telah menyebabkan terjadinya komersialisasi politik dan high cost democracy. Maka, mendesak waktunya untuk segera melakukan refleksi mendasar guna menyelesaikan akar masalah tersebut dan menyelaraskan kembali arah demokrasi di negeri ini dengan berkaca pada pemikiran-pemikiran para pendiri bangsa, salah satunya yang tecermin dalam Preambul Konstitusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar