DISKURSUS publik mengenai partai politik dan kiprah
mereka dalam ruang publik politis kian menguat. Wacana mengenai parpol dan
dinamika peranan mereka dalam kehidupan sosial nyaris tak pernah
terpisahkan dari isu soal korupsi dan konspirasi politik. Partai politik
yang dalam UU mengenai partai politik (UU No 2 Tahun 2008 jo UU No 2 Tahun
2011) dinisbatkan mengemban fungsi pendidikan politik, representasi
politik, partisipasi politik dan rekrutmen politik, justru sering
mengontaminasi ruang publik politis dengan berbagai perilaku koruptif dan
konspirasi politik.
Nyaris semua parpol tak lepas dari sirkulasi permainan transaksi
politik yang berkelindan dengan politik uang dalam mencapai tujuantujuan
politis mereka, yang menjadikan batas antara yang legal dan tak legal kian
samar. Di negara kampiun demokrasi seperti Amerika pun, ternyata partai
dalam sejarah ‘Negeri Paman Sam’ pernah juga dilihat sebagai penghalang
demokrasi yang berpengaruh negatif terhadap politik Amerika di awal abad
ini.
Partai pada masa itu dinilai telah mengalihkan pemilihan menjadi
kompetisi semu. The true kingmaker
memutuskan pemenangnya di balik pintu tertutup. Sebagai dampak dari
fenomena tersebut, muncullah pandangan progresif yang melihat masalah
kepartaian sebagai salah satu bagian dari program besar reformasi
institusional, yang mencakup demokrasi langsung, pemilihan senator secara
langsung, pemilihan pendahuluan langsung, dan hak pilih perempuan dan
tuntutan terhadap pelayan publik/administrator yang tidak partisan.
Kelompok progresif di Amerika pada saat itu bahkan pernah melihat
partai sebagai kekuatan yang merusak (obstructive
forces) bagi realisasi kehendak umum (general will) para pemilih.
Saat ini, secara beruntun berbagai korupsi politik dan konspirasi
partai terungkap di ruang publik. Partai yang menjadikan pemerintahan
bersih dan di masa kampanye dengan lantang meneriakkan yel-yel antikorupsi
ternyata terbelit oleh skandal korupsi politik yang berdampak terhadap
krisis institusional dalam partai tersebut. Publik juga tak menduga di
partai yang menggunakan simbol agama dan selama ini menjadi ikon partai bersih
dan profesional, pucuk pimpin annya justru tersandung kasus gratifi kasi
politik.
Benarlah sinyalemen yang menyatakan saat ini pengungkapan berbagai
kasus korupsi politik ibarat sebuah ‘arisan korupsi’. Tak satu pun partai
bebas dari belitan korupsi politik sehingga terungkapnya berbagai modus
operandi korupsi politik di dalamnya hanya tinggal menunggu giliran
layaknya sebuah arisan.
Akar masalah dari terseretnya partai dalam berbagai kasus korupsi
politik ialah sistem kontestasi politik melalui pemilu telah dikonstruksi
menjadi proses demokrasi yang sangat mahal. Biaya politik untuk mendanai
baik operasional partai maupun dalam pemilu nyaris sulit diterima dengan
akal sehat. Yang lebih parah lagi, ruang public lagi, ruang publik politis
sangat terbuka bagi manipulasi identitas diri melalui jargon dan slogan
yang justru menggiring ke kondisi banalitas/pendangkalan politik.
Dampak dari demokrasi yang berbiaya sangat mahal untuk memenangi
kontestasi politik di ruang publik politis merupakan sebuah pertaruhan
politik yang berdampak pada kerugian materiil yang sangat besar bagi yang
kalah. Partai yang memenangi kontestasi politik pun tak lepas dari jerat
beban dana politik yang harus ditutup pascaterpilih melalui segala cara.
Akibatnya, berbagai modus operandi korupsi politik yang terungkap
umumnya bermuara pada persoalan upaya untuk menutup utang dana politik
tersebut. Skandal korupsi politik yang terungkap pada umumnya melibatkan
triaktor: politikus, birokrat, dan pengusaha (hitam).
Hakikat dari keberadaan partai politik dalam sistem demokrasi
sebenarnya tak dapat dilepaskan dari makna demokrasi dalam kehidupan
publik. Fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, partisipasi politik,
komunikasi politik, dan pengendalian konflik sering dilekatkan pada fungsi
sebuah partai politik. Melalui rekrutmen politik, partai politik selama ini
telah menghadirkan para pemimpin publik/negara dalam jabatan-jabatan publik
dengan basis legitimasi politik untuk mengelola urusanurusan publik (res publica). Termasuk dalam cakupan
tersebut ialah pengelolaan urusan-urusan parlemen di ranah legislasi,
penganggaran, dan kontrol politik.
Fungsi partisipasi politik bagi warga yang dikanalisasi partai
politik telah memungkinkan sinergi kepentingan publik dengan kebijakan. Di
sisi lain, fungsi partisipasi politik bagi warga yang diperankan partai
politik pada hakikatnya merupakan pilar utama demokrasi sipil yang
membangun checks and balances
dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment pernah menyatakan, ketika segala
sesuatu terperangkap dalam sistem komersial (termasuk komersialisasi
politik), ia akan terpenjara dalam apa yang disebut sebagai industri
kebudayaan yang melahirkan fasisme pikiran.
Dengan berkaca pada pandangan Adorno dan Horkheimer tersebut, kiranya
layak untuk mencari akar masalah dari berbagai kasus korupsi politik dan
konspirasi yang membelit partai politik pada sistem yang dikonstruksi
negara yang selama ini telah menyebabkan terjadinya komersialisasi politik
dan high cost democracy. Maka,
mendesak waktunya untuk segera melakukan refleksi mendasar guna menyelesaikan
akar masalah tersebut dan menyelaraskan kembali arah demokrasi di negeri
ini dengan berkaca pada pemikiran-pemikiran para pendiri bangsa, salah
satunya yang tecermin dalam Preambul
Konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar