Mencemaskan
KPK yang Tergagap
Misranto ; Guru Besar dan Rektor Universitas Merdeka Pasuruan
|
|
JAWA
POS, 15 Februari 2013
KPK penuh adegan mencengangkan belakangan ini. Abraham Samad pada Jumat siang (8/2) menyebut
penetapan status Anas Urbaningrum (sebagai tersangka) tinggal
menunggu waktu. Pasalnya, semua pimpinan telah sepakat. Sebelum ungkapan
ketua KPK itu terbukti, malah dokumen yang diduga surat perintah penyidikan
(sprindik) Anas sebagai tersangka bocor ke
mana-mana.
Dalam dokumen yang diteken pimpinan KPK, Abraham Samad, Zulkarnain, dan Adnan Pandu Praja itu, Anas (selaku legislator DPR 2009-2014) menjadi
tersangka. Tetapi, pihak KPK malah menduga sprindik itu palsu karena dalam
dokumen yang tersebar itu tidak ada penomoran sprindik.
Ada apa sebenarnya dalam tubuh KPK? Mengapa sprindik
''palsu'' bisa keluar? Bukankah yang mengenal sprindik hanya orang dalam
KPK? Boleh jadi produsen dan pengedar sprindik ''palsu'' sudah lelah
melihat kasus Anas dominan di tataran wacana sehingga perlu dipercepat
dengan gerakan bermodus pemalsuan.
Kasus Anas memang membuat KPK tertampar. Jati Diri koran
ini (12/2) sampai mengingatkan supaya KPK tidak ''munduk-munduk'' (membungkuk)
kepada penguasa. Peringatan itu berelasi dengan pernyataan ketua KPK yang
ada gelagat bermain politik dalam menyikapi kasus Anas.
Sikap itu bisa ditafsirkan institusi fundamental tersebut
tergelincir dalam permainan politik atau larut dalam ''pasar'' perkara.
Akibatnya, mereka gagap dan gamang dalam menentukan sikap independen dan
bersikap atas basis pada kebenaran fakta hukum (legal fact).
Dalam logika, konstruksi fakta hukum sudah jelas. Jika
memang menurut temuan awal mengindikasikan adanya keterlibatan Anas dalam
kasus Hambalang, KPK bisa langsung menentukan status Anas sebagai
tersangka. Jika tidak ada fakta hukum yang mengarah kepada Anas, KPK
menegaskan saja Anas belum berstatus tersangka.
KPK yang tidak tegas itu bisa simetris dengan sikap tidak
independen. KPK sedang menunggu momentum untuk menentukan sikap terhadap
Anas dan bukan karena adanya fakta hukum. Kebergantungan KPK kepada irama
pergulatan politik yang melibatkan Anas sebagai aktor, atau barangkali
petunjuk dari seseorang telah membuatnya keluar dari khitah historis sebagai lembaga hukum yang independen.
Indikasi tereduksinya kekuatan KPK itu dapat terbaca
lewat kurang kompaknya penyikapan terhadap Anas.
KPK berisi sekumpulan pejuang yang tidak kecil nyali
dalam menghadapi kekuatan koruptor model apa pun. Bahkan, KPK mempercepat
pemberantasan kasus korupsi.
Ketika KPK hanya setengah hati atau tidak maksimal dalam
menunjukkan daya juangnya pada koruptor, tidak perlu elemen bangsa ini
berharap banyak kepada kemajuan dan pencerahan.
Terbitnya sprindik ''palsu'' tidak bisa dianggap sepele.
Kasus tersebut wajib diperlakukan sebagai bagian dari duri peran KPK dan
eksaminasi atas sikap politik KPK yang sedang menangani politikus kuat. KPK
bisa dibilang sedang ''kebobolan'' atau terkena pola ''terorisasi'' dalam
manajemen yudisialnya. Bagaimana mungkin lembaga fundamental itu mampu
melawan dan mengalahkan koruptor kalau perang melawan penyakit yang
bersumber dari dirinya tidak mampu dieliminasi atau dikalahkan. Karena itu,
pengusutan atas kebocoran dokumen tersebut perlu dituntaskan dan hasilnya
dilaporkan kepada publik.
Ada suatu pepatah berbunyi: the danger
of small mistakes is that those mistakes are not always small atau
bahaya kesalahan-kesalahan kecil adalah kesalahan-kesalahan itu tidak
selalu kecil (Imam KH, 2008). Pepatah itu mengingatkan KPK bahwa kesalahan
yang sering dianggap sebagai persoalan kecil bisa mengakibatkan kesalahan
yang lebih besar. Bersamaan dengan kesalahan itu, persoalannya bisa menjadi
besar sehingga kesalahan kecil pun harus segera dibetulkan jika tidak ingin
menjadi petaka struktural kemanusiaan atau noda bagi keadilan.
Di negeri ini, seringnya terjadi bencana besar atau
mengental dan mengumpalnya penyakit yang menimpa dalam jagat peradilan
tidaklah terlepas dari kesalahan kecil yang nyaris selalu dianggap sebagai
penyakit kecil yang penyakit itu tidak perlu disembuhkan atau dianggap
sebatas ''mainan''. Toleransi dan pemaafnya kepada masalah kecil lambat
laun menjadi penyakit yang menggunung dan mengompilasi, serta menghegemoni.
Kalau sudah begitu, berbagai bentuk obat yang diandalkan
untuk menyembuhkan tidak mempan. Jagat bersih dan sakral yang diidamkan
membumi di tengah masyarakat tidak pula bisa diwujudkan karena diamuk oleh
berbagai kompilasi penyakit yang terus berjaya dan menunjukkan
kedaulatannya. Kedaulatan yang ditunjukkan koruptor atau politisi
bermasalah adalah contohnya. KPK jangan menjadi gumpalan penyakit baru
dalam jagat peradilan, tapi sebagai dokter penyembuh.
Selama ini sepak terjang KPK dinilai menjadi pintu
pembuka lahirnya model praktik hukum berkeadaban baru. Itu bagian dari
obsesi dan investasi besar dalam mengonstruksi pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. Dengan berpegang pada kredo itu, seharusnya KPK tidak perlu
sampai gagap dalam menyikapi kasus Anas.
Anas hanya menjadi bagian kecil dari problem dugaan kasus
korupsi yang idealnya menjadi ujian moral dan profesionalitas KPK untuk
memantapkan langkah dan memajukan kinerjanya. Dan, bukannya malah
terperangkap masuk lingkaran ''penjara politik''. Keterpenjaraan KPK tidak
hanya mengorbankan citra KPK, tetapi juga mengorbankan berlaksa pencari
keadilan. Karena itu, jaga independensi dan militansi KPK. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar