Baru-baru
ini, Kemendikbud mengumumkan bahwa pelajaran agama dan budi pekerti akan
mendapatkan alokasi empat jam pelajaran setiap minggunya. Perubahan nama
dari sebelumnya pelajaran agama menjadi pelajaran agama dan budi pekerti
adalah suatu tanda yang bagus.
Hal ini
tentunya bukan hanya terkait dengan alokasi sebagian jam pelajaran kepada
pelajaran budi pekerti, melainkan juga seharusnya diartikan sebagai pengorientasian
pelajaran agama kepada pengembangan budi pekerti atau akhlak. Dalam
kenyataannya, Rasul SAW sendiri dengan tegas menyatakan bahwa satu-satunya
(innama) misi pengurusannya
sebagai nabi untuk menyempurnakan keluhuran akhlak.
Sejalan dengan
itu, dijelaskan Alquran bahwa beliau diutus hanyalah untuk menebarkan kasih
sayang kepada semesta alam. Lagi-lagi, di dalam ayat Alquran ini digunakan
struktur gramatikal yang menunjukkan sifat eksklusif misi pengutusan Nabi.
Sejalan
dengan itu, terlalu banyak ayat Alquran juga hadis yang menunjukkan bahwa
di dalam struktur ajaran Islam, pendidikan akhlak adalah yang terpenting.
Penguatan akidah adalah dasar. Sementara, ibadah adalah sarana sedangkan
tujuan akhirnya adalah pengembangan akhlak mulia.
Nah,
pertanyannya, seperti apakah akhlak yang baik itu? Akhlak yang baik tentu
saja adalah akhlak sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW
sendiri. Tak kurang Allah SWT menyebut keindahan semesta alam raya dengan
menyatakan keindahannya pendek dan kecil, menyebut akhlak Nabi sebagai
agung.
Bahkan, akhlak
yang baik sesungguhnya harus mencontoh akhlak Allah SWT karena Nabi SAW
mengajarkan kepada kita agar berakhlak dengan akhlak Allah. Sejalan dengan
ini, mudah dipahami bahwa akhlak Nabi yang agung itu adalah akhlak Allah.
Maka, pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah sesungguhnya akhlak Allah dan
akhlak Nabi tersebut?
Akhlak Allah
identik dengan sifat- sifat-Nya dan sifat-sifat-Nya identik dengan nama-nama-Nya
yang baik (al- asma'al-husna). Nah,
nama-nama-Nya yang baik, menurut banyak urafa
(para arif bijaksana dalam ajaran Islam), sesungguhnya berpangkal pada
sifat kasih sayang-Nya.
Dalam
ungkapan Bi'smil-LaHir-
Rahmanir-Rahim, ism (nama)
Allah yang merupakan nama penggabung (dari seluruh namanya, al-ism al-jami') dikaitkan dengan
dua ism yang kedua-duanya
bermakna kasih sayang. Di dalam sebuah ayat, Allah berfirman, "Kasih sayang-Ku meliputi segala
sesuatu." (QS al-A'raf [7]: 156). Dengan kata lain, sifat-sifatnya
yang lain tunduk atau didasari pada sifat kasih sayang-Nya itu.
Persis
demikian juga sifat Nabi-Nya, Muhammad SAW. Di dalam Alquran, Allah
menyifati Nabi-Nya dengan ungkapan azizun
`alayhi ma `anittum, harisun
`alaikum, bil-mu'minina ra'ufur-rahim (sangat prihatin terhadap kesulitan-kesulitan
yang menimpa kalian semua, sangat menginginkan kebaikan bagi kalian, dan
khusus terhadap kaum beriman, dia sangat santun dan sayang.
(QS at-Taubah [9]: 128).
Di ayat lain
dinyatakan bahwa "karena kasih
sayang Allah, dia bersikap sangat halus/lembut." Maka, sekali lagi
sudah dipahami bahwa sifatnya yang lain--misal asyidda'u `alal-kuffar (keras terhadap orang-orang yang
menutupi kebenaran, QS al-Fath [48]: 29)--tertundukkan kepada kasih sayang
dan kelembutannya.
Dengan dasar-dasar
seperti inilah, menurut penulis, agama dan budi pekerti harus diajarkan.
Agama yang diorientasikan kepada akhlak yang mulia, agama yang
diorientasikan ke pada pendidikan manusia-manusia yang penuh kasih sayang,
yang berakhlak dengan akhlak Allah dan akhlak Rasul-Nya.
Manusia-manusia
ini bukan hanya penuh kasih sayang kepada sesama Muslim, melainkan kepada semua
manusia, bahkan kepada segenap unsur alam semesta. Akhlak seperti inilah
yang seharusnya melembari seluruh kandungan pelajaran agama. Yakni, hanya
akhlak mulia yang dipenuhi dengan sifat kasih sayang sajalah yang bisa
menjadi bukti kekuatan akidah dan kebaikan ibadah.
Tanpa
kesadaran ini, penulis khawatir bahwa penambahan jam pelajaran agama justru
akan dipenuhi semata-mata dengan kisah-kisah peperangan dan ketegangan yang
justru dapat menyalahpahamkan pemahaman siswa.
Atau, berupa pelajaran-pelajaran tata cara beribadah legal-formalistik dan
bersifat hafalan yang kosong dari makna batinnya sebagai dasar pengembangan
akhlak mulia.
Dan, untuk
memperkuat orientasi ini, hendaknya empat jam pelajaran yang telah
ditetapkan untuk mata pelajaran agama dan budi pekerti ini juga
dialokasikan kepada praktik-praktik konkret di tengah masyarakat dan bukan
hanya teori-teori yang bersifat kognitif belaka. Praktik-praktik mengembangkan
akhlak kasih sayang dengan terlibat di dalam upaya-upaya membantu
orang-orang lemah, justru akan lebih menyentuh aspek afektif (sikap batin)
dan psikomotorik (habit) siswa
didik, serta lebih memungkinkan mata pelajaran ini mencapai tujuan
pengajarannya sesuai falsafah pendidikan agama Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar