SALAH seorang tokoh perusahaan keluarga (family business) di Indonesia, Siti Hartati Murdaya Poo, presiden
direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP), akhirnya divonis Pengadilan
Tipikor Jakarta Selatan 2 tahun 8 bulan penjara plus denda Rp 150 juta atas
kasus suap PT HIP kepada Bupati Buol (Sulawesi Tengah) Amran Batalipu.
Kasus ini berawal dari tertangkapnya General Manager PT HIP Anshori setelah
melakukan transaksi suap dengan Amran. Suap bernilai Rp 3 miliar itu
bertujuan untuk memuluskan pengurusan hak guna usaha (HGU) lahan kelapa
sawit di Buol.
Kasus Hartati merupakan pelajaran berharga bagi semua
keluarga yang memiliki usaha supaya lebih berhati-hati dalam memosisikan
perusahaan dalam mengambil keputusan manajerial. Perusahaan keluarga yang
sudah berperan besar dalam pembangunan ekonomi di republik ini perlu
dilindungi dan dicegah dari perbuatan nista suap. Berdasar data Family
Business Network (FBN), sekitar 90 persen perusahaan di Indonesia adalah
milik keluarga (family business). Perusahaan keluarga telah ikut menyumbang
24 persen GDP kita.
Anggota keluarga di perusahaan keluarga umumnya bertindak
sebagai pemilik (owner), direksi, komisaris, dan staf (dalam rangka
pengaderan). Mereka bisa saja terseret kasus hukum yang dilakukan
bawahan-bawahannya (vide pasal 1367 KUH Perdata). Bahkan, berdasar pasal 3
(c) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), pemegang saham
ikut bertanggung jawab atas kerugian atau kesalahan perusahaan jika ia
terlibat dalam perbuatan melawan hukum oleh perseroan itu. Bawahan bisa
saja mengakui bahwa tindakannya sudah sepengetahuan atau atas perintah
pemilik dan direksi.
Menurut UU PT, direksi bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai anggaran dasar
(vide pasal 1). Lalu, pasal 3 UU PT juga menyatakan bahwa pemegang saham
perseroan (catatan: yang tidak melakukan intervensi) tidak bertanggung
jawab secara pribadi atas tindakan atas nama perseroan. Dengan kata lain,
PT memiliki karakter private entity yang sejak disahkan sebagai badan
hukum memiliki tanggung jawab mandiri.
Jadi, keluarga yang bertindak sebagai pemilik (pemegang
saham) sebenarnya tidak perlu berperan secara langsung dalam operasional
perusahaan, termasuk melanggar hukum dengan menyuap birokrat pemerintah.
Mereka hanya berhak atas dividen dan penentuan arah kebijakan umum
perusahaan lewat rapat umum pemegang saham (RUPS). Juga, meminta
pertanggungjawaban direksi dan komisaris lewat RUPS atas semua tindakan
manajerialnya. Jika perusahaan merugi atau mendapat tuntutan hukum akibat
ulah direksi beserta jajarannya, direksi dan bawahannya bisa segera
dirombak oleh RUPS.
Bahkan, jika ada utang perseroan yang tidak mampu dibayar
perusahaan, keluarga tidak lagi ikut bertanggung jawab atas utang tersebut.
Sebab, harta keluarga sudah terpisah dari harta perusahaan. Itulah
keistimewaan perusahaan keluarga yang berbadan hukum. Namun, situasinya
bisa berbeda jika anggota keluarga terlibat langsung di manajemen sebagai
direksi, manajer, atau staf dalam perseroan. Misalnya, Hartati berposisi
sebagai presiden direktur. Itu berarti dia bertanggung jawab langsung
terhadap semua tindakan perusahaan.
Good Corporate Governance
Karena itu, apabila keluarga ingin perusahaannya terus
berkembang dan terhindar dari masalah hukum, keluarga perlu berkomitmen
tinggi terhadap tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG).
Pertama, pentingnya transparansi dalam pengambilan keputusan, pemilihan
direksi dan komisaris (sesuai kapasitas dan profesionalitas), serta
pelaporan kondisi perusahaan kepadastakeholders. Kedua,
akuntabilitas seluruh organ perusahaan demi efektivitas perusahaan. Ketiga,
kepatuhan manajemen terhadap hukum.
Keempat, kemandirian manajemen perusahaan keluarga.
Intervensi anggota keluarga yang bisa berujung pada perbuatan melawan hukum
perlu dihindari. Juga, keadilan perusahaan dalam memenuhi hak-hakstakeholder sesuai perjanjian atau aturan
yang ada. Dengan begitu, perusahaan keluarga dapat meningkatkan laba tanpa
bermasalah hukum serta mampu menyediakan barang/jasa yang bermutu tinggi
bagi masyarakat. Penerapan prinsip GCG otomatis akan meningkatkan nilai
perusahaan (citra baik di masyarakat), efisiensi, dan efektivitas kinerja
dewan direksi dan komisaris.
Di luar perusahaan pun, anggota keluarga sebaiknya
menjauhi perbuatan tidak terpuji yang bertentangan dengan norma. Selain
itu, anggota keluarga yang juga pemegang saham sebaiknya tidak melakukan
bisnis dengan perusahaan sendiri yang bisa menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat atau iklim usaha yang tidak kondusif. Etikanya, manajemen
perusahaan keluarga diharapkan terlebih dahulu mengabdi kepada kepentingan
perusahaan, bukan kepada para anggota keluarga pemilik secara serampangan.
Manajemen perusahaan jangan sampai digiring ke praktik
bisnis yang tidak profesional demi kepentingan pragmatis yang membuat pola
manajerialnya kacau atau menyimpang. Keadaan perusahaan keluarga yang tidak
bertahan lama ke generasi berikutnya atau terjerumus ke masalah hukum
sebenarnya merupakan manifestasi dari tata kelola perusahaan yang tidak
baik karena dominannya intervensi anggota keluarga terhadap manajemen
perusahaan. Bahkan, ada tindakan bisnis perusahaan keluarga yang diwarnai
dengan praktik suap ke birokrat pemerintah dengan sepengetahuan pemilik
atau diperintah pemilik. Sehingga, manajemen lupa bertanggung jawab atas
kewajiban hukum dan kelestarian lingkungan.
Jadi, apabila perusahaan keluarga dikelola dengan baik
sesuai prinsip GCG, keluarga sebagai pemilik maupun pengelola akan banyak diuntungkan.
Selain laba yang bisa terus naik, anggota keluarga akan terhindar dari
persoalan hukum. Perusahaan keluarga yang sudah berbentuk perseroan identik
dengan manusia buatan (artificial person) yang secara hukum dapat berfungsi seperti
manusia biasa. Ia butuh kemandirian dalam bertindak, terutama dalam membuat
keputusan manajerial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar