Rabu, 06 Februari 2013

Arah Industri Pertahanan


Arah Industri Pertahanan
Harry Kuffal ;  Direktur Utama PT Dahana (BUMN)
REPUBLIKA, 04 Februari 2013

  
Ada dua peristiwa penting pada awal 2013 tentang industri pertahanan. Pertama adalah laporan CSIS tentang tren pasar pertahanan di Eropa dan kedua adalah persetujuan Kongres atas Anggaran Belanja Amerika Serikat (AS) untuk 2013.
CSIS melaporkan penurunan pembelanjaan pertahanan di 37 negara Eropa dari 263,1 miliar euro pada 2001 menjadi 220 miliar euro pada 2011. Kondisi ini berdampak pada banyak hal yang membuat perusahaan yang terkait pertahanan mengarahkan pasarnya ke Timur Tengah, Asia, dan Amerika Latin.

Peristiwa kedua saat Kongres AS pada 1 Januari 2013 dengan alasan fiscal cliff berkompromi menyetujui anggaran belanja 3.800 miliar dolar AS, termasuk 672 miliar dolar AS anggaran pertahanan. Sangat mudah menduga bahwa kedua hal tersebut berakibat pada `serbuan' penawaran produk industri pertahanan AS dan Eropa kepada Indonesia yang sedang `mempercepat' langkah menuju minimum essential force.

Kebetulan dengan alasan yang sama sekali berbeda, pada Oktober 2012, DPR menyetujui UU Industri Pertahanan yang sebenarnya merupakan tonggak sejarah baru. Pada 1980, pemerintah mengkaji dan merekomendasikan beberapa perusahaan/lembaga yang dikategorikan sebagai industri pertahanan, strategis, dan dikelola oleh Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) berdasarkan Kepres 44/1989.

Sejak itu, dikenal 10 BUMN Industri Strategis, yaitu IPTN, PAL Indonesia, Pindad, Dahana, INTI, LEN Industri, INKA, Barata Indonesia, Boma Bisma Indra (BBI), dan Krakatau Steel (KS). Saat ini, bertambah dengan Dok Perkapalan Surabaya (DPS), Dok Kodja Bahari (DKB), serta Industri Kapal Indonesia (IKI).

Sebenarnya, dari segi manajerial dan finansial, industri strategis Indonesia sampai 1998 memiliki performa yang baik. Kondisinya menjadi terpuruk karena IMF dengan memanfaatkan krisis ekonomi mempersyaratkan penghentian bantuan ataupun program penguasaan teknologi kedirgantaraan dan maritim, serta pengadaan pemerintah dari industri strategis. Bahkan, pada 2002, PT BPIS sebagai holdingindustri strategis dibubarkan.

Setelah 10 tahun tercerai-berai, data terakhir menunjukkan, beberapa berhasil bangkit dan pulih kondisinya, seperti Dahana, Pindad, LEN, dan INTI. Beberapa lainnya, seperti INKA, Barata, DPS, DKB, dan IKI, mulai menorehkan laba dan bahkan KS sudah melesat menjadi perusahaan terbuka (publik) dan berpotensi menjadi holdingraksasa di bidang besi dan baja. Sementara, BBI, PAL, dan Dirgantara Indonesia (d/h IPTN) masih tidak sehat dan merugi.

Industri strategis dan pertahanan saat ini mengalami stagnasi karena kehilangan arah. Berbagai inisiasi dilakukan untuk merevitalisasi industri ini, namun kerumitan pembangunan industri pertahanan dan strategis yang sehat tecermin dalam dua sudut pandang utama.

Pertama, sisi permintaan (demand), pemerintah merupakan konsumen tunggal atau disebut monopsoni. Berbagai masalah muncul, seperti keterbatasan anggaran, birokrasi yang rumit, kepercayaan yang rendah, dan yang lainnya.

Kedua, dari penawaran (supply). Industri pertahanan Indonesia pada umumnya tidak sehat. Kita bisa belajar dari AS yang pada awal perang dingin 1950-an "terkejut" dengan keberhasilan Uni Soviet meluncurkan wahana antariksa. Semangat untuk mengejar dikumandangkan Presiden Kennedy yang menyatukan bangsa AS dengan mencanangkan pergi ke Bulan pada dekade itu menjadi program nasional.

Konsekuensinya, semua sumber daya dikerahkan dengan sangat fokus dan terpadu. Hasilnya, Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang ke Bulan pada 1969. Tetapi, yang luar biasa ada lah dampaknya terhadap semua bidang teknologi yang dikembangkan untuk mendukung program nasional itu. Industri pertahanan AS segera mengembangkan aplikasi teknologi untuk matra darat, laut, dan udara karena biaya litbang mereka sudah ditanggung oleh program nasional mendaratkan manusia di Bulan.

Jelas sekali industri pertahanan AS menikmati subsidi tidak langsung dengan mendapatkan penghasilan dari R/D (litbang). Subsidi dan kemudahan tersebut tentu tidak bisa dibandingkan dengan perlakuan pemerintah terhadap industri pertahanan di Indonesia yang justru membubarkan BPIS pada 2002.

Pada 9 Desember 2009, kepada pemangku kepentingan di bidang industri pertahanan, Presiden SBY menyampaikan arahan untuk mendayagunakan industri pertahanan. Dengan adanya payung UU dan arahan Presiden yang jelas, Kementerian Pertahanan seharusnya mampu mengoordinasikan fungsi pengadaan alutsista dengan sekaligus mengembangan industri pertahanan dalam negeri.
Dalam jangka pendek (lima tahun), pemerintah harus memanfaatkan kapasitas dan kemampuan produksi industri pertahanan melalui mekanisme offset, seperti countertrade, joint production, dan transfer teknologi yang terukur.

Untuk jangka menengah, pengguna TNI/Polri harus memberikan masukan dan mengevaluasi produk yang sedang dikembangkan sesuai kebutuhan. Dalam jangka panjang, pengguna dan industri pertahanan harus secara bersama mengkaji kebutuhan produk baru.

Konsolidasi Langkah lainnya adalah penguatan struktur industri strategis untuk perbaikan kinerja finansial dan SDM di mana satu-satunya pilihan yang harus dipertimbangkan adalah konsolidasi industri. Alternatif konsolidasi yang bisa dilakukan adalah perusahaan di bidang yang lebih dekat dengan produksi alut- sista/almatsus, seperti Pindad, Dahana, LEN, INTI, dan DI, di dalam satu holding industri dirgantara dan pertahanan seperti EADS di Eropa.

Sementara, perusahaan, seperti PAL, DPS, IKI, BBI, Barata, DKB, dan INKA, dapat bergabung dalam sebuah holding industri berat dan perkapalan seperti halnya Hyundai Heavy Industries yang saat ini terbesar di dunia. Dengan dua holdingbaru dan didukung oleh holding KS di bidang bahan baku besi dan baja, dipastikan akan tercipta sinergi dari sisi manajerial dan kemampuan pendanaan kegiatan R/D yang dapat dikelola secara terpadu sehingga beban masing-masing perusahaan berkurang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar