Ada dua peristiwa
penting pada awal 2013 tentang industri pertahanan. Pertama adalah laporan
CSIS tentang tren pasar pertahanan di Eropa dan kedua adalah persetujuan
Kongres atas Anggaran Belanja Amerika Serikat (AS) untuk 2013.
CSIS melaporkan
penurunan pembelanjaan pertahanan di 37 negara Eropa dari 263,1 miliar euro
pada 2001 menjadi 220 miliar euro pada 2011. Kondisi ini berdampak pada
banyak hal yang membuat perusahaan yang terkait pertahanan mengarahkan
pasarnya ke Timur Tengah, Asia, dan Amerika Latin.
Peristiwa kedua saat Kongres AS pada 1 Januari 2013 dengan alasan fiscal cliff berkompromi menyetujui
anggaran belanja 3.800 miliar dolar AS, termasuk 672 miliar dolar AS
anggaran pertahanan. Sangat mudah menduga bahwa kedua hal tersebut
berakibat pada `serbuan' penawaran produk industri pertahanan AS dan Eropa
kepada Indonesia yang sedang `mempercepat' langkah menuju minimum essential force.
Kebetulan dengan
alasan yang sama sekali berbeda, pada Oktober 2012, DPR menyetujui UU
Industri Pertahanan yang sebenarnya merupakan tonggak sejarah baru. Pada
1980, pemerintah mengkaji dan merekomendasikan beberapa perusahaan/lembaga
yang dikategorikan sebagai industri pertahanan, strategis, dan dikelola
oleh Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) berdasarkan Kepres 44/1989.
Sejak itu, dikenal
10 BUMN Industri Strategis, yaitu IPTN, PAL Indonesia, Pindad, Dahana,
INTI, LEN Industri, INKA, Barata Indonesia, Boma Bisma Indra (BBI), dan
Krakatau Steel (KS). Saat ini, bertambah dengan Dok Perkapalan Surabaya
(DPS), Dok Kodja Bahari (DKB), serta Industri Kapal Indonesia (IKI).
Sebenarnya, dari
segi manajerial dan finansial, industri strategis Indonesia sampai 1998
memiliki performa yang baik. Kondisinya menjadi terpuruk karena IMF dengan
memanfaatkan krisis ekonomi mempersyaratkan penghentian bantuan ataupun
program penguasaan teknologi kedirgantaraan dan maritim, serta pengadaan
pemerintah dari industri strategis. Bahkan, pada 2002, PT BPIS sebagai
holdingindustri strategis dibubarkan.
Setelah 10 tahun
tercerai-berai, data terakhir menunjukkan, beberapa berhasil bangkit dan
pulih kondisinya, seperti Dahana, Pindad, LEN, dan INTI. Beberapa lainnya,
seperti INKA, Barata, DPS, DKB, dan IKI, mulai menorehkan laba dan bahkan
KS sudah melesat menjadi perusahaan terbuka (publik) dan berpotensi menjadi
holdingraksasa di bidang besi dan baja. Sementara, BBI, PAL, dan Dirgantara
Indonesia (d/h IPTN) masih tidak sehat dan merugi.
Industri strategis
dan pertahanan saat ini mengalami stagnasi karena kehilangan arah. Berbagai
inisiasi dilakukan untuk merevitalisasi industri ini, namun kerumitan
pembangunan industri pertahanan dan strategis yang sehat tecermin dalam dua
sudut pandang utama.
Pertama, sisi
permintaan (demand), pemerintah
merupakan konsumen tunggal atau disebut monopsoni. Berbagai masalah muncul,
seperti keterbatasan anggaran, birokrasi yang rumit, kepercayaan yang
rendah, dan yang lainnya.
Kedua, dari penawaran (supply).
Industri pertahanan Indonesia pada umumnya tidak sehat. Kita bisa
belajar dari AS yang pada awal perang dingin 1950-an "terkejut" dengan
keberhasilan Uni Soviet meluncurkan wahana antariksa. Semangat untuk
mengejar dikumandangkan Presiden Kennedy yang menyatukan bangsa AS dengan
mencanangkan pergi ke Bulan pada dekade itu menjadi program nasional.
Konsekuensinya,
semua sumber daya dikerahkan dengan sangat fokus dan terpadu. Hasilnya, Neil
Armstrong menjadi manusia pertama yang ke Bulan pada 1969. Tetapi, yang
luar biasa ada lah dampaknya terhadap semua bidang teknologi yang
dikembangkan untuk mendukung program nasional itu. Industri pertahanan AS
segera mengembangkan aplikasi teknologi untuk matra darat, laut, dan udara
karena biaya litbang mereka sudah ditanggung oleh program nasional
mendaratkan manusia di Bulan.
Jelas sekali
industri pertahanan AS menikmati subsidi tidak langsung dengan mendapatkan
penghasilan dari R/D (litbang). Subsidi dan kemudahan tersebut tentu tidak
bisa dibandingkan dengan perlakuan pemerintah terhadap industri pertahanan
di Indonesia yang justru membubarkan BPIS pada 2002.
Pada 9 Desember
2009, kepada pemangku kepentingan di bidang industri pertahanan, Presiden
SBY menyampaikan arahan untuk mendayagunakan industri pertahanan. Dengan
adanya payung UU dan arahan Presiden yang jelas, Kementerian Pertahanan
seharusnya mampu mengoordinasikan fungsi pengadaan alutsista dengan
sekaligus mengembangan industri pertahanan dalam negeri.
Dalam jangka pendek
(lima tahun), pemerintah harus memanfaatkan kapasitas dan kemampuan
produksi industri pertahanan melalui mekanisme offset, seperti countertrade,
joint production, dan transfer teknologi yang terukur.
Untuk jangka menengah, pengguna TNI/Polri harus memberikan masukan dan
mengevaluasi produk yang sedang dikembangkan sesuai kebutuhan. Dalam jangka
panjang, pengguna dan industri pertahanan harus secara bersama mengkaji
kebutuhan produk baru.
Konsolidasi Langkah
lainnya adalah penguatan struktur industri strategis untuk perbaikan
kinerja finansial dan SDM di mana satu-satunya pilihan yang harus
dipertimbangkan adalah konsolidasi industri. Alternatif konsolidasi yang
bisa dilakukan adalah perusahaan di bidang yang lebih dekat dengan produksi
alut- sista/almatsus, seperti Pindad, Dahana, LEN, INTI, dan DI, di dalam
satu holding industri dirgantara
dan pertahanan seperti EADS di Eropa.
Sementara,
perusahaan, seperti PAL, DPS, IKI, BBI, Barata, DKB, dan INKA, dapat
bergabung dalam sebuah holding industri berat dan perkapalan seperti halnya
Hyundai Heavy Industries yang
saat ini terbesar di dunia. Dengan dua holdingbaru dan didukung oleh holding KS di bidang bahan baku besi
dan baja, dipastikan akan tercipta sinergi dari sisi manajerial dan
kemampuan pendanaan kegiatan R/D yang dapat dikelola secara terpadu
sehingga beban masing-masing perusahaan berkurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar