Selasa, 19 Februari 2013

Membidik Kebocoran Sprindik


Membidik Kebocoran Sprindik
Hifdzil Alim Peneliti dari Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM
SUARA MERDEKA, 18 Februari 2013


SURAT yang diduga berisi perintah penyidikan terhadap Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, bocor ke media. Sampai saat ini belum jelas benar apakah surat itu sengaja dibocorkan atau tidak. Namun melihat sebuah institusi besar seperti KPK, agak mustahil rasanya surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) itu tidak dengan sengaja bocor. Jika demikian, pertanyaannya adalah siapa yang membocorkan dan apa motifnya?

Setelah Susilo Bambang Yudhyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, berpidato mengenai situasi terakhir,  tampaknya lahir dua kubu dalam internal partai. Satu kubu seakan-akan pro dengan sikap Yudhoyono. Kubu satunya seperti berdiri kukuh di belakang Anas. Ada aroma perang antara ketua majelis tinggi dan ketua umum, yang setelah pidato itu berada pada posisi wakil ketua majelis tinggi.

Dari informasi yang beredar lewat media, ada sangkaan keterlibatan staf khusus presiden dalam kasus kebocoran sprindik Anas (SM, 15/02/13). Keterangan ini makin me­nguatkan anggapan jangan-jangan sprindik itu memang sengaja dibocorkan.
Motifnya sederhana, pertama; bila sudah diketahui oleh publik bahwa sebenarnya ada keyakinan di antara pimpinan KPK mengenai status Anas maka dorongan kepada komisi antikorupsi itu  untuk memer­karakan Anas akan mengalir sangat deras.

Mau tidak mau KPK harus mengikuti arus kemauan masyarakat. Pasalnya, bila komisi itu menempatkan diri pada posisi vis a vis terhadap rakyat, niscaya tidak akan bernasib baik. Bukankah selama ini rakyatlah yang berada di belakang KPK ketika lembaga antikorupsi itu dirongrong oleh banyak kekuatan busuk? Kebocoran sprindik itu bakal menggiring KPK ke jalan persidangan Anas.

Namun patut pula memikirkan, kelihatannya ada motif kedua yang mungkin kurang terbaca yakni, Anas beruntung atau diuntungkan. Bagaimana bisa? Kebocoran sprindik yang ditengarai dilakukan oleh aktor di lingkaran Yudhoyono membuat Anas berada pada kursi sosok yang terzalimi. Pada titik inilah sebenarnya Anas sangat diuntungkan.

Masih ingat politik terzalimi Yudhoyono yang kala itu di bawah mantan Presiden Me­gawati sebelum Pemilihan Umum 2004? Tanpa diperkirakan sebelumnya, Yudhoyono melejit memenangi kontentasi pemilihan presiden karena salah satunya adalah ada politik terzalimi. Begitulah adanya sekarang. Kasus kebocoran sprindik Anas, menurut saya, apakah kebetulan atau telah direncanakan, terjadi juga menjelang Pemilu 2014.

Jadi sebenarnya, dengan kebocoran sprin­dik itu, permainan politiknya adalah ingin mengerek suara Partai Demokrat, baik melalui sikap Yudhoyono yang ingin bersih-bersih partai dari korupsi atau melalui posisi terzaliminya Anas. Artinya, jangan-jangan kebocoran sprindik Anas memang diskena­riokan dari awal.

Dugaan korupsi Anas sudah menjadi bahan obrolan tiap kalangan masyarakat. Bahkan, hampir semua media cetak ataupun elektronik meliput dan meng-up-date berita terkait dugaan itu. Dalam situasi kebocoran sprindik dan status pemeriksaan tersangka korupsi, saya ingin mengajak pembaca untuk tidak terseret dalam arus politik elite Demokrat. Kita mesti menggunakan kacamata hukum untuk membaca situasi supaya tidak terjebak dalam permainan yang dirangkai oleh elite partai.

Tiga Kriteria

Kita harus membidik kebocoran sprindik secara tepat, sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada tiga hal yang harus digarisbawahi. Pertama; katakan kalau kebocoran sprindik adalah bagian dari skenario dan ada oknum yang membocorkan, tuntutan hukum terhadap pembocor dokumen patut diajukan. Langkah menggelar pemeriksaan etik terhadap pimpinan KPK atau staf internal komisi antikorupsi itu penting digelar. Tujuannya supaya ke depan tidak terjadi lagi kasus serupa.

Kedua; dalam menetapkan seorang sebagai tersangka korupsi, secara hukum acara pidana, minimal cukup diberikan dua alat bukti. Berdasarkan putusan Nazaruddin Nomor 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST dugaan kasus gratifikasi terhadap Anas terjadi antara waktu Agustus dan September 2010. Kalau pada waktu itu, Anas masih menjadi anggota DPR maka unsur Pasal 12B Ayat (1) Huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 bisa digunakan untuk menjeratnya. Keterangan saksi dan surat jual beli mobil dapat dipakai sebagai bukti.

Ketiga; tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak memeriksa kasus Anas. Berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, ada tiga kriteria kasus yang bisa ditangani badan antirasuah tersebut. Kasus korupsi itu melibatkan aparat hukum atau penyelenggara negara atau orang yang terkait dengan keduanya, atau kasus korupsi itu mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, atau kasus itu menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Andaikan nilai gratifikasi dalam dugaan kasus korupsi Anas tidak mencapai angka Rp 1 miliar, masih ada celah lain untuk memer­karakannya.
Bukankah kita, sebagai masyarakat, resah dibuatnya, dan ini cukup sebagai dasar untuk melanjutkan pemeriksaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar