Selasa, 19 Februari 2013

Mengurai Kemelut Impor Daging Sapi


Mengurai Kemelut Impor Daging Sapi
Purbayu Budi Santosa Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip
SUARA MERDEKA, 18 Februari 2013


"Pemerintah harus segera menyelesaikan kemelut impor daging untuk mewujudkan swasembada daging 2014"

BELUM hilang memori kolektif rakyat Indonesia tentang impor beras di tengah surplus komoditas pangan itu. Kejadian ''aneh'' itu disusul kelangkaan kedelai karena kemenurunan pasokan impor, dan berdampak pada harga melambung tinggi. Kini meledak skandal daging impor. Kasus yang terakhir ini diperparah oleh ulah petinggi partai politik yang diduga ikut mengatur kuota dan penentuan pengimpor, tentu dengan imbalan menggiurkan.

Dari berbagai kasus tersebut, kita bisa melihat banyak pihak, termasuk penyelenggara negara dan petinggi partai, masih senang menerabas jalan asal mencapai tujuan.
Mereka menebalkan budaya menghalalkan segala cara, hedonisme, dan materialisme, bahkan menjadikannya sebagai pedoman. Keadaan ini selaras dengan hasil penelitian UIN Syarif Hida­yatullah Jakarta beberapa waktu lalu yang menyimpulkan bahwa di Indonesia ibadah vertikal tidak berkorelasi dengan ibadah horizontal.

Mafia impor daging begitu mudah dilakukan karena dalam kondisi surplus beras saja, dapat dilakukan impor. Apalagi rencana swasembada daging baru dilaksanakan tahun 2014. Karena baru rencana, berarti masih boleh menerabas dan itu kesempatan. Anggapan seperti ini menggambarkan kekacauan penanganan masalah pangan dan pertanian di negeri ini. Karena itu, beberapa pihak memprediksi target swasembada daging tahun 2014 sulit tercapai.

Melihat dari ranah ekonomi politik, berbagai kasus impor itu tak lepas dari teori perburuan rente yang dilakukan oleh segelintir orang demi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Tahun 2013 merupakan tahun persiapan Pileg dan Pilpres 2014 sehingga butuh dana besar untuk pemenangan.

Celah-celah perolehan rente dapat dilakukan lewat berbagai cara, dan salah satunya mengimpor, semisal impor daging sapi. Penunjukan perusahaan pengimpor  tidak terlepas dari teori perburuan rente tersebut.

Konsumen yang akhirnya menjadi korban mengingat kartel sudah memainkan harga komoditas itu. Tak mengherankan bila harga daging sapi di Indonesia paling mahal di dunia.  Sekarang harga komoditas itu sudah hampir Rp 100 ribu/kg, padahal di Malaysia hanya sekitar Rp 50 ribu, Singapura dan Thailand antara Rp 40 ribu dan Rp 50 ribu, sama seperti harga di Australia, pusat daging sapi.

Petani dan peternak sapi di negara kita juga dirugikan pula karena komoditas impor itu lebih baik dalam banyak hal, termasuk harga yang kompetitif. Perilaku pemburu rente itu berdampak buruk pada upaya pemberdayaan petani dalam negeri. Mereka akan melihat keuntungan sangat besar dari mengimpor, ketimbang repot memproduksi sendiri.

Praktik mafia daging impor ataupun berbagai bentuk pelanggaran hukum lain tidak dapat dibiarkan karena mmbahayakan kelangsungan hidup berbang­sa dan bernegara. Karena itu karut-marut impor daging harus cepat diselesaikan. Penegakan hukum sangatlah penting, dan kita bisa belajar dari banyak negara yang dulu penuh onak korupsi kini bisa bang­kit, hidup bersih dan maju, lewat penegakan hukum yang berkeadilan.

Komitmen Pemerintah   

Dalam bidang pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan) kita juga bisa belajar dari negara lain. Amerika Serikat, Jepang, dan China, yang kini industri manufakturnya menguasai dunia, mengawali dari kemajuan sektor pertanian.

Vietnam yang baru saja terlepas dari krisis politik, dapat mengejar ketertinggalan dalam pembangunan, dengan menggenjot pembangunan sektor pertanian.

Thailand, yang juga dulu belajar pertanian dari Indonesia, sekarang lebih maju karena pemerintah benar-benar komit memajukan berbagai subsektor pertanian. Petani di Negeri Gajah Putih itu hanya diminta berkonsentrasi dalam proses produksi, sementara negara dan instansi terkait, memfasilitasi, mendukung, dan mengawal kegiatan petani. Sinergitas antara petani dan pemerintah membuat hasil pertanian mereka menjadi luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Pemerintah, wakil rakyat, dan pengusaha, termasuk penegak hukum, harus segera menyelesaikan kemelut impor daging untuk bisa mewujudkan program swasembada daging 2014. Kata kuncinya adalah cinta kepada Tuhan yang dimanifestasikan dalam wujud cinta kepada Tanah Air.  Komitmen dan integritas tinggi harus tetap tertuju kepada rakyat kecil, salah satunya tertuju pada kesejahteraan petani, termasuk peternak.

Pertumbuhan populasi sapi pada sentra penghasil daging sapi, seperti di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Papua saat ini cukup baik. Bila  pemerintah bisa de­ngan cepat membasmi praktik mafia impor daging sapi, diikuti dengan pemberdayaan peternak, termasuk di Jateng, serta perbaikan sarana dan prasarana transportasi maka masih ada waktu untuk mewujudkan swasembada daging.

Dengan berswasembada, konsumsi daging akan meningkat dan rakyat negeri ini menjadi makin sehat dan lebih produktif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar