Selain karena faktor
biaya politik tinggi, hulu dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota
DPR terkini juga disebabkan oleh lubang hitam dalam pembahasan anggaran.
Lubang hitam itu berwujud asimetris informasi dan diskresi fungsi anggaran.
Asimetris informasi pembahasan anggaran
masih kerap terjadi pada rapat-rapat yang bersifat tertutup. Baik rapat di
luar gedung DPR ataupun pembahasan rincian anggaran antarkomisi dan mitra
kerja pasca-paripurna penetapan anggaran.
Pada lingkup komisi sendiri, tidak semua
anggota komisi DPR peduli atau punya kapasitas dalam membahas anggaran
mitra kerjanya. Beredar anggapan, urusan pembahasan anggaran jadi urusan
pimpinan komisi dan anggota Badan Anggaran di komisi tersebut. Pada
praktiknya, persetujuan rincian anggaran lebih banyak diketahui oleh
anggota Badan Anggaran dan pimpinan komisi.
Konteksnya dengan diskresi. Memang UU
menjamin fungsi anggaran DPR untuk membahas RAPBN, mengubah dari sisi
penerimaan ataupun pengeluaran sepanjang tidak melebihi defisit. Dari hasil
pembahasan asumsi ekonomi makro, optimalisasi pendapatan negara, dan
efisiensi belanja inilah diperoleh sejumlah dana optimalisasi.
Persoalannya, dana optimalisasi ini tidak memiliki pengaturan peruntukan
alokasinya dan baru diputuskan menjelang akhir pembahasan anggaran oleh
Badan Anggaran.
Pada sisi lain DPR tidak memiliki
kapasitas dan bukan merupakan domainnya masuk ke ranah perencanaan kegiatan
dan anggarannya. Alhasil, yang terjadi adalah alokasi anggaran baru yang
menimbulkan ruang ”bancakan” anggaran. Kasus dana penyesuaian infrastruktur
daerah merupakan alokasi anggaran baru. Begitu pula dengan kasus tambahan
anggaran pengadaan Al Quran yang berasal dari tambahan dana optimalisasi.
Kasus dana optimalisasi di Kementerian
Pertahanan yang diblokir Kementerian Keuangan juga mengonfirmasi hal ini.
Di satu sisi tersedianya dana optimalisasi di ujung pembahasan anggaran.
Sementara di sisi lain, kementerian/lembaga yang memperoleh tambahan dana
optimalisasi belum siap dengan rincian anggaran dan kegiatan yang akan
dilakukan.
Hal inilah yang menjadi sebab pembahasan
anggaran masih berlangsung meskipun APBN telah diparipurnakan, ataupun
memberikan tanda bintang pada anggaran karena dianggap belum selesai
pembahasannya, rincian, atau belum dilengkapi dengan kerangka kegiatan.
DPR ataupun Kementerian Keuangan tidak
diperkenankan memblokir anggaran. UU Keuangan Negara dan UU MPR, DPR, DPD,
dan DPRD menyatakan, APBN yang disetujui DPR terinci menurut organisasi,
fungsi, jenis, dan program kegiatan.
Pemblokiran anggaran ini juga membuka
ruang terjadinya ”penggiringan” proyek. Kementerian/lembaga terpaksa perlu
melakukan lobi-lobi informal ataupun menggunakan perantara agar tanda
bintang bisa dicabut oleh anggota Badan Anggaran dan pimpinan komisi. Tentu
dengan konsensi tertentu. Tercatat per 4 Januari 2012 masih terdapat Rp
79,6 triliun anggaran yang diblokir DPR.
DPR Terjebak
Fungsi anggaran DPR saat ini terjebak
membahas detail proyek sehingga melupakan perannya yang lebih subtantif.
Traumatik fungsi anggaran, ”stempel” anggaran, dan lemahnya kapasitas
membuat DPR cenderung fokus membahas detail anggaran daripada kebijakan
fiskal dan arah strategi anggaran (Blondal, Hawkesworth, Choi, 2009).
Dibandingkan negara-negara anggota Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD), DPR terlibat lebih detail dan memiliki kesempatan pada
proses penganggaran.
Jika parlemen berharap memegang
akuntabilitas pemerintah terhadap kinerja keluaran dan hasil, parlemen
harus menghindari masukan anggaran yang sangat detail (Lienert, 2010). DPR
tak akan mampu membahas seluruh detail mata anggaran. Ada puluhan ribu mata
anggaran setiap tahunnya dan ribuan satuan kerja yang tersebar di berbagai
kementerian/lembaga.
Namun, DPR tak punya kapasitas untuk
fokus pada kinerja anggaran yang bersifat kerangka pengeluaran jangka
menengah untuk menandingi eksekutif yang memiliki infrastruktur dan
keahlian yang jauh lebih baik. DPR seharusnya mengkritisi kinerja dari
program-program yang diajukan pemerintah. Misal, apakah anggaran yang dialokasikan
pada program-program kemiskinan efektif mengatasi kemiskinan? DPR tidak
punya kajian yang bisa menandingi eksekutif.
Kebutuhan akan sistem pendukung yang
memadai, seperti kantor anggaran yang bersifat independen (parlemen budget office), mampu mendukung
kapasitas DPR untuk lebih fokus pada pembahasan kinerja, prakiraan maju,
dan konsistensi kerangka pengeluaran jangka menengah, serta
kegiatan-kegiatan yang bersifat inisiatif baru. Kaitannya dengan dana
optimalisasi, pembicaraan pendahuluan APBN yang membahas asumsi ekonomi
makro dan pagu anggaran seharusnya jadi keputusan final. Jika terdapat dana
optimalisasi, sejak awal bisa dibahas oleh komisi dan mitra kerjanya.
Dengan begitu, tak ada alasan lagi untuk membintangi anggaran dan membahas
anggaran pasca-paripurna penetapan APBN.
Badan Anggaran akan berperan sebagai
”polisi” yang memastikan komisi tidak melebihi atau menggeser anggaran ke
kementerian/lembaga lain. Dengan model seperti ini, anggota Badan Anggaran
tidak perlu sebanyak seperti saat ini. Model ini dipergunakan parlemen
Swedia yang mirip dan bisa diadopsi oleh Indonesia.
DPR harus segera menutup lubang hitam
pembahasan anggaran jika tidak mau terus-menerus terjebak membahas detail
proyek yang rawan godaan untuk memperoleh rente anggaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar