Satu tahun mendekati
pemilu, fenomena politisi lompat parpol kembali terjadi. Dengan jumlah
parpol peserta pemilu yang hanya sepuluh, hal tersebut akan terasa lebih
kental. Terutama akibat begitu banyaknya politisi dari parpol yang gagal
ikut pemilu berusaha mencari ”rumah baru” untuk bertarung di 2014.
Fenomena ini terjadi di hampir semua
demokrasi, tetapi apa yang terjadi di Indonesia perlu mendapat catatan
tersendiri akibat pola perpindahan yang dinamis dan cenderung massal.
Kejadian yang sama umum terjadi di
perusahaan. Eksekutif dengan mudah berpindah dari satu perusahaan ke
perusahaan lain karena pragmatisme perusahaan yang lebih mengutamakan
kontribusi para eksekutif bagi perusahaan. Perusahaan tak mengenal sekat
ideologi. Kinerja mereka terdefinisi dengan jelas, yaitu berapa profit
perusahaan atau nilai tambah ekonomi yang diberikan kepada pemegang saham
yang terefleksi dalam harga saham.
Jika hal yang sama terjadi di dunia
politik, kita patut khawatir. Ketiadaan perbedaan ideologi yang jelas
adalah masalah serius mengingat idealnya partai didirikan untuk
memperjuangkan suatu pemikiran tertentu, bukan karena pragmatisme dan ego
semata.
Politisi lompat partai ini mengakibatkan
rekam jejak kinerja para politisi menjadi kabur. Dampaknya, semakin sulit
bagi rakyat untuk membedakan mana politisi yang ingin memajukan demokrasi
dan mereka yang hanya ingin menumpang hidup dalam sistem demokrasi.
Padahal, kualitas politisi merupakan pilar penting kualitas demokrasi.
Kalaupun ada kriteria pemilihan politisi,
parameter yang dipergunakan cenderung bias ke kepentingan partai, yaitu
berapa banyak modal yang mereka bawa. Sudah barang tentu, parameter
tersebut jauh dari menggambarkan aspirasi pemangku kepentingan utama parpol
dalam sebuah demokrasi, yaitu masyarakat pemilih. Konsekuensinya, tak ada
jaminan bagi konstituen kepentingan mereka akan terwujud atau minimal
diperjuangkan.
Sepertinya proses korporatisasi partai
politik sedang terjadi. Parpol berperilaku sebagaimana perusahaan. Menariknya,
ada sebagian parpol yang mengarah pada format perusahaan keluarga di mana
kekuasaan tertinggi ada di tangan pendiri atau generasi pewarisnya. Meski
cenderung lebih mudah menjaga visi pendiri, perusahaan keluarga umumnya
mengalami kendala defisit kepemimpinan dan ide segar.
Problem utama mereka untuk tumbuh adalah
keterbatasan suplai eksekutif puncak yang berkualitas yang berasal dari
kalangan keluarga. Pertumbuhan perusahaan pun akan terganggu. Dengan kata
lain, parpol yang cenderung mengambil format ini dalam jangka panjang akan
jadi kurang relevan dan sulit berkembang.
Parpol dan Rental
Mobil
Jika benar proses korporatisasi parpol
telah dan sedang terjadi, tentunya akan sangat menarik untuk mencermati
bisnis model apa yang selama ini jadi acuan sebagian parpol. Silih Agung
Wisesa, seorang pakar pemasaran dan komunikasi politik, pernah melakukan
studi. Hasilnya cukup mengejutkan. Calon gubernur dan calon bupati harus
mengeluarkan dana hingga Rp 200 miliar dan Rp 6 miliar untuk bisa menjadi
kandidat yang layak diperhitungkan. Dana tersebut untuk ”membeli” dukungan
partai dan mendanai berbagai kebutuhan kampanye.
Mengaca pada berbagai pemilihan kepala
daerah, tampaknya model bisnis sebagian parpol di Indonesia mendekati model
bisnis rental mobil. Siapa pun bisa menyewa mobil untuk dikendarai menuju
tujuan tertentu asalkan membayar uang sewa yang besarnya tergantung dari
jenis mobil. Kalau satu mobil dirasa tak mencukupi, penyewa bisa melakukan
koalisi dengan menyewa beberapa mobil sekaligus.
Setelah mendapatkan mobil, penyewa harus
mencari sopir dan kernet, mengisi bensin, lalu membeli GPS atau menyewa
pemandu (tour guide). Dalam konteks pemilihan kepala daerah, calon gubernur
atau calon bupati harus membentuk tim sukses termasuk membiayai keperluan
logistik mereka serta menyewa konsultan politik untuk melakukan survei dan
menyusun strategi pemenangan, karena parpol umumnya tak menyediakannya.
Tak hanya itu, ketika semuanya sudah
siap, sendirian si penyewa harus mencari penumpang karena mayoritas parpol
tak punya konstituen yang loyal. Dengan kata lain, calon gubernur atau
calon bupati harus berjuang dari pintu ke pintu, mengumpulkan masa, dan
memasang iklan di berbagai media untuk meraih dukungan pemilih. Suatu
proses yang melelahkan dan mahal.
Keberanian Menghentikan
Bisnis model inilah yang menyebabkan
demokrasi di Indonesia sangat mahal dan elitis. Hanya mereka yang punya
sumber dana saja yang berkesempatan tampil dalam pentas politik.
Dikombinasikan dengan rendahnya pemahaman
rakyat terhadap para kandidat membuat demokrasi kita sangat berpotensi
untuk memilih sosok pemimpin yang salah. Perlu keberanian parpol untuk
menghentikan proses korporatisasi ini dengan lebih menonjolkan ideologi dan
memodifikasi bisnis modelnya. Mereka harus berani mencalonkan tokoh yang
layak dipilih karena faktor kompetensi dan dedikasi, bukan faktor amunisi.
Partai bersangkutan barangkali tak
menerima upeti dari para kandidat, tetapi ia akan mendapatkan manfaat
berupa peningkatan popularitas dan elektabilitas. Pada gilirannya, hal ini
akan menurunkan biaya yang dibutuhkan partai dalam memenangi kompetisi
demokrasi. Sejatinya, menurunkan biaya sama dengan menaikkan pendapatan.
Hanya dengan keberanian partai mengambil
sikap, kita dapat mengakhiri demokrasi rental mobil di Indonesia. Keberanian
ini tak hanya akan meninggikan martabat parpol, tetapi juga akan melahirkan
demokrasi yang terjangkau dan mampu menghasilkan politisi atau pemimpin
terbaik.
Tampaknya proses ini sudah dimulai oleh
sebagian partai, baik di pemilihan kepala daerah DKI Jakarta maupun Jawa
Barat. Tren ini harus terus digulirkan ke seluruh Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar