Para ilmuwan tanpa mengenal lelah
telah meneliti berbagai faktor penting yang berkontribusi pada kesuksesan
hidup. Mereka tertarik mencari faktor penentu yang secara signifikan bisa
digunakan untuk memprediksi sukses kehidupan.
Dari penelitian itu ditemukanlah
faktor-faktor penting yang ikut menyumbang kesuksesan seseorang.
Faktor-faktor penentu sukses itu akhirnya diterjemahkan oleh para ahli
pendidikan ke dalam kurikulum dan program pembelajaran.
Pendek kata, dengan ditemukannya
faktor penentu sukses itu, dunia pendidikan juga ikut berlomba-lomba dan
berkontemplasi untuk merumuskan filosofi, paradigma, strategi, dan
metodologi pembelajaran. Pada gilirannya, rumusan itu digunakan untuk
mengonstruksi kurikulum yang mampu memberi bekal ilmu dan pengetahuan
kepada peserta didik untuk mendaki kesuksesan hidup.
Faktor signifikan yang telah
mendapat perhatian luas untuk memprediksi sukses seseorang, antara lain intelligence quotient (IQ,
kecerdasan otak) dan emotional
quotient (EQ, kecerdasan emosional). Kecerdasan yang disebut terakhir,
oleh penemunya, Daniel Goleman (1995), diberi nama emotional intelligence, bukan emotional quotient.
Kelahiran EQ membuat arah baru
pendidikan secara luas. Sebab, dalam banyak penelitian terbukti IQ tak lagi
menjadi satu-satunya prediktor sukses peserta didik di masa datang.
Sebelum muncul EQ, IQ-lah yang
didewa-dewakan dunia pendidikan untuk mempermudah pekerjaan pembelajaran
dalam memberi bekal atau virus sukses peserta didik atau bahkan mahasiswa
sekalipun. Implikasinya, pengembangan kurikulum hampir di seluruh dunia
pada era jayanya IQ selalu berorientasi pada upaya bagaimana mengemas
program pembelajaran yang bisa memberikan kecerdasan otak secara maksimal
kepada para peserta didik.
Setelah EQ ditemukan oleh Goleman,
kurikulum serta-merta harus dan mutlak memperhatikan faktor-faktor
non-kognitif, seperti kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, pengendalian
emosi, dan memahami emosi orang lain. Bahkan, Goleman mengklaim IQ hanya
berkontribusi 20 persen terhadap kesuksesan peserta didik setelah mereka
hidup dalam masyarakat nantinya. Ternyata 80 persen justru ditentukan oleh
faktor lain di luar IQ, di mana EQ masuk di dalamnya secara signifikan.
Oleh karena itu, jika suatu bangsa
ingin membuat kurikulum yang bisa mengantarkan para peserta didik jadi
orang sukses, kurikulum itu juga harus memberikan menu belajar yang
mencakup aspek lain selain kecerdasan, seperti sikap, perilaku,
kepribadian, keberagamaan, budi pekerti, dan kecerdasan otot (muscle memory).
Bahkan, praksis pendidikan di
Jepang memasukkan aspek memori dan kecerdasan otot dalam kurikulumnya sejak
kelas I dan II SD melalui aktivitas otot (keterampilan) dalam bentuk
kegiatan origami secara intensif. Origami mampu menanamkan kepada para
siswa sifat dan sikap kreatif, inovatif, sekaligus membangun
kecerdasan/ingatan otot para siswa.
”Adversity Quotient”
Sudah lengkapkah prediktor
kesuksesan yang bisa dikemas dalam kurikulum setelah adanya penemuan IQ,
EQ—juga spiritual intelligent (SQ, kecerdasan spritual), dan kecerdasan
otot? Ternyata belum! Dunia ilmu pengetahuan tetap melakukan penelitian
untuk membuat prediktor kesuksesan memiliki daya prediksi yang makin
robust, semakin kecil kesalahannya sampai mencapai derajat kepercayaan 99
persen. Atau tingkat koefisien alpha 0,01 jika kita meminjam terminologi
uji signifikansi statistik inferensial. Prediktor baru itu adalah adversity quotient (AQ).
Dua tahun setelah Daniel Goleman
menemukan EQ, muncullah AQ yang ditemukan oleh Paul Stoltz (1997). Aplikasi
AQ dalam proses pendidikan memang belum seluas aplikasi EQ dan SQ. Saat
ini, AQ banyak diaplikasikan dalam perusahaan besar untuk kepentingan
rekrutmen dan pelatihan pegawainya.
Dunia pendidikan juga harus
memanfaatkan temuan Paul Stoltz ini. Mengapa demikian? Karena AQ pada
hakikatnya merupakan kapasitas seseorang untuk menghadapi berbagai bentuk
tekanan dan ketidaknyamanan hidup dalam situasi tertentu.
Orang yang AQ-nya tinggi akan
tahan banting, dalam arti fisik, mental, dan kejernihan berpikir. Lebih
penting lagi, ia segera bisa kembali ke keadaan normal setelah berhadapan
dengan berbagai tekanan dan tantangan. Sebaliknya, orang yang AQ rendah
akan selalu menyalahkan lingkungan ketika dia gagal sehingga dia tidak
dapat mengambil keputusan untuk menuju sukses. Bidang keilmuan AQ ditopang
tiga pilar utama: psychoneuroimmunology;,
neuropsychology, dan cognitive
psychology.
Orang hidup tak ada yang bebas
dari tekanan dan tantangan. Dokter punya tekanan saat di meja operasi,
wartawan memiliki tekanan dan tantangan ketika harus menghadapi tenggat
berita, menteri dan presiden selalu menghadapi tekanan dari ekspektasi
masyarakat. Siswa pun selalu menghadapi tekanan dan tantangan ketika harus
belajar materi baru yang jauh lebih sulit, datang dan pulang tepat waktu,
dan menyerahkan tugas individu serta kelompok. Kalau semua tekanan itu
berhasil dilewati, sukseslah mereka. Kalau gagal, akan reduplah suasana
hati dan pikiran saat itu.
Hidup adalah Tantangan
Oleh sebab itu, kapasitas untuk
bisa menghadapi berbagai tekanan harus diajarkan dan dilatih sejak mereka
duduk di bangku sekolah. Siswa perlu mengalami sendiri berbagai prosedur
serta proses ilmu dan pengetahuan. Kerena itu, kegiatan mengamati,
bertanya, menalar, bereksperimentasi, juga pengalaman membangun jejaring
perlu diakomodasikan dalam sebuah kurikulum.
Dengan cara seperti itu, siswa
akan bisa merespons berbagai kemungkinan dan tekanan hidupnya kelak setelah
hidup dalam masyarakat. Respons positif terhadap tekanan yang dihadapi
siswa akan memberi jalan kepada kesuksesan hidup kelak.
Belajar tidak cukup hanya yang
bersifat menyenangkan, tetapi juga harus menantang bagi siswa kita. Mengapa
begitu? Karena hidup identik dengan tantangan.
Kurikulum dan proses pembelajaran
perlu memberi tempat yang cukup agar siswa bisa melakukan observasi,
analisis, hipotesis, sintesis, dan mencari solusi terhadap tantangan yang
dihadapi dalam proses belajarnya. Sebab, pada saatnya nanti, meminjam
konsepnya Jerome Brunne, para siswa akan melakukan apa yang disebutnya transfer of learning and principles
dalam kehidupan nyata.
Jadi, belajar tidak cukup dengan
pendekatan yang menyenangkan semata. Selebihnya, harus menantang agar siswa
bisa berlatih untuk membangun AQ-nya. Semoga
begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar