Negeri kita rupanya makin
”kesurupan”, terus dihujani persoalan penyalahgunaan wewenang.
Setelah soal korupsi yang terus
gencar dan terdesentralisasi, kini muncul ke permukaan soal gratifikasi
atau hadiah dalam bentuk layanan seks. Meski ini ”lagu lama”, kemunculannya
sontak membuat gemas masyarakat. Bukan rahasia lagi, tindakan korupsi bisa
dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa penelitian terungkap, banyak
kepala daerah menyelewengkan APBD untuk kepentingan pribadi. Selain uang,
salah satu modus penyimpangan adalah membayar jasa pemuas seks untuk
diberikan kepada oknum tertentu guna melancarkan proyek.
Fakta ini sesungguhnya menyingkap
bukan saja diversifikasi korupsi, tetapi juga potret dinamika hukum kita.
Di sinilah terdapat blessing in disguise karena terbuka momentum bagi KPK
untuk menindaknya. Hal ini mengingat, dalam kasus-kasus seperti itu, selama
ini yang lebih ditekankan adalah soal korupsinya, bukan gratifikasi seks
yang selama ini tidak digolongkan dalam tindakan korupsi atau suap, kecuali
uang yang digunakan dari APBD, misalnya.
Di negara lain, Singapura,
misalnya, seseorang bisa didakwa karena menerima gratifikasi seks. Di
Indonesia, hukum tersebut belum berlaku. Mestinya kita bisa memasukkan
gratifikasi seks dalam jeratan hukum. Bukankah itu suap yang diberikan
dalam bentuk lain? Saat ini, KPK tengah membahas kemungkinan mengatur lebih
detail gratifikasi seks ini dalam UU Tipikor. Sejauh ini, gratifikasi yang
tercantum dalam UU Tipikor terbatas dalam bentuk mata uang rupiah.
Status Hukum Hadiah
Hadiah—menyitir pendapat Rawwas
Qal’ahjie dalam Mu’jam Lughat
al-Fuqaha’ (1996)—adalah pemberian yang diberikan secara cuma-cuma tanpa
imbalan. Hukum asal memberikan hadiah adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi,
”Sebaik-baik sesuatu adalah hadiah.
Jika ia masuk pintu (rumah seseorang), maka yang dia masuki pun pasti
tertawa.”
Namun, kesunahan tersebut, menurut
Syamsuddin al-Sarakhsi dalam kitabnya, Al-Mabsuth (1993), berlaku jika
terkait dengan hak yang tak ada kaitannya dengan salah satu pekerjaan untuk
mengurus masyarakat. Jika orang itu diangkat untuk menjalankan urusan
negara, seperti para hakim dan kepala daerah, dia harus menolak hadiah,
khususnya dari orang yang sebelumnya tak pernah memberikan hadiah
kepadanya. Sebab, cara itu bisa memengaruhi keputusan. Dalam kasus ini,
status hukum hadiah itu adalah bentuk suap (risywah) dan harta haram (suht).
Pasalnya, hadiah yang diberikan
kepada pejabat publik itu merupakan harta yang diberikan pihak yang
berkepentingan (shahib al-mashlahah),
bukan sebagai imbalan karena urusannya terselesaikan, tetapi karena pejabat
publik itulah orang yang secara langsung menyelesaikan urusannya, atau dengan
bantuannya urusan tersebut terselesaikan. Apakah hadiah diberikan karena
keinginan untuk menyelesaikan urusan tertentu, setelah urusan selesai, atau
pada saatnya ketika dibutuhkan, pada konteks ini hadiah kepada pejabat
publik tersebut statusnya sama dengan suap (risywah). Dengan kata lain, jika hadiah datang karena jabatan,
hukumnya haram. Namun, jika hadiah datang bukan karena jabatan, hukumnya
halal. Inilah yang dinyatakan baik oleh al-Sarakhsi maupun mayoritas ulama.
Lalu, bagaimana dengan gratifikasi
yang diperoleh pejabat publik yang merupakan hadiah dan suap? Sebagaimana
definisi yang ada, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma,
atau fasilitas lain. Gratifikasi dimaksud bisa saja diterima di dalam
negeri ataupun di luar negeri, dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Contoh kasus yang bisa digolongkan
gratifikasi adalah pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif oleh
eksekutif karena ini dapat memengaruhi legislasi dan implementasinya,
penyediaan biaya tambahan (fee)
dari nilai proyek, hadiah pernikahan untuk keluarga pejabat dari pengusaha,
dan pengurusan KTP/SIM/paspor yang dipercepat dengan uang tambahan.
Memang, status gratifikasi perlu
dibedakan. Jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan
jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun
pada masa yang akan datang, status gratifikasi itu haram. Statusnya sama
dengan suap. Namun, jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya sama sekali
tidak terkait dengan jabatan penerimanya tetapi karena hubungan kekerabatan
atau pertemanan yang lazim saling memberi hadiah, gratifikasi seperti ini
hukumnya halal.
Dalam fikih ada penegasan, apabila
status gratifikasi haram, dilaporkan atau tidak kepada negara, statusnya
tetap haram. Ketentuan fikih ini agaknya berbeda dengan yang dinyatakan
dalam UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini, setiap gratifikasi yang
diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, tetapi
ketentuan yang sama tak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi itu ke
KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
diterima. Ketentuan UU ini tampaknya kalah tegas dibanding pemikiran fikih
sehingga dikhawatirkan justru terkesan melegalkan praktik suap dan hadiah
yang diharamkan.
Dalam fikih terdapat metode yang
dinamakan sadd al-dzari’ah, yaitu
upaya preventif agar tak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif.
Hukum Islam tidak hanya mengatur perilaku manusia yang sudah dilakukan,
tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini selajur dengan salah satu tujuan
hukum Islam, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Penekanannya pada ”akibat
dari perbuatan” tanpa harus melihat motif dan niat si pelaku. Jika akibat
atau dampak yang terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang
atau mafsadah, perbuatan itu jelas harus dicegah. Artinya, jika suatu perbuatan
yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), dilaranglah hal-hal yang
mengarahkan pada perbuatan itu.
Walhasil, kita perlu mendukung
wacana pengaturan lebih detail terkait gratifikasi seks dalam UU Tindak
Pidana Korupsi. Bahkan, sudah seharusnya hukuman untuk kejahatan ini lebih
berat dari gratifikasi uang atau barang. Alasannya, gratifikasi seks tak
sekadar kejahatan biasa, tetapi juga menyangkut akhlak dan moralitas.
Gratifikasi seks tak sekadar melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi
juga hukum keagamaan. Bila pelakunya pejabat, dia sudah tak layak lagi
disebut pejabat dan pemimpin. Uang saja haram, apalagi menyangkut seks.
Karena itu, jika nantinya aturan ini diterbitkan, perlu disertai penyebutan
hukuman yang lebih berat. Tandasnya, perlu ada hukumannya sendiri karena
tindakan itu sudah termasuk dalam kategori zina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar