Jumat, 08 Februari 2013

Krisis Demokrasi


Krisis Demokrasi
Moh Mahfud MD  ;   Ketua Mahkamah Konstitusi
SUARA KARYA, 08 Februari 2013


Tak dapat dimungkuri, reformasi di Indonesia telah mencapai beberapa kemajuan dan bahkan menunjukkan keberhasilan. Indikasi positif adalah kemajuan dalam kehidupan demokrasi yang dapat ditemui di berbagai aspek kehidupan. Antara lain, keseimbangan politik secara struktural setelah amandemen UUD 1945, kebebasan pers, rakyat bebas mengikuti dan mendirikan partai politik sesuai kriteria yang disepakati sendiri oleh rakyat, adanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengawal hak konstitusional warga negara, dan tidak ada lagi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh negara kepada rakyatnya.

Meski demikian, harus diakui, ada problem serius yang menyertainya. Saat memberikan kuliah umum bertajuk Political Environment and Reform in Indonesia Beyond 2014 di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Singapura, baru-baru ini, saya tegaskan masih banyak kritikan atau catatan bahwa dalam banyak hal, Indonesia masih mengalami kemunduran.

Dalam kancah politik, relasi kekuasaan dikotori faktor-faktor nepotisme dan politik transaksional. Di sektor pemerintahan, banyak pejabat terindikasi, bahkan sebagian terbukti berperilaku koruptif. Di sektor hukum, penegakan hukum tidak optimal, ketidaktaatan terhadap hukum meluas, anarki masih kerap kali muncul. Hukum menjadi tumpul karena ditengarai kuat masih dikuasai oleh mafia hukum.

Meski masyarakat sipil terus tumbuh, tetapi tidak dibarengi tumbuhnya ketertiban sosial. Kebebasan sebagai simbol khas demokrasi justru melahirkan perilaku-perilaku anarkistis dan hedonistik yang bertentangan dengan demokrasi. Kebebasan sipil mendapat jaminan dalam konstitusi, tetapi kurang mampu meningkatkan toleransi yang tidak diskriminatif terhadap kaum minoritas. Kebebasan politik juga telah mendapat ruang dan jaminan, tetapi tidak diimbangi dengan kebebasan sipil yang berkualitas.

Demokrasi di negeri ini dalam kondisi krisis. Sebab, rakyat hanya diperalat oleh elite untuk menikmati kekuasaan yang lahir dari demokrasi transaksional. Demokrasi tidak lagi berkhidmat pada kedaulatan atau kekuasaan rakyat karena telah diborong oleh banyak elite korup. Bergesernya demokrasi menjadi oligarki melahirkan segelintir elite partai yang memegang kekuasaan relatif mutlak dengan modal uang dan posisi penentu yang dibangun secara nepotisme.

Krisis demokrasi sekarang ini terjadi pada tataran implementasi, sehingga persoalannya bertalian dengan bagaimana sistem dijalankan dan bukan lagi pada bagaimana sistem dirancang. Kalau sudah menyangkut implementasi, tentu masalahnya terletak pada integritas moral para penyelenggaranya. Sebagus apa pun konsepnya, kalau penanggung jawabnya tidak mempunyai integritas moral, maka konsep-konsep itu tidak akan ada gunanya.

Oleh karena itu, sisi leadership dan keteladanan perlu ditekankan pada pemimpin di negeri ini. Untuk mewujudkan demokrasi yang sehat, diperlukan strong leadership, kepemimpinan yang kuat, berani, berintegritas serta bersih, bukan pemimpin yang otoriter dan sewenang-wenang. Kepemimpinan yang tegas adalah kepemimpinan yang efektif dan desesif menggunakan otoritas sesuai denyut aspirasi dan kebutuhan rakyat.

Masalah-masalah besar di Indonesia hanya dapat diselesaikan melalui penegakan hukum, dalam arti menjadikan hukum sebagai panglima. Untuk itu, maka harus didahului dengan penataan dalam perekrutan politik agar bersih dari politik transaksional dan saling sandera. Keberanian yang tidak didukung kebersihan akan sangat membahayakan. Begitu juga kebersihan yang tidak didukung oleh keberanian, akan tumpul dan tidak efektif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar