Besarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan
berbagai indikator ekonomi makro lainnya, seperti jumlah penduduk, sumber
daya alam, keunggulan geopolitik, dan geostrategi, seha- rusnya menjadikan
negara ini lebih maju dan terkemuka. Penduduknya makmur secara merata.
Kualitas kehidupan meningkat sehingga rakyat bahagia. Bahkan, National Intelligence Council (NIC) Amerika Serikat (Desember
2012) memublikasikan proyeksi jangka panjang berjudul "Global Trends 2030: Alternative
Worlds", yang memprediksi akan terjadi penyebaran kekuatan dunia.
Kekuatan tersebut tecermin dari pendapatan domestik bruto (GDP), jumlah
penduduk, belanja pertahanan, dan investasi teknologi. Negara-negara Asia
akan melampaui kawasan Amerika Utara dan Eropa, yang selama ini menguasai
dunia. Cina, India, Brasil, Kolombia, Indonesia, Nigeria, Afrika Selatan,
dan Turki akan menjadi pemain sangat penting. Akan tetapi, Indonesia hanya
menem- pati peringkat ke-50 dari 144 negara dalam daya kompetisi tahun
2012-2013. Posisi itu menurun empat peringkat dari 2011-2012.
Hasil survei World Economic Forum yang berjudul "The Global Competitiveness Report 2012-2013"
tersebut juga menunjukkan rendahnya peringkat daya kompetisi Indonesia
disebabkan oleh inefisiensi birokrasi pemerintahan (dijawab oleh 15,4
persen responden) dan korupsi (14,2 persen). Itulah dua masalah terbesar
yang dihadapi para responden dari kalangan komunitas bisnis saat ditanyakan
lima problem terbesar yang mereka hadapi dalam menjalankan bisnis di
sini.
Penulis merasa jawaban serupa juga
disampaikan rakyat kecil jika ditanyakan masalah terbesar bangsa Indonesia,
atau masalah yang mereka hadapi dalam mengurus sesuatu di kantor-kantor
pemerintah. Hal itu tecermin dari pemberitaan penangkapan dan proses hukum
bagi penyelenggara negara yang diduga terlibat kasus korupsi dan suap di
berbagai media massa. Masalahnya bertambah karena banyak pejabat juga
tersangkut kasus narkoba dan tindak asusila lainnya.
Dampak dari banyak kasus pelanggaran hukum
dan etika oleh pejabat sekurang-kurangnya adalah, pertama, menurunnya
kepercayaan publik terhadap sistem politik. Partisipasi politik menurun
yang ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah `pemilih yang tidak memilih' dalam pemilu nasional dan
daerah.
Pemerintah pusat dan daerah didemo,
pernyataan dan kebijakannya dikritik keras di media massa dan media
sosial. Publik pun kurang percaya kepada aparat keamanan yang
ditunjukkan oleh protes dan perlawanan terbuka rakyat di beberapa daerah.
Rakyat berbondong-bondong ke gedung pengadilan sehingga putusan sulit untuk
dinilai apakah memang sesuai dengan prinsip keadilan, atau karena ada
tekanan. Bahkan, ketika KPK menjalankan proses hukum yang berbeda dalam
kasus Bank Century, Hambalang, kuota impor sapi, dan lain-lain, publik pun
mulai mengkritik KPK.
Kedua, tidak hanya kepercayaan, tetapi
ketaatan warga kepada negara juga menurun. Beberapa waktu lalu, pimpinan
sebuah ormas Islam menyerukan boikot pembayaran pajak. Sekalipun seruan
tersebut tidak diikuti oleh tindakan yang lebih nyata dan operasional, itu
merupakan sinyal kuat dari kemarahan publik terhadap para penyelenggara
negara.
Pajak merupakan instrumen negara yang
bersifat memaksa sehingga bila warga negara mulai menyuarakan seruan
tersebut, itu menunjukkan tingkat kesabaran publik sudah mulai
habis. Publik, terutama pembayar pajak, wajar sangat marah karena uang
pribadi mereka telah disia-siakan oleh para pejabat yang korup dan
memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Ketiga, akan terjadi pembusukan politis (political decay) terhadap institusi-
institusi politik, seperti diterangkan oleh Francis Fukuyama (2011, The Origins of Political Order,
hlm 452-454). Gejala pembusukan itu ditunjukkan oleh mengerasnya
institusi politik terhadap reformasi dan repatrimonialisasi atau menguatnya
kembali interaksi politik berdasarkan pertemanan dan atau kekeluargaan.
Istilah pembusukan politik juga dapat
dipahami dengan kegagalan mengagregasi dan mengartikulasikan aspirasi dan
kepentingan publik yang bersifat dinamis dan menyesuaikan diri dengan
perubahan dunia. Akibatnya, sistem politik berjalan seperti untuk dirinya
sendiri.
Keempat, bila situasi ini dibiarkan, akan
terjadi pembelahan struktural antara elite politik dan publik. Perasaan
tidak puas dapat menggumpal menjadi kemarahan, protes terbuka, dan akhirnya
dapat terjadi potensi konflik vertikal dan horizontal. Dalam situasi seperti
itu, potensi konflik dapat berkembang alamiah atau buatan menjadi seperti
kejadian tahun 1965-1966 dan 1997-1998. Saat ini, perlawanan sosial baru
terjadi terhadap aparat keamanan. Namun, bila sistem tidak diperbaiki, para
politisi dan penyelenggara negara tidak bertobat secara nasional, kemarahan
publik dapat memuncak.
Majelis pembaca tentu berharap konflik
sosial yang masif dan destruktif tidak terjadi lagi. Jalan reformasi dan
perubahan politik harus konstitusional, sistemis, dan dijalankan oleh sistem
yang ada. Namun, perubahan yang baik dan menyejahterakan rakyat tidak akan
terjadi, kecuali perubahan itu dipimpin oleh politisi dan penyelenggara
negara yang berintegritas, taat hukum, beretika dan berakhlak mulia, serta
antikorupsi dan suap.
Dengan demikian, prediksi NIC akan
terbukti, Indonesia menjadi salah satu negara terkuat di dunia. Sebaliknya,
politisi dan penyelenggara negara yang tidak berintegritas akan membawa
bangsa ini ke dalam pusaran konflik sosial serta ketidakefektifan
pemerintahan dan pembangunan ekonomi. Bahkan, karena media sosial dan
perangkat telekomunikasi telah berkembang pesat, berbagai potensi konflik
sosial menjadi lebih mudah tersebar.
Akhirnya, penulis menyerukan kepada seluruh
rekan-rekan politisi dan penyelenggara negara untuk kembali ke jalan yang
benar. Kekuasaan dapat menjadi jalan kemuliaan, dipuji rakyat dan Allah
SWT. Akan tetapi, sekali kekuasaan itu diambil kembali oleh Allah karena
kita korupsi, suap, narkoba, dan lain-lain, hukumannya bukan hanya penjara,
melainkan sanksi sosial bagi keluarga dan potensi azab-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar