Jumat, 08 Februari 2013

Membenahi Tata Kelola Migas


Membenahi Tata Kelola Migas
Kurtubi  ;    Alumnus Colorado School of Mines Denver; Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs, Paris; Pengajar Pascasarjana FE UI dan Paramadina
KOMPAS, 08 Februari 2013


Meskipun BP Migas sudah dibubarkan Mahkamah Konstitusi sejak November 2012, pemerintah terus mempertahankan sistem tata kelola model ”B to G” dengan hanya mengganti baju BP Migas.

Langkah ini bentuk potensi pelanggaran terhadap konstitusi terkait pengelolaan kekayaan minyak dan gas (migas), baik yang terkandung di perut bumi maupun terkait dengan BBM/energi yang merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang mestinya dikelola negara.

Dengan Peraturan Presiden No 95 Tahun 2012, Presiden mengalihkan tugas dan fungsi BP Migas ke Satuan Kerja Sementara Pelaksana (SKSP) Migas. Tak berselang lama,
10 Januari 2013, Presiden kembali mengeluarkan Perpres No 9 Tahun 2013 yang mengubah SKSP Migas menjadi Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Hulu Migas.

BP Migas, SKSP Migas, dan SKK Migas pada hakikatnya ”makhluk” yang sama. Ketiganya sama-sama lembaga pemerintah non-bisnis yang tidak bisa menjual sendiri migas milik negara, tetapi harus melalui pihak ketiga, sehingga terbuka peluang bagi para pemburu rente (trader/calo) untuk menyedot uang negara meski lewat mekanisme ”tender”. Ketiga lembaga pemerintah ini sama-sama tak bisa mengoperasikan lapangan/blok produksi yang sudah selesai kontrak sehingga terbuka ruang rekayasa untuk memperpanjang kontrak atau dioper ke kontraktor/pemburu rente yang lain.

Ketiganya juga sama-sama jadi pintu bagi tereksposenya aset negara di luar negeri sehingga bisa disita perusahaan minyak internasional bila terjadi dispute. Tata kelola seperti ini jelas melanggar konstitusi karena telah terbukti mengakibatkan hilangnya kedaulatan negara. Juga telah terbukti negara dirugikan secara finansial dalam jumlah sangat besar.

Tata Kelola yang Buruk

Sejak keberadaan UU Migas (UU No 22 Tahun 2001), nyaris tak ada penemuan cadangan baru karena anjloknya kegiatan eksplorasi yang disebabkan tata kelola yang sangat buruk, lebih buruk dari semua negara tetangga termasuk Timor Leste (World Petroleum Survey 2011). Tata kelola yang buruk ini berdampak pada produksi minyak yang terus anjlok, sedangkan cost recovery yang dibayar negara terus meroket. Persoalannya, tata kelola yang sangat buruk dan terbukti merugikan ini justru terus dipertahankan pemerintah.

Ketergantungan pada migas impor yang terus melonjak menimbulkan defisit perdagangan migas yang kian membengkak. Pada 2012, defisit migas mencapai rekor tertinggi dalam sejarah perminyakan nasional dengan nilai defisit mencapai 5 miliar dollar AS. Ketergantungan pada energi impor juga semakin besar karena produksi (lifting) minyak yang sangat rendah dan kapasitas kilang yang stagnan.

Produksi minyak pada 2012 hanya berkisar 850.000-an bbls per hari. Padahal, pada 2004 saat Presiden SBY mulai berkuasa, produksi minyak masih sekitar 1,2 juta bbls per hari. Semua permasalahan ini menempatkan ketahanan energi nasional menjadi sangat riskan di tengah kebutuhan BBM nasional yang terus meningkat.

Di sisi lain, pengapalan gas/LNG Tangguh ke China yang dijual dengan sangat murah terus terjadi. Pemerintah/SKK Migas tak berkuasa menyetop karena sudah kehilangan kedaulatan. Padahal, PLN dan industri dalam negeri sangat kekurangan gas.

Ketahanan energi menjadi tambah buruk karena program diversifikasi untuk mengurangi ketergantungan pada BBM berjalan asal-asalan. Malah yang sedang dan hendak diterapkan adalah program yang kontraproduktif dengan menjatah/membatasi kebutuhan BBM rakyat, yang rawan memicu kerusuhan sosial.

Bahkan, Komite Ekonomi Nasional telah mengusulkan agar pemilik kendaraan pribadi dilarang membeli BBM bersubsidi. Usul ini sama dengan memaksa rakyat membeli BBM non-subsidi alias identik ”menaikkan” harga lebih dari 100 persen. Kalau subsidi BBM dirasakan sudah terlalu besar, jauh lebih rasional menaikkan harga BBM bersubsidi daripada volume BBM bersubsidi dijatah/dibatasi atau rakyat dipaksa membeli BBM non-subsidi.

Harus Segera Diakhiri

Kondisi buruk pengelolaan migas nasional sejatinya segera diakhiri dengan mengubah dan merestorasi sistem tata kelola saat ini—didasarkan UU No 22 Tahun 2001—untuk dikembalikan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Konkretnya, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus dihormati dan dilaksanakan konsisten oleh pemerintah.

Namun, yang terjadi justru pemerintah sejauh ini terkesan ”abai” terhadap keputusan MK yang telah membubarkan BP Migas. Hal ini, misalnya, terlihat dari pernyataan-pernyataan Wakil Menteri ESDM yang menuduh MK menggunakan data yang salah dalam membubarkan BP Migas. Juga ada upaya sistemik untuk melanggengkan model tata kelola yang berpola ”B to G” (business to government) dengan hanya ”mengganti baju” BP Migas tanpa ada upaya menutup lubang masuk bagi para pemburu rente.

Oleh karena itu, Presiden/pemerintah perlu didesak untuk segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) guna mengembalikan tata kelola migas nasional sesuai amanat konstitusi dengan alasan sangat mendesak dan urgen.

Kondisi urgen antara lain ditandai hilangnya kedaulatan negara atas kekayaan migas, tereksposenya aset negara untuk dapat disita perusahaan asing setiap saat terjadi sengketa selama SKK Migas dipertahankan, serta sistem yang menciptakan migas milik negara harus dijual lewat pihak ketiga (calo/trader). Juga terus berlangsungnya pengapalan gas ke luar negeri dengan harga sangat murah di tengah krisis gas di dalam negeri, dan kegiatan/investasi eksplorasi yang minim yang diikuti produksi minyak yang sangat rendah sebagai akibat dicabutnya asas lex specialis. Belum lagi ketahanan energi yang sudah sangat rawan karena ketergantungan pada impor yang sangat besar dan terus meningkat, serta tata kelola migas nasional saat ini yang sangat buruk.

Solusi Model PM Juanda

Kiranya sudah cukup alasan bagi Presiden untuk segera mengeluarkan perppu untuk mengembalikan tata kelola migas nasional sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Yurisprudensi dan langkah brilian PM Ir H Juanda yang mengeluarkan Perppu Bidang Pertambangan untuk mengganti Indische Mijnwet 1899—UU pertambangan zaman kolonial —yang dinilai sangat merugikan negara perlu diikuti.

Perppu yang dikeluarkan PM Juanda pada 1958 itu kemudian oleh DPR disahkan menjadi UU No 44/Prp/1960, yang intinya adalah hanya negara (yang diwakili perusahaan negara) yang boleh melakukan penambangan. Perusahaan minyak asing hanya berkontrak dengan perusahaan negara.

Sejarah dan bukti empiris akhirnya membuktikan, konsep PM Juanda-lah yang benar karena—langsung atau tidak—pemerintah tak ikut berkontrak. Pola hubungan dengan perusahaan asing mengikuti pola B to B (business to business); perusahaan negaralah yang berkontrak dengan perusahaan asing.

Konsep dari IMF (dan para kolaboratornya) yang menempatkan pemerintah (melalui BP Migas) berkontrak dengan perusahaan asing, dan migas bagian negara harus dijual lewat pihak ketiga, terbukti melanggar konstitusi dan sangat merugikan negara secara finansial. Dengan konsep PM Juanda, kedaulatan negara tetap terjaga dan sumber daya alam migas bisa dikelola bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebab, migas kita bisa dijual dan dikembangkan sendiri oleh negara melalui perusahaan negara tanpa harus melalui pihak ketiga, yang sering kali menjadi pintu masuk bagi pemburu rente guna menyedot potensi pendapatan negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar