|
KORAN
TEMPO, 31 Januari 2013
Awal memegang jabatan
Menteri Kelautan dan Perikanan, saya mengikuti retreat di Tampaksiring, Bali. Ada pesan penting yang disampaikan
oleh Presiden, yaitu arah kebijakan nasional yang pro-poor, pro-job, dan pro-growth.
Sebagai tindak lanjut arahan Presiden, saya merumuskan suatu formula untuk
perlindungan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan bagi nelayan dan
masyarakat pesisir. Saya mengajukan konsep tentang bagaimana jabaran dan implementasi
arahan Presiden untuk sektor kelautan dan perikanan. Dari gagasan tersebut,
muncul Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang perlindungan nelayan,
yang sekaligus sebagai kelanjutan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011
tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat.
Kedua aturan tersebut
sangat penting sebagai payung hukum untuk melakukan advokasi bagi kelompok
masyarakat yang memiliki kerentanan ekonomi tinggi, seperti nelayan dan
masyarakat pesisir. Diperkirakan, ada 473 ribu nelayan dan masyarakat pesisir
yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka yang tersebar di 41 kabupaten
dan kota di 20 provinsi itu hanya menggantungkan hidup pada hasil laut.
Arah kebijakan yang dibuat
oleh Presiden SBY pada masa jabatannya yang kedua membuat kita optimistis
bahwa angka kemiskinan dapat diturunkan dengan signifikan. Namun saya menjadi
kaget ketika BPS pada akhir 2011 merilis laporan bulanannya yang memuat angka
ketimpangan yang lebih dikenal dengan sebutan indeks gini. Indeks gini tahun
2011 telah mencapai 0,41 persen. Saya menahan diri untuk tidak mengomentari
perihal tingginya angka ketimpangan tersebut, karena baru saja meninggalkan
jabatan menteri. Saya sangat bersyukur Komite Ekonomi Nasional telah
menyampaikan kecemasannya tentang ketimpangan ekonomi yang terjadi, meski
sebelumnya sebuah harian nasional telah mengulasnya secara komprehensif.
Pada era pemerintahan Orde
Baru, indeks gini tertinggi pada 1996 itu pun baru 0,36, di mana pemerintah
saat itu sedang gencar-gencarnya melakukan liberalisasi ekonomi. Itu pun
sudah mendapat kritik yang sangat tajam dari para ekonom, baik dari dalam
maupun luar negeri, seperti Sritua Arif, Hendra Esmara, Mubyarto, Cynthia
Taft Moris, dan Irma Adelman.
Pembangunan ekonomi memang
wajar jika tidak dapat memuaskan semua pihak. Namun akibat negatif yang
sangat besar, seperti ketimpangan, dapat terjadi jika pembangunan hanya
mengejar pertumbuhan dan mengedepankan kutub-kutub pertumbuhan yang tidak
tersebar merata. Dalam konteks perekonomian Indonesia yang mengacu pada
Konstitusi, seharusnya peran negara dan pemerintah nasional sangat penting
dan dibutuhkan untuk membuat kebijakan mencegah terjadinya ketimpangan,
ketidakadilan, dan pengurangan kemiskinan.
Pembangunan ekonomi
merupakan hasil dari sebuah kebijakan. Kebijakan yang tidak mengantisipasi
munculnya ketimpangan dan pemiskinan akan menumbuhkan rasa ketidakadilan di
kalangan masyarakat. Ini berdampak pada integrasi bangsa. Jika disimak,
kualitas pertumbuhan ekonomi kita lebih banyak didorong oleh sektor tersier,
yaitu pada sektor pengangkutan, telekomunikasi, sektor keuangan, perbankan,
dan real estate, yang padat modal namun tingkat penyerapan tenaga kerjanya
tidak terlalu tinggi. Sementara sektor pertanian dan industri manufaktur pertumbuhannya
tidak terlalu tinggi, meski kontribusi pada penyerapan tenaga kerja tinggi
kurang mendapat perhatian. Kasus-kasus demo buruh yang menuntut kenaikan upah
minimum dan ancaman hengkang perusahaan-perusahaan PMA itu merupakan indikasi
bahwa kebijakan ekonomi kita tidak fokus. Pemerintah kurang berupaya
menciptakan iklim usaha yang kondusif, yaitu memberi ruang berlaba yang
pantas bagi dunia usaha, terutama usaha kecil dan menengah. Pemerintah masih
terpaku pada kebijakan pembangunan yang sangat Jawa-sentris, bias pada
perkotaan, bias pada usaha skala besar, dan mengandalkan pemanfaatan sumber
daya alam.
Terintegrasinya ekonomi
daerah dengan ekonomi internasional juga berpengaruh terhadap meningkatnya
ketimpangan. Masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, tidak siap menghadapi
kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh modal dari luar. Ini terjadi di Bali
dan Yogyakarta, di mana pada 2009 indeks gini kedua daerah tersebut masih
0,31 dan 0,38, namun pada 2011 sudah mencapai 0,43. Artinya, telah terjadi
peningkatan ketimpangan yang cukup cepat, di mana hampir 40 persen kue
ekonomi dinikmati oleh 20 persen kelompok penghasilan tinggi. Sedangkan
kelompok berpenghasilan rendah hanya menikmati 20 persen, dan mereka sebagian
besar tinggal di wilayah pedesaan. Dampak dari liberalisasi ekonomi di Bali,
selain ketimpangan cenderung meningkat, laju penurunan kemiskinan cenderung
lambat. Dari tahun 2009 ke 2011, angka kemiskinan hanya turun 0,93 persen.
Sedangkan di DI Yogyakarta hanya 1,15 persen lebih rendah dibanding angka
nasional, yaitu 1,63 persen.
Pemanfaatan sumber daya
alam dengan menggunakan teknologi tinggi dan modal besar kerap kurang memberi
kesempatan bagi warga lokal untuk menikmati kue ekonomi. Ini terjadi di Papua
dan Papua Barat. Pada 2009 indeks gini di Papua dan Papua Barat masih 0,38
dan 0,35, namun pada 2011 sudah meningkat menjadi 0,44 dan 0,43. Ketimpangan
ini diperparah dengan kemiskinan yang masif di daerah pedesaan. Penduduk
pedesaan Papua, pada 2011, sebesar 41,58 persen masuk kategori miskin, tidak
jauh berbeda juga penduduk Papua Barat, yang angkanya 39,56 persen. Sedangkan
penduduk perkotaan yang miskin hanya 6,1 persen dan 6,06 persen.
Ketika saya menjadi
Gubernur Gorontalo, saya dipusingkan oleh masalah kemiskinan yang relatif
merata di provinsi tersebut. Setelah berpikir keras, akhirnya ditemukan
solusi untuk mengatasi kemiskinan, yaitu membuat rencana pembangunan daerah
berbasis HDI (human development index)
dengan fokus pada kecamatan. Akhirnya dapat dipetakan karakteristik
kemiskinan di tiap kecamatan. Dengan diketahuinya latar belakang penyebab
kemiskinan, dibuat perlakuan penanganan yang berbeda untuk masing-masing
daerah. Akhirnya, kemiskinan dapat dikurangi dan HDI juga meningkat dengan
pesat.
Untuk mencegah ketimpangan pendapatan yang
semakin lebar, mau tidak mau harus ada kebijakan nasional yang mengikat
pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang baik dan progresif dalam
memperlakukan kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi dan menjadi
korban struktur piramida ekonomi eksploitatif. Salah satunya adalah mengelola
pasar menjadi lebih berpihak dan akomodatif terhadap kegiatan ekonomi usaha
kecil dan menengah. Peranan dan intervensi negara sangatlah diperlukan untuk
mencegah ketimpangan pendapatan semakin parah. Semoga kita segera dan tidak
terlambat menyadarinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar