Jumat, 01 Februari 2013

Ketimpangan, Kemiskinan, dan Lemahnya Pemihakan Negara


Ketimpangan, Kemiskinan,
dan Lemahnya Pemihakan Negara
Fadel Muhammad ; Mantan Gubernur Gorontalo, Mantan Menteri Kelautan & Perikanan; Sekarang Ketua Umum Masyarakat Agrobisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI)
KORAN TEMPO, 31 Januari 2013

  
Awal memegang jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan, saya mengikuti retreat di Tampaksiring, Bali. Ada pesan penting yang disampaikan oleh Presiden, yaitu arah kebijakan nasional yang pro-poor, pro-job, dan pro-growth. Sebagai tindak lanjut arahan Presiden, saya merumuskan suatu formula untuk perlindungan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Saya mengajukan konsep tentang bagaimana jabaran dan implementasi arahan Presiden untuk sektor kelautan dan perikanan. Dari gagasan tersebut, muncul Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2011 tentang perlindungan nelayan, yang sekaligus sebagai kelanjutan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat. 
Kedua aturan tersebut sangat penting sebagai payung hukum untuk melakukan advokasi bagi kelompok masyarakat yang memiliki kerentanan ekonomi tinggi, seperti nelayan dan masyarakat pesisir. Diperkirakan, ada 473 ribu nelayan dan masyarakat pesisir yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka yang tersebar di 41 kabupaten dan kota di 20 provinsi itu hanya menggantungkan hidup pada hasil laut.
Arah kebijakan yang dibuat oleh Presiden SBY pada masa jabatannya yang kedua membuat kita optimistis bahwa angka kemiskinan dapat diturunkan dengan signifikan. Namun saya menjadi kaget ketika BPS pada akhir 2011 merilis laporan bulanannya yang memuat angka ketimpangan yang lebih dikenal dengan sebutan indeks gini. Indeks gini tahun 2011 telah mencapai 0,41 persen. Saya menahan diri untuk tidak mengomentari perihal tingginya angka ketimpangan tersebut, karena baru saja meninggalkan jabatan menteri. Saya sangat bersyukur Komite Ekonomi Nasional telah menyampaikan kecemasannya tentang ketimpangan ekonomi yang terjadi, meski sebelumnya sebuah harian nasional telah mengulasnya secara komprehensif.
Pada era pemerintahan Orde Baru, indeks gini tertinggi pada 1996 itu pun baru 0,36, di mana pemerintah saat itu sedang gencar-gencarnya melakukan liberalisasi ekonomi. Itu pun sudah mendapat kritik yang sangat tajam dari para ekonom, baik dari dalam maupun luar negeri, seperti Sritua Arif, Hendra Esmara, Mubyarto, Cynthia Taft Moris, dan Irma Adelman. 
Pembangunan ekonomi memang wajar jika tidak dapat memuaskan semua pihak. Namun akibat negatif yang sangat besar, seperti ketimpangan, dapat terjadi jika pembangunan hanya mengejar pertumbuhan dan mengedepankan kutub-kutub pertumbuhan yang tidak tersebar merata. Dalam konteks perekonomian Indonesia yang mengacu pada Konstitusi, seharusnya peran negara dan pemerintah nasional sangat penting dan dibutuhkan untuk membuat kebijakan mencegah terjadinya ketimpangan, ketidakadilan, dan pengurangan kemiskinan.
Pembangunan ekonomi merupakan hasil dari sebuah kebijakan. Kebijakan yang tidak mengantisipasi munculnya ketimpangan dan pemiskinan akan menumbuhkan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat. Ini berdampak pada integrasi bangsa. Jika disimak, kualitas pertumbuhan ekonomi kita lebih banyak didorong oleh sektor tersier, yaitu pada sektor pengangkutan, telekomunikasi, sektor keuangan, perbankan, dan real estate, yang padat modal namun tingkat penyerapan tenaga kerjanya tidak terlalu tinggi. Sementara sektor pertanian dan industri manufaktur pertumbuhannya tidak terlalu tinggi, meski kontribusi pada penyerapan tenaga kerja tinggi kurang mendapat perhatian. Kasus-kasus demo buruh yang menuntut kenaikan upah minimum dan ancaman hengkang perusahaan-perusahaan PMA itu merupakan indikasi bahwa kebijakan ekonomi kita tidak fokus. Pemerintah kurang berupaya menciptakan iklim usaha yang kondusif, yaitu memberi ruang berlaba yang pantas bagi dunia usaha, terutama usaha kecil dan menengah. Pemerintah masih terpaku pada kebijakan pembangunan yang sangat Jawa-sentris, bias pada perkotaan, bias pada usaha skala besar, dan mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam.
Terintegrasinya ekonomi daerah dengan ekonomi internasional juga berpengaruh terhadap meningkatnya ketimpangan. Masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, tidak siap menghadapi kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh modal dari luar. Ini terjadi di Bali dan Yogyakarta, di mana pada 2009 indeks gini kedua daerah tersebut masih 0,31 dan 0,38, namun pada 2011 sudah mencapai 0,43. Artinya, telah terjadi peningkatan ketimpangan yang cukup cepat, di mana hampir 40 persen kue ekonomi dinikmati oleh 20 persen kelompok penghasilan tinggi. Sedangkan kelompok berpenghasilan rendah hanya menikmati 20 persen, dan mereka sebagian besar tinggal di wilayah pedesaan. Dampak dari liberalisasi ekonomi di Bali, selain ketimpangan cenderung meningkat, laju penurunan kemiskinan cenderung lambat. Dari tahun 2009 ke 2011, angka kemiskinan hanya turun 0,93 persen. Sedangkan di DI Yogyakarta hanya 1,15 persen lebih rendah dibanding angka nasional, yaitu 1,63 persen.
Pemanfaatan sumber daya alam dengan menggunakan teknologi tinggi dan modal besar kerap kurang memberi kesempatan bagi warga lokal untuk menikmati kue ekonomi. Ini terjadi di Papua dan Papua Barat. Pada 2009 indeks gini di Papua dan Papua Barat masih 0,38 dan 0,35, namun pada 2011 sudah meningkat menjadi 0,44 dan 0,43. Ketimpangan ini diperparah dengan kemiskinan yang masif di daerah pedesaan. Penduduk pedesaan Papua, pada 2011, sebesar 41,58 persen masuk kategori miskin, tidak jauh berbeda juga penduduk Papua Barat, yang angkanya 39,56 persen. Sedangkan penduduk perkotaan yang miskin hanya 6,1 persen dan 6,06 persen.
Ketika saya menjadi Gubernur Gorontalo, saya dipusingkan oleh masalah kemiskinan yang relatif merata di provinsi tersebut. Setelah berpikir keras, akhirnya ditemukan solusi untuk mengatasi kemiskinan, yaitu membuat rencana pembangunan daerah berbasis HDI (human development index) dengan fokus pada kecamatan. Akhirnya dapat dipetakan karakteristik kemiskinan di tiap kecamatan. Dengan diketahuinya latar belakang penyebab kemiskinan, dibuat perlakuan penanganan yang berbeda untuk masing-masing daerah. Akhirnya, kemiskinan dapat dikurangi dan HDI juga meningkat dengan pesat.
Untuk mencegah ketimpangan pendapatan yang semakin lebar, mau tidak mau harus ada kebijakan nasional yang mengikat pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang baik dan progresif dalam memperlakukan kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi dan menjadi korban struktur piramida ekonomi eksploitatif. Salah satunya adalah mengelola pasar menjadi lebih berpihak dan akomodatif terhadap kegiatan ekonomi usaha kecil dan menengah. Peranan dan intervensi negara sangatlah diperlukan untuk mencegah ketimpangan pendapatan semakin parah. Semoga kita segera dan tidak terlambat menyadarinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar