Jumat, 01 Februari 2013

Katinon dan Produk Turunannya


Katinon dan Produk Turunannya
Mahardian Rahmadi ;  Dosen Fakultas Farmasi Unair,
Kandidat PhD dalam Bidang Drug Dependence di Hoshi University School of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Jepang
JAWA POS, 31 Januari 2013



MASYARAKAT Indonesia dikejutkan berita besar. Yakni, penggerebekan dan penangkapan 17 orang -empat di antaranya artis- oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) di rumah Raffi Ahmad. Selanjutnya, berbagai pernyataan yang bernada kontroversial muncul tentang katinon, zat narkotika yang tidak diatur dalam undang-undang.

Cathinone (baca: katinon) merupakan alkaloid yang diekstrak dari tanaman khat (Chata edulis), tanaman herbal yang banyak tumbuh di Afrika bagian utara. Katinon mempunyai struktur kimia mirip obat-obatan yang sudah kita kenal, ephedrine dan amphetamine. Perubahan struktur kimia pada katinon menghasilkan berbagai macam turunan zat atau komponen kimia baru yang biasa disebut katinon sintetis. 

Uniknya, katinon sintesis itu mempunyai potensi dan efek farmakologi yang jauh lebih besar jika dibanding zat aslinya. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 10 buah katinon sintesis. Beberapa yang sering disalahgunakan adalah 4-Methylmethcathinone (mephedrone); 3,4-Methylenedioxypyrovalerone (MPDV); dan 3,4-Methylenedioxymethcathinone (methylone). 

Mephedrone juga dikenal dengan nama lain meow, plant food, bubbles, MCAT, dan bath-salt. Sementara itu, methylone dikenal dengan nama lain explosion. Di antara turunan katinon itu, methylone mempunyai struktur kimia yang sangat mirip dengan MDMA/ekstasi, sehingga efek yang ditimbulkan sangat mungkin juga mirip ekstasi.

Katinon sintesis biasanya terdapat dalam bentuk serbuk, kristal, dan larutan. Selain itu, terdapat dalam bentuk tablet dan kapsul. Rute administrasi/penggunaannya bergantung pada bentuk sediaannya. Cara penggunaan yang paling banyak dilakukan pengguna katinon sintetis adalah mengisap serbuk/kristal obat tersebut melalui hidung atau menelannya bila zat itu dimasukkan dalam tablet atau kapsul. Rute administrasi lainnya adalah melalui injeksi langsung intravena, dimasukkan lewat rektal, atau menelan mentah-mentah serbuk yang dibungkus dengan kertas.

Para pecandu umumnya menggunakan obat-obatan itu dengan mencoba-coba yang akhirnya mengalami ketergantungan. Awalnya, obat-obatan tersebut akan menimbulkan efek menyegarkan tubuh, menghilangkan rasa lelah, menambah stamina, dan menambah kepercayaan diri. Umumnya mereka tidak sadar akan dampak negatif yang ditimbulkan atas penggunaan obat-obatan itu.

Berbagai artikel ilmiah menunjukkan, penggunaan katinon sintesis secara akut maupun kronis bisa berakibat buruk, bahkan membahayakan kesehatan. Penggunaan secara akut dalam dosis efektif bisa mengakibatkan gejala palpitasi jantung, kejang, muntah, sakit kepala, perubahan warna (discolorization) pada kulit, hipertensi, hiper-refleksia, euforia, serta halusinasi. Bahkan pada dosis yang sangat besar, bisa mengakibatkan kematian.

Gejala yang muncul pada penggunaan jangka panjang yang dirasakan pecandu obat-obatan tersebut, antara lain, paranoid, perdarahan hidung, rusaknya gigi, gangguan penglihatan, kaku pada rahang dan pundak, agitasi, tremor, serta demam atau berkeringat dingin. Penggunaan dalam jangka panjang juga akan meningkatkan risiko kematian karena overdosis. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa katinon sintesis mampu menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik, seperti halnya obat-obat psikostimulan lainnya.

Seperti umumnya obat-obatan yang bisa menimbulkan ketergantungan, katinon sintesis bekerja dengan meningkatkan kadar neurotransmitter dopamin dan serotonin. Jika amphetamine dan turunannya lebih dominan meningkatkan kadar dopamine, serotonin atau MDMA/ekstasi lebih dominan meningkatkan kadar serotonin dibanding dopamine. Katinon sintesis itu mampu meningkatkan kadar dua neurotransmitter tersebut dalam jumlah yang sangat besar (hingga 900 persen dari kadar normal).

Karena itu, beberapa penelitian menunjukkan, efek farmakologis turunan katinon tersebut merupakan kombinasi antara methamphetamine (sabu) dan MDMA (ekstasi). Bahkan, beberapa kasus kematian karena katinon sintesis tersebut disebabkan sebuah sindrom yang dinamakan sindrom serotonin. Yakni, terjadi peningkatan kadar serotonin dalam jumlah besar di otak dan seluruh tubuh yang mengakibatkan gangguan jantung, pembuluh darah, sistem saraf, dan organ-organ penting lainnya.

Identifikasi awal katinon dan katinon sintesis dalam cairan tubuh seperti halnya urine atau dalam darah dapat dilakukan dengan tes warna. Namun, pengujian itu sering menimbulkan false positif/kurang spesifik. Validasi dengan metode lain yang lebih tepercaya haruslah dilakukan. Beberapa teknik analisis tersebut, antara lain, teknik kromatografi gas dengan tandem spektrofotometri masa. Selain itu, spektrofotometer infrared dan nuclear magnetic resonance (NMR).

Berdasar efek farmakologi dan bahaya kesehatan yang ditimbulkan tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam konvensi substansi psikotropika 1971 memasukkan katinon ke dalam daftar narkotika golongan I, suatu narkotika atau psikotropika yang hanya boleh digunakan untuk penelitian, tidak boleh digunakan untuk pengobatan. Seperti halnya dalam Undang-Undang Kesehatan No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam tabel konvensi 1971 tersebut, hanya terdapat dua buah katinon yang masuk dalam golongan I. Yaitu, katinon dan meth-katinon, sedangkan turunan lainnya tidak dimasukkan atau belum masuk dalam daftar golongan I tersebut. 

Negara-negara lain seperti Amerika Serikat melalui rekomendasi DEA (Drug Enforcement Administration, BNN-nya AS) telah memasukkan turunan lainnya, terutama MPDV, mephedrone, dan methylone, ke dalam golongan I psikotropika. Pada 2011, DEA kembali menegaskan bahwa tiga katinon sintetis tersebut termasuk dalam narkotika yang ilegal dan sangat membahayakan.

Peryataan BNN bahwa narkotika tersebut tidak termasuk dalam Undang-Undang Kesehatan sangat mungkin benar. Karena itu, sangatlah urgen bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan DPR, untuk segera merevisi undang-undang tersebut. Tentunya tidak hanya terkait dengan katinon dan turunannya, tapi juga produk narkotika dan psikotropika lainnya yang saat ini mungkin belum masuk dalam pasal-pasal di undang-undang. Selain itu, para akademisi dan peneliti, khususnya dalam bidang kesehatan, hendaknya mengkaji lebih dalam mengenai zat narkotika/psikotropika tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar