Jumat, 01 Februari 2013

NU di Tengah Godaan Politik


NU di Tengah Godaan Politik
Jamal Ma’mur ; Dosen Staimafa Pati,
Mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 31 Januari 2013

  

HARI ini, Kamis, 31 Januari 2013, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 87 tahun. Tidak terhitung prestasi besarnya dalam ikut membangun bangsa ini. Nasionalisme dan patriotisme ada pada semua bidang: politik, ekonomi kerakyatan, pendidikan, kebudayaan, sosial, dan pembangunan moral. 

Resolusi jihad yang membakar semangat membela Tanah Air untuk mengusir penjajah, konsep darus salam (rumah kedamaian) sebagai kompromi dari negara perang dan negara Islam, pemberian gelar penguasa dalam keadaan darurat yang didukung kekuatan rakyat kepada Soekarno, dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi adalah salah satu manifestasi nasionalisme dan patriotisme. 

Ali Maschan Moesa (2007) mengatakan bahwa nasionalisme NU terlihat dari tujuan berdirinya, yang salah satunya adalah membela umat Islam dan warga Indonesia dari kolonialisme Belanda. 

Semua prestasi itu tidak lepas dari mata air yang tidak pernah kering dikaji, yang menjadi landasan berpikir, berpijak, dan pengambilan kebijakan, yaitu aswaja. Paham ahlus sunnah wal jama’ah Nahdlatul Ulama atau aswaja nahdliyah adalah pijakan teologis, sosiologis, sekaligus organisatoris dalam mengelola dan mengembangkan organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dalam semua aspek kehidupan. 

Karakter aswaja adalah moderat, toleran, dan akomodatif. Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari tentang sunah dan bid’ah mencerminkan watak tersebut sehingga keberadaan NU selalu melestarikan kekayaan budaya lokal yang disinari nilai agama (Zuhri, 2010). Menurut Badrun Alaena (2000), awaja senantiasa mencirikan watak fleksibel dan akomodatif, mengutamakan stabilitas dan harmoni dalam masyarakat. Karena itu, diharapkan kader aswaja nahdliyah bisa menjadi katalisator dan fasilitator bagi persatuan dan kesatuan umat Islam, dan umat manusia secara universal.

Tapi misi dan misi aswaja yang melembaga dalam NU terancam oleh godaan politik yang sangat besar pada 2013 dan 2014 ketika pemilu legislatif dan presiden bergulir. Pertarungan elite politik dalam memperebutkan lumbung suara memecah-belah soliditas warga nahdliyin, dan hal itu ditandai oleh banyak faktor. 

Pertama; banyak pengurus organisasi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Mereka  memanfaatkan posisinya untuk mendulang suara. Walaupun mereka berstatus nonaktif, dalam kultur NU relasi hegemonik tetap bisa dilakukan. Karena pengurus memilih banyak partai maka terjadi pertarungan politik yang keras yang berimbas pada keterpecahan solidaritas warga nahdliyin. 

Kedua; ikut mendukung pencalonan seseorang, baik secara langsung, seperti menjadi tim sukses, atau secara tidak langsung melalui imbauan, dorongan, dan arahan. Jika masing-masing pengurus mendukung calon yang berbeda partai maka akan sulit menghindari konflik internal. 

Ketiga; politikus, terutama yang berasal dari rahim NU, semisal mereka yang aktif di PKB dan PPP, mengeksploitasi latar historis dan sosiologis kelahiran partai sebagai penyambung lidah aspirasi politik warga nahdliyin untuk merebut simpati warga nahdliyin. Kedua partai ini dan partai-partai lain menyebabkan disharmoni sosial yang masif dan eskalatif, khususnya pada tingkat akar rumput.

Untuk merespons hal ini, perlu kembali menegakkan khitah secara adil pada semua tingkatan, dari pengurus besar hingga ranting. Jika ada pengurus menjadi partisan politik secara formal ataupun kultural, ia diharuskan mundur dari kepengurusan struktural, dan tidak boleh membawa nama NU dalam pertarungan politik kekuasaan.

Program Bermanfaat

Pasalnya politik nahdliyin bukan politik kekuasaan melainkan politik kebangsaan dan kerakyatan yang berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan sosial menuju negara makmur dan sejahtera. 
Menurut KHMA Sahal Mahfudh (2008), kemandirian ekonomi warga NU sejak dulu sudah dirintis melalui iuran wajib tiap bulan bagi seluruh warga, namun program ini menjadi vakum, karena terseret dalam permainan politik praktis. Iuran digantikan oleh kucuran dana dari para politikus untuk menghidupkan organisasi. 

Selain, iuran wajib, NU juga membangun syirkah al-inan (semacam koperasi) untuk menggerakkan roda ekonomi organisasi dan membantu warga nahdliyin yang membutuhkan. Namun dalam perjalanannya, kemandirian ekonomi yang sudah dirintis para pendiri itu hilang karena tokoh nahdliyin lebih sibuk dalam gelanggang politik praktis yang menularkan virus pragmatisme dan oportunisme. 

Karena itu, terkait dengan momentum peringatan harlah ke-87, seyogianya NU tak lagi terjebak dalam godaan politik yang menyesatkan. Sebaliknya, perlu merintis program yang bermanfaat bagi peningkatan sumber daya dan ekonomi warga, seperti mendirikan perguruan tinggi dan mencari terobosan sumber finansial seperti mendirikan BMT. Semua itu supaya pada era globalisasi yang kompetitif ini, NU mampu memberikan kontribusi besar bagi warga, bangsa, dan negara. Jangan sampai hanya menjadi penonton pasif yang rentan terhadap godaan politik yang menjanjikan keuntungan finansial melimpah tapi ternyata mematikan karena rawan terjerat kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar