Jumat, 22 Februari 2013

Century Masihkah Punya Kabar?


Century Masihkah Punya Kabar?
Bambang Satriya Guru Besar Stiekma, Dosen Luar Biasa Universitas Machung
MEDIA INDONESIA, 21 Februari 2013


KETIKA KPK diberita kan terfokus untuk mengurus korupsi Hambalang, ada beragam pertanyaan publik terlontar, lantas bagaimana kabar Century? Masih adakah komunitas elitis kita yang mengingat Century sebagai salah satu kasus besar yang menyita perhatian publik Indonesia dan internasional? Apakah nasib Century akan menyusul BLBI yang juga tidak jelas `riwayatnya'?

Tidak malukah kita yang secara konstitusional menyebut diri hidup di negara hukum, tetapi banyak kasus layaknya `gajah di pelupuk mata' seperti Century yang tidak kunjung jelas atau mati suri dalam ranah akuntabilitas (pertanggungjawaban) yuridis yang berbasis keterbukaan, berkeadilan, dan egalitarianisme?

Saatnya rakyat atau setiap elemen bangsa yang jadi pejuang hukum dan keadilan tidak melupakan Century. Aparat penegak hukum wajib menyadarkan diri, mencerdaskan intelektualitas, dan membeningkan nuraninya, kalau dirinya ialah pilar fundamental yang menentukan sengkarut-tidaknya wajah negara hukum (rechtstaat) sekarang dan masa depan.

Rakyat Indonesia berkewajiban memotivasi `berahi' moral aparat penegak hukum, istimewanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), agar Century tidak semakin mati suri. Dengan banyaknya kasus korupsi yang terus bersemai dan memadati kantong pekerjaan rumah KPK seperti kasus Gayus, Hambalang, korupsi simulator di kepolisian, pengadaan Alquran, dan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq, dan kasus-kasus korupsi lainnya yang kelasnya di atas Rp1 miliar lebih yang menjadi kompetensi istimewa KPK, publik mengkhawatirkan KPK kehabisan energi dan integritasnya untuk menyelesaikan Century.

Atmosfer publik yang kian diam terhadap kasus Century seharusnya ditempatkan sebagai eksaminasi moral pada KPK untuk tidak mengabaikan dan mengambangkan kasus Century. KPK wajib mengingatkan dan mencerdaskan dirinya sendiri bahwa apa pun jenisnya kasus korupsi yang terus menggelontor kompetensinya, termasuk kasus Century yang diduga sarat bernuansa politisasi, agar tidak membiarkannya sekadar menempati ranah sebagai `kasus mengambang' (floating case).

Tepati Janji

KPK wajib mengkritik dirinya secara radikal supaya tetap independen, tidak kecil nyali, atau tetap menjaga sikap militansi kinerjanya dalam menagani Century. Janji yang pernah berkali-kali diucapkan pimpinan KPK sekarang (Abraham Samad dan lainnya), yang dengan tegas dan lantang mampu menyelesaikan kasus Century secepatnya, tentulah tidak merupakan wacana politik.

Janji haruslah ditepati (semula bisa selesai akhir 2012). Janji menuntaskan kasus besar, sebesar apa pun kasus itu, merupakan ikrar yang wajib dipenuhi. Untuk memenuhi janji itu, kinerja maksimal, tanpa kenal takut, dan berani melawan segala bentuk intervensi yang bermaksud mematikan semangat juangnya, ialah bagian dari modal dan model kinerja yang bisa menuntaskannya. Masalahnya benarkah KPK memang masih punya tekad kuat menyelesaikan Century atau menyeret siapa pun yang telah membuat `tidak jelasnya' penggunaan Rp6,7 triliun?

Pertanyaan itu hanya KPK sendiri yang bisa menjawabnya. Niat, tekad, dan semangat menyelesaikannya ada di internal KPK. KPK sudah menerima pekerjaan berat dari rakyat, bahwa kasus korupsi, siapa pun pelakunya atau tersangkanya, harus ditangani. Siapa pun yang bermaksud menghalangi, mengintervensi, atau mematahkan kinerjanya wajib ditolak dan dikalahkannya.

“Kita telah melafalkan hukum utama. Mari kita seka Mari kita sekarang menerapkannya dalam hidup ini,“ demikian ajakan Edwin Markham, yang ditujukan pada setiap pengemban amanat negara atau pilar-pilar yudisial (peradilan) untuk menyejarahkan produk hukum dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Pengemban amanat yuridis (yudisial) seperti pilar-pilar KPK merupakan sosok manusia yang sudah pintar melafazkan hukum, tetapi belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Mereka bisa hafal di luar kepala pasal-pasal atau buku-buku tebal berisi ragam regulasi, tetapi belum tentu bernyali besar dalam memperjuangkan penegakannya. Mereka bisa berjanji secepatnya kapabel dalam menggulung siapa saja penjahat kerah putih yang merugikan negara, tetapi saat betul-betul dihadapkan pada sekumpulan sosok orangnya, boleh jadi mereka tiba-tiba tidak fasih lagi sebagai penghafal norma yuridis.

Selama ini, dalam realitas di Bumi Pertiwi ini, jumlah manusia pintar yang hafal hukum di Indonesia dari hari ke hari semakin banyak. Hanya, mereka masih sulit diajak menerapkan dalam tugas dan kewenangan, terutama saat hukum dihadapkan pada elemen penjahat berkategori pelaku extraordinary crime seperti koruptor yang mempunyai hubungan istimewa dengan elemen kekuasaan mapan.

Tidak sedikit dari mereka itu yang berpendidikan tinggi dan mengikuti berbagai pelatihan melawan koruptor dan pelatihan mengenai pemahaman kode etik profesi, tetapi ternyata gagal mengedukasikan dirinya jadi pemberantas dan sebaliknya, jadi objek yang komitmennya diragukan dalam mela kukan `bela negara' dari serangan koruptor.

Mereka itu bahkan sudah dibaiat untuk mendedikasi kan dirinya sebagai subjek ter depan dalam penanganan korupsi serta sudah dibayar mahal oleh negara. Namun, akibat rumitnya `lingkaran setan' megaskandal korupsi yang harus ditangani, mereka terbaca oleh publik cenderung menerapkan politik gradualitas dalam pemilihan dan pengalihan kasus korupsi.

Abaikan Niat

Sejak semakin `temaramnya' pimpinan KPK dalam memberitakan perjalanan kasus Century, publik lantas membuat pemetaan yang antara lain menempatkan KPK sedang mengabaikan `baiat' yang mengikat mereka. KPK dinilai publik sedang tergoda dalam memilih kasus yang mereka anggap lebih mudah dan cepat ditangani dengan risiko kecil jika dibandingkan dengan harus menangani perkara besar seperti Century dengan risiko berlipat-lipat.

Secara yuridis KPK memang tidak sampai bersalah jika menggunakan opsi manajemen pemilahan atau prioritas kasus. KPK memang mempunyai otoritas istimewa dalam menentukan kasus mana yang membutuhkan penanganan secepatnya. Namun, itu tidak lantas membiarkan kasus Century tanpa ada kabar beritanya ke publik.

KPK mempunyai tanggung jawab kepada publik. Publik adalah pemegang `hak memperoleh informasi' atas kinerja mereka dalam penanganan kasus yang telah merugikan negara. Begitu besarnya tanggung jawab yang diemban KPK membuat KPK wajib diposisikan sebagai lembaga yang layak dikontrol secara terusmenerus, tidak boleh dibiarkan punya hak imunitas, atau dipraduga sebagai institusi paling bersih yang tidak mungkin ternoda oleh intimidasi dan intervensi politik, serta godaan dahsyat limbah korupsi.

Dalam kasus Century pun demikian, ketika KPK terbaca oleh publik sedang `adem ayem' dalam penanganan kasus itu, wajib ada elemen rakyat, siapa pun orangnya, yang menyuarakan kritik keras kepadanya.

Sejarah telah memberi pelajaran besar pada rakyat. Minimal sejak zaman Orde Baru bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah atau mendapatkan amanat untuk mengawasi kinerja birokrasi dan aparat penegak hukum, agar tak terjerumus dalam malversasi manajemen kasus, ternyata tidak cukup tangguh dalam melakukan pengawasan akibat yang diawasi pun telah memberikan `investasi' politik dan kekuasaan yang menguntungkan kepadanya.

Ada simbiosis mutualisme berskala eksklusif yang membuatnya tidak perlu sampai `berani mati' dalam mempertaruhkan profesinya untuk dijadikan garansi penuntasan kasus korupsi. KPK pun merupakan lembaga yang `diberi hidup' oleh negara (pemerintah) sehingga publik berhak mencurigai mereka bahwa elemen KPK bukanlah malaikat yang tidak melakukan salah dan khilaf.

Elemen KPK juga manusia yang bisa saja kecil nyali ketika menghadapi kasus yang melibatkan banyak kekuatan dahsyat dan bersindikasi fundamental. Karena posisi KPK demikian itu, pengawasan atau kritik radikal internal KPK dan publik dapat menjadi eksaminasi istimewa pada KPK untuk kembali menghidupkan kinerja mereka yang berintegritas moral tinggi.

Century hanya merupakan `sampel' ujian bagi KPK, bahwa rakyat atau pencari keadilan di negeri ini telah memberikan amanat mulia yang menempatkan KPK sebagai kumpulan pejuang korupsi dan bukan komisi pengambangan (kasus) koruptor.

Apa yang dilakukan koruptor selama ini jelas bukan disebabkan kesulitan ekonomi, melainkan dominan oleh keserakahan dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan dampaknya pada rakyat dan negara. Sikap koruptor demikian itu seharusnya dijadikan tantangan terbuka atau `hinaan' pada KPK, yang eksaminasi ini bisa mereka jawab dengan cara memaksimalkan kinerja mereka dalam memberantas (membongkar) korupsi atau meruntuhkan panji-panji kebesaran korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar