KETIKA KPK diberita kan
terfokus untuk mengurus korupsi Hambalang, ada beragam pertanyaan publik
terlontar, lantas bagaimana kabar Century? Masih adakah komunitas elitis
kita yang mengingat Century sebagai salah satu kasus besar yang menyita
perhatian publik Indonesia dan internasional? Apakah nasib Century akan
menyusul BLBI yang juga tidak jelas `riwayatnya'?
Tidak malukah kita yang secara
konstitusional menyebut diri hidup di negara hukum, tetapi banyak kasus
layaknya `gajah di pelupuk mata' seperti Century yang tidak kunjung jelas
atau mati suri dalam ranah akuntabilitas (pertanggungjawaban) yuridis yang
berbasis keterbukaan, berkeadilan, dan egalitarianisme?
Saatnya rakyat atau setiap
elemen bangsa yang jadi pejuang hukum dan keadilan tidak melupakan Century.
Aparat penegak hukum wajib menyadarkan diri, mencerdaskan intelektualitas,
dan membeningkan nuraninya, kalau dirinya ialah pilar fundamental yang
menentukan sengkarut-tidaknya wajah negara hukum (rechtstaat) sekarang dan
masa depan.
Rakyat Indonesia berkewajiban memotivasi
`berahi' moral aparat penegak hukum, istimewanya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), agar Century tidak semakin mati suri. Dengan banyaknya kasus
korupsi yang terus bersemai dan memadati kantong pekerjaan rumah KPK
seperti kasus Gayus, Hambalang, korupsi simulator di kepolisian, pengadaan
Alquran, dan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan
Ishaaq, dan kasus-kasus korupsi lainnya yang kelasnya di atas Rp1 miliar
lebih yang menjadi kompetensi istimewa KPK, publik mengkhawatirkan KPK
kehabisan energi dan integritasnya untuk menyelesaikan Century.
Atmosfer publik yang kian diam terhadap
kasus Century seharusnya ditempatkan sebagai eksaminasi moral pada KPK
untuk tidak mengabaikan dan mengambangkan kasus Century. KPK wajib
mengingatkan dan mencerdaskan dirinya sendiri bahwa apa pun jenisnya kasus
korupsi yang terus menggelontor kompetensinya, termasuk kasus Century yang
diduga sarat bernuansa politisasi, agar tidak membiarkannya sekadar
menempati ranah sebagai `kasus mengambang' (floating case).
Tepati
Janji
KPK wajib mengkritik dirinya secara radikal
supaya tetap independen, tidak kecil nyali, atau tetap menjaga sikap
militansi kinerjanya dalam menagani Century. Janji yang pernah berkali-kali
diucapkan pimpinan KPK sekarang (Abraham Samad dan lainnya), yang dengan
tegas dan lantang mampu menyelesaikan kasus Century secepatnya, tentulah
tidak merupakan wacana politik.
Janji haruslah ditepati (semula bisa
selesai akhir 2012). Janji menuntaskan kasus besar, sebesar apa pun kasus
itu, merupakan ikrar yang wajib dipenuhi. Untuk memenuhi janji itu, kinerja
maksimal, tanpa kenal takut, dan berani melawan segala bentuk intervensi
yang bermaksud mematikan semangat juangnya, ialah bagian dari modal dan
model kinerja yang bisa menuntaskannya. Masalahnya benarkah KPK memang
masih punya tekad kuat menyelesaikan Century atau menyeret siapa pun yang
telah membuat `tidak jelasnya' penggunaan Rp6,7 triliun?
Pertanyaan itu hanya KPK sendiri yang bisa
menjawabnya. Niat, tekad, dan semangat menyelesaikannya ada di internal
KPK. KPK sudah menerima pekerjaan berat dari rakyat, bahwa kasus korupsi,
siapa pun pelakunya atau tersangkanya, harus ditangani. Siapa pun yang
bermaksud menghalangi, mengintervensi, atau mematahkan kinerjanya wajib
ditolak dan dikalahkannya.
“Kita
telah melafalkan hukum utama. Mari kita seka Mari kita sekarang
menerapkannya dalam hidup ini,“
demikian ajakan Edwin Markham, yang ditujukan pada setiap pengemban amanat
negara atau pilar-pilar yudisial (peradilan) untuk menyejarahkan produk
hukum dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Pengemban amanat yuridis (yudisial) seperti
pilar-pilar KPK merupakan sosok manusia yang sudah pintar melafazkan hukum,
tetapi belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Mereka bisa hafal
di luar kepala pasal-pasal atau buku-buku tebal berisi ragam regulasi,
tetapi belum tentu bernyali besar dalam memperjuangkan penegakannya. Mereka
bisa berjanji secepatnya kapabel dalam menggulung siapa saja penjahat kerah
putih yang merugikan negara, tetapi saat betul-betul dihadapkan pada
sekumpulan sosok orangnya, boleh jadi mereka tiba-tiba tidak fasih lagi
sebagai penghafal norma yuridis.
Selama ini, dalam realitas di Bumi Pertiwi
ini, jumlah manusia pintar yang hafal hukum di Indonesia dari hari ke hari
semakin banyak. Hanya, mereka masih sulit diajak menerapkan dalam tugas dan
kewenangan, terutama saat hukum dihadapkan pada elemen penjahat berkategori
pelaku extraordinary crime
seperti koruptor yang mempunyai hubungan istimewa dengan elemen kekuasaan
mapan.
Tidak sedikit dari mereka itu yang
berpendidikan tinggi dan mengikuti berbagai pelatihan melawan koruptor dan
pelatihan mengenai pemahaman kode etik profesi, tetapi ternyata gagal
mengedukasikan dirinya jadi pemberantas dan sebaliknya, jadi objek yang
komitmennya diragukan dalam mela kukan `bela negara' dari serangan
koruptor.
Mereka itu bahkan sudah dibaiat untuk
mendedikasi kan dirinya sebagai subjek ter depan dalam penanganan korupsi
serta sudah dibayar mahal oleh negara. Namun, akibat rumitnya `lingkaran
setan' megaskandal korupsi yang harus ditangani, mereka terbaca oleh publik
cenderung menerapkan politik gradualitas dalam pemilihan dan pengalihan
kasus korupsi.
Abaikan
Niat
Sejak semakin `temaramnya' pimpinan KPK
dalam memberitakan perjalanan kasus Century, publik lantas membuat pemetaan
yang antara lain menempatkan KPK sedang mengabaikan `baiat' yang mengikat
mereka. KPK dinilai publik sedang tergoda dalam memilih kasus yang mereka
anggap lebih mudah dan cepat ditangani dengan risiko kecil jika
dibandingkan dengan harus menangani perkara besar seperti Century dengan
risiko berlipat-lipat.
Secara yuridis KPK memang tidak sampai
bersalah jika menggunakan opsi manajemen pemilahan atau prioritas kasus.
KPK memang mempunyai otoritas istimewa dalam menentukan kasus mana yang membutuhkan
penanganan secepatnya. Namun, itu tidak lantas membiarkan kasus Century
tanpa ada kabar beritanya ke publik.
KPK mempunyai tanggung jawab kepada publik.
Publik adalah pemegang `hak memperoleh informasi' atas kinerja mereka dalam
penanganan kasus yang telah merugikan negara. Begitu besarnya tanggung
jawab yang diemban KPK membuat KPK wajib diposisikan sebagai lembaga yang
layak dikontrol secara terusmenerus, tidak boleh dibiarkan punya hak
imunitas, atau dipraduga sebagai institusi paling bersih yang tidak mungkin
ternoda oleh intimidasi dan intervensi politik, serta godaan dahsyat limbah
korupsi.
Dalam kasus Century pun demikian, ketika
KPK terbaca oleh publik sedang `adem ayem' dalam penanganan kasus itu,
wajib ada elemen rakyat, siapa pun orangnya, yang menyuarakan kritik keras
kepadanya.
Sejarah telah memberi pelajaran besar pada
rakyat. Minimal sejak zaman Orde Baru bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk
oleh pemerintah atau mendapatkan amanat untuk mengawasi kinerja birokrasi
dan aparat penegak hukum, agar tak terjerumus dalam malversasi manajemen
kasus, ternyata tidak cukup tangguh dalam melakukan pengawasan akibat yang
diawasi pun telah memberikan `investasi' politik dan kekuasaan yang
menguntungkan kepadanya.
Ada simbiosis mutualisme berskala eksklusif
yang membuatnya tidak perlu sampai `berani mati' dalam mempertaruhkan
profesinya untuk dijadikan garansi penuntasan kasus korupsi. KPK pun
merupakan lembaga yang `diberi hidup' oleh negara (pemerintah) sehingga
publik berhak mencurigai mereka bahwa elemen KPK bukanlah malaikat yang
tidak melakukan salah dan khilaf.
Elemen KPK juga manusia yang bisa saja
kecil nyali ketika menghadapi kasus yang melibatkan banyak kekuatan dahsyat
dan bersindikasi fundamental. Karena posisi KPK demikian itu, pengawasan
atau kritik radikal internal KPK dan publik dapat menjadi eksaminasi
istimewa pada KPK untuk kembali menghidupkan kinerja mereka yang
berintegritas moral tinggi.
Century hanya merupakan `sampel' ujian bagi
KPK, bahwa rakyat atau pencari keadilan di negeri ini telah memberikan
amanat mulia yang menempatkan KPK sebagai kumpulan pejuang korupsi dan
bukan komisi pengambangan (kasus) koruptor.
Apa yang dilakukan koruptor selama ini
jelas bukan disebabkan kesulitan ekonomi, melainkan dominan oleh
keserakahan dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya
tanpa mempertimbangkan dampaknya pada rakyat dan negara. Sikap koruptor
demikian itu seharusnya dijadikan tantangan terbuka atau `hinaan' pada KPK,
yang eksaminasi ini bisa mereka jawab dengan cara memaksimalkan kinerja
mereka dalam memberantas (membongkar) korupsi atau meruntuhkan panji-panji
kebesaran korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar