BEBERAPA saat setelah Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melansir surveinya yang menunjukkan melemahnya
elektabilitas Partai Demokrat (PD) di angka 8,3%, sontak para anggota dewan
pembina dan jajaran pengurus PD mengeluarkan sikap dan pernyataan
masingmasing.
Anggota Dewan Pembina PD Syarief Hasan meminta Ketua Dewan Pembina
PD, Susilo Bambang Yudhoyono mencurahkan waktunya untuk mengambil
langkah-langkah pemulihan citra partai. Pandangan mirip disampaikan Ketua
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PD, Benny Kabur Harman, bahwa persoalan yang
membelit Demokrat tidak lagi bisa diselesaikan dengan cara normatif
berdasarkan mekanisme di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD ART)
Partai Demokrat, namun perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah luar
biasa.
Di daerah, suara-suara jajaran pengurus Demokrat mengerucut pada
desakan agar elite pengurus PD ‘turun gunung’ untuk menyelamatkan partai
dari kemerosotan dukungan dan kepercayaan konstituen maupun publik. Namun,
upaya penyelamatan itu tak harus dimaknai dengan melengserkan Anas Urbaningrum
selaku Ketua Umum PD lewat Kongres Luar Biasa.
Padahal SBY mengakui, sering disebut-sebutnya nama Anas Urbaningrum,
dalam kasus korupsi menjadi penyebab elektabilitas PD merosot. “Akibat banyaknya sangkaan, tuduhan,
dugaan, akhirnya menimbulkan kemerosotan yang luar biasa karena media
memberitakannya secara terus-menerus,” kata SBY kepada pers di Jeddah
(Jurnal Nasional, 5/2). Pernyataan itu agaknya tidaklah berlebihan, apalagi
dalam survei SMRC, elektabilitas PD bertolak belakang dengan kinerja pemerintahan
di saat 51,6% responden menyatakan cukup puas dengan kinerja SBY.
Namun, fakta tersebut tak pula membendung kepercayaan diri Anas yang
menyerukan agar elite Demokrat tidak lekas-lekas mencari kambing hitam.
Anas tetap bergeming bahwa kemelut di partainya bukan karena sangkaan
korupsi terhadap dirinya. Saling timpal itu sebelumnya juga terjadi di Juni
2012 lalu ketika SBY dalam berbagai media mendesak agar kader bermasalah
yang tidak lagi santun, cerdas, dan bersih untuk segera keluar dari partai.
Namun, oleh Anas permintaan tersebut dianggap tidak dikhususkan untuk
dirinya semata, tetapi ditujukan buat semua kader Demokrat.
Harus diakui, gejolak politik di tubuh partai segi tiga biru ini akan
menjadi ukuran sejauh mana kedewasaan politik elite-elite struktural partai
ini memainkan jurus-jurus peredamnya. Sehingga friksi internal yang terjadi
tidak berimbas pada kian dekatnya partai ini pada antiklimaks kejayaannya
di Pemilu 2004 dan 2009.
Gagal Matang
Demokrat memang tergolong `pemain baru' dalam kancah politik.
Kemenangannya di dua pemilu tak sertamerta membuatnya luput dari persoalan
faksionalisasi dan kontestasi kepentingan internal di tubuh partai yang
terus mencari bentuknya. SBY yang menjadi sentrum politik di dua periode
pemilu memang sukses membuktikan, bahwa pembentukan kematangan PD tak bisa
lepas dari tangan dinginnya membangun pencitraan ke dalam dan ke luar
sebagai partai yang nasionalis dan antikorupsi yang diapresiasi oleh
publik.
Sayangnya, kesuksesan citra dan ketokohan PD di dua musim pemilu
gagal dijadikan modal dasar untuk mengimbangi pembesaran postur partai.
Akibat proses imaji politik dengan melakukan pematangan identitas dan
kelembagaan partai. Dengan pematangan identitas dan kelembagaan partai
inilah, berbagai energi ambisi(us) dan strategi parsial elite dan
kader-kadernya semestinya diharapkan bisa diredam untuk mencapai
keseimbangan politik baru sebagai partai yang mapan secara struktur dan
kultur.
Dengan begitu cepat, kelengahan itu telah mengantar Demokrat persis
di tepian pragmatisme, yakni beberapa kadernya dalam selang waktu tak lama
terseret masuk dalam jurang korupsi. Di sisi lain upaya untuk menahan
‘gerak sial’ partai juga terhadang karena pucuk pimpinannya ikut tersandung
dugaan korupsi dan menjadi berita mewah di media massa dalam satu tahun
terakhir. Upaya Anas menyambangi kader dan konstituen di daerah untuk
mengefektifkan komunikasi dan memperkuat akar dukungan grass root nyatanya tak memadai menahan badai perlawanan sengit
Nazaruddin lewat nyanyian-nyanyian panasnya terkait Anas di berbagai media
massa.
Terjun bebasnya elektabilitas Demokrat hingga 8,3% merupakan sejarah
kelam bagi partai berlambang Mercy ini. Harusnya ini menjadi alarm untuk
membangunkan seisi rumah Demokrat dari tidur panjang ‘manajemen kalbu’nya.
Mestinya Demokrat harus berhenti berkelit alias mengulur-ulur waktu (buying time) sambil hanya berharap
pemakluman dan nasib mujur politik berpihak padanya.
Di Depan
Sebagai tokoh yang membesuti kelahiran
Demokrat, SBY harus berada di front terdepan untuk memecah kebuntuan komunikasi
struktural di internal partai. SBY perlu sigap melokalisir persoalan
internal partai agar tidak merebak sebagai bola muntah bagi kekuatan
politik eksternal.
Salah satu Langkah paling konkret dan rasional yang bisa
diambil SBY selaku Ketua Dewan Pembina PD sejatinya meminta Anas mundur,
atau menonaktifkan sementara Anas sebagai ketua umum partai. Sekaligus
untuk memberikan kesempatan kepadanya berkonsentrasi menghadapi proses
hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus dugaan korupsi
sebagaimana yang diungkapkan Nazaruddin dalam sejumlah kesaksiannya di
pengadilan. Dengan begitu, SBY bisa mengambil alih kemudi kapal Demokrat
dan mempersiapkan keberangkatannya menuju Pe milu 2014, melalui eksekusi penyelamatan
partai termasuk merapatkan kembali barisan Demokrat kepada cita-cita dasar
ideologi yang menjadi napas partai.
Sayangnya yang terjadi selama ini sepertinya ada sikap saling tunggu
di internal partai maupun antara kubu PD dan KPK. Demokrat berharap status
hukum Anas bisa dipastikan sesegera mungkin oleh KPK, namun KPK sepertinya
masih berhitunghitung dengan konsekuensi politis seandainya Anas diperiksa
sebagai tersangka. Di sisi lain, politik saling menjaga perasaan mewarnai
pula dina mika internal partai. SBY misalnya `belum berani' secara gamblang
meminta Anas mundur, meski sudah didesak berbagai komponen dalam partai, selain
menunggu keikhlasan Anas melepas jabatannya.
Namun jika ini tak diakhiri, Demokrat-lah yang bakal dirugikan.
Selain berlayar ke Pemilu 2014 dengan laju yang tergopoh-gopoh karena
kehilangan elektabilitas yang meyakinkan, ia bisa dirundung konflik kepentingan
yang makin tajam dan memecah-belah isi kapal PD. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar