Kebebasan berekspresi di Asia
Tenggara, termasuk kebebasan pers dan menyatakan pendapat, lambat laun
menjalar ke negara-negara tetangga selama beberapa tahun terakhir.
Satu dasawarsa lalu, tiga negara
di wilayah ini yang paling di- kenal dengan kebebasan berekspresi adalah
Filipina, Thailand, dan Indonesia. Kemudian menjalar ke Kamboja. Sekarang
mulai merambat di Myanmar (Burma), yang selama setengah abad dikuasai rezim
militer.
Pemerintah Myanmar pada Agustus
2012 menghapus peraturan sensor sebelum dilakukan publikasi untuk semua
media, kecuali film. Para wartawan Myanmar sangat terkejut dan hampir tak
percaya ketika menerima pengumuman tentang putusan ini. Sebab, sensor untuk
semua media—mulai dari isi surat kabar dan buku sampai ke sajak, lirik
lagu, dan karya fiksi, termasuk dongeng—sudah berlangsung sejak 1964.
Sampai tahun lalu, pers Myanmar bahkan tak boleh memuat laporan tentang
tokoh oposisi Aung San Suu Kyi atau fotonya.
Akan tetapi, menurut organisasi
antisensor di London, Article 19, yang dikutip jurnal IFEX Communique, para
wartawan Myanmar masih harus menyerahkan tulisan mereka ke badan sensor
setelah dipublikasikan. Dengan demikian, masih ada ancaman bagi kebebasan
pers.
Masih Ada Hambatan
Dengan kian cepatnya pertumbuhan
kebebasan berekspresi di negara-negara Asia Tenggara, yang bahkan mulai
merambat ke daratan China, tidak berarti kebebasan ini sudah sepenuhnya
ditegakkan. Hambatan bagi perkembangan kebebasan berekspresi tidak hanya
masih terjadi di Myanmar, tetapi juga di negara-negara tetangganya, seperti
Thailand, Filipina, dan Indonesia yang sudah jauh lebih lama mengawali
reformasi politik.
Di Myanmar, dengan dihapusnya
sensor sebelum publikasi bagi media pers, surat kabar sekarang dapat
diterbitkan sebagai harian, kecuali surat kabar swasta yang tidak boleh
terbit setiap hari. Pada masa lalu, ketika berlaku peraturan sensor, surat
kabar hanya dapat terbit mingguan karena diperlukan waktu cukup lama untuk
menunggu hasil penelitian di badan sensor.
Hambatan yang sekarang dihadapi
pers Myanmar adalah pasal-pasal dalam perundang-undangan yang tak jelas
sehingga multitafsir. Selain itu, UU dapat memenjarakan wartawan dan
membredel media mereka. Ada pula peraturan yang melarang publikasi komentar
seperti ”kritik negatif terhadap kebijakan negara dan pemerintah” serta
”kritik negatif terhadap kebijakan ekonomi negara”.
Filipina tergolong negeri yang
paling berbahaya di dunia bagi para pengelola media pers. Sejak memiliki
kembali pemerintahan sipil pada 1986, lebih dari 150 petugas pers—termasuk
wartawan—terbunuh di Filipina. Salah satu penyebab banyaknya korban yang
terbunuh di kalangan pers diduga karena adanya kebudayaan impunitas, yaitu
lambannya penegakan hukum. Impunitas menyebabkan orang-orang yang memiliki
potensi melakukan kekerasan tak merasa takut dan jera menghadapi tindakan
hukum.
Di Thailand, berlaku UU pidana
yang keras bagi warga, termasuk pengasuh media pers, yang dituduh
”mencemarkan nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, pewaris
takhta, atau wali”. Hukumannya 3-5 tahun penjara. Korban hukum ini paling
akhir adalah Somyot Prueksakasemsuk, pemimpin redaksi terkemuka yang
dijatuhi hukuman 11 tahun penjara akhir Januari lalu. Pada 2010 dia memuat
dua tulisan dalam majalah politiknya, Voice of Taksin.
Menurut para jaksa, kedua tulisan
itu— yang ditulis oleh mantan juru bicara Perdana Menteri Thaksin
Shinawatra—memberi gambaran negatif mengenai kerajaan. Mantan juru bicara
itu kini mengungsi di Kamboja.
Masih Berat
Pers dan publik di Indonesia juga
masih menghadapi sejumlah perundang-undangan dengan ancaman hukuman yang
keras, berupa penjara atau denda (pidana) dan ganti rugi (perdata) yang
berat, ketika warga dan pers dihadapkan pada tuduhan pencemaran nama baik,
fitnah, penghinaan, atau penistaan. Pasal-pasal hukum ini makin tak populer
di dunia internasional sehingga banyak negara menghapus pasal-pasal itu
dari UU pidana walaupun masih mempertahankannya dalam UU perdata dengan
sanksi hukum ganti rugi ringan.
Sebagaimana dikatakan oleh Menteri
Informasi Etiopia Bereket Simone, seperti diberitakan The Daily Monitor di Addis Ababa bulan September 2004, ”Denda
yang lebih ringan akan mendorong kebebasan berekspresi.” Dengan kata lain,
orang tak menjadi penakut untuk mengemukakan pendapatnya. Adapun penggunaan
UU pidana dengan sanksi hukum badan atau penjara bagi gugatan defamation atau libel, menurut Komite Hak-hak Asasi Manusia PBB, merupakan
pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Pendapat Komite HAM PBB ini,
mengenai pasal-pasal hukum seperti fitnah, penghinaan, pencemaran nama
baik, dan penistaan, dikemukakan bulan Oktober 2011.
Para penegak hukum di Indonesia
bahkan kadang-kadang tidak menggunakan UU Pers, yang sekarang berlaku,
dalam kasus-kasus pers. Contoh paling akhir adalah putusan pidana dan
perdata terhadap Khoe Seng Seng atau Aseng, penulis surat pembaca yang
dimuat di Kompas dan Suara Pembaruan. Surat pembaca adalah produk pers,
yang dalam prinsip pekerjaan pers merupakan tanggung jawab pemimpin
redaksi. Prinsip ini juga tecermin dalam UU Pers kita yang sudah berumur
lebih dari satu dasawarsa.
Aseng dijatuhi hukuman ganti rugi
Rp 1 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk gugatan perdata PT
Duta Pertiwi. Putusan ini dibatalkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena
media pers yang menyiarkan surat pembaca tersebut tidak dilibatkan dalam
perkara ini. Namun, putusan kasasi Mahkamah Agung, yang diumumkan Januari
lalu, kembali menjatuhkan hukuman ganti rugi Rp 1 miliar kepada Aseng. Ia
juga dijatuhi hukuman penjara enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan
dalam vonis Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk gugatan pidana dari
perusahaan yang sama terhadap surat pembaca itu. Hukuman badan ini tidak
berubah dalam putusan banding di pengadilan tinggi dan putusan kasasi di
Mahkamah Agung.
Sebagian hakim kita agaknya masih
sangat ketat berpegang pada yuridis formal tanpa memedulikan perkembangan
situasi sosial-politik yang tengah berubah pesat menuju penghargaan yang
lebih besar kepada hak asasi manusia dan keadilan. Putusan hukum yang
konservatif ini, serta tindakan kekerasan yang masih terjadi terhadap
wartawan dan pers kita, menyebabkan organisasi pengamat pers internasional
menempatkan kebebasan pers di Indonesia pada tingkat yang lebih rendah
daripada di beberapa negara tetangga, seperti Papua Niugini, Kamboja, dan
Timor Leste. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar