Sabtu, 02 Februari 2013

Dampak Aturan Hortikultura


Dampak Aturan Hortikultura
Muhammad Firdaus ;  Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Peneliti Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB
REPUBLIKA, 02 Februari 2013
  

Mengemukanya isu larangan impor sementara beberapa produk hortikultura (buah, sayur, dan tanaman hias) menarik banyak perhatian. Apa dampak kebijakan tersebut dan antisipasinya bila setelah diberlakukan perlu ditelaah. Dari sisi makroekonomi, subsektor hortikultura menyumbang PDB nasional sekitar 1,5 persen. Subsektor ini menghidupi sekitar 34 persen dari rumah tangga pertanian Indonesia. 

Untuk lima tahun terakhir, data BPS menunjukkan nilai impor produk hortikultura bertumbuh 31 persen sedangkan nilai ekspornya bertumbuh 17 persen. Meskipun sebenarnya nilai impor tersebut tertutupi oleh surplus ekspor, kerisauan impor produk hortikultura disebabkan oleh penetrasinya yang mencapai pelosok, baik kota maupun desa, mencolok mata setiap orang. Ini berbeda dengan impor pangan lain, seperti gandum, kedelai, dan jagung yang sudah diolah terlebih dahulu baru sampai ke tangan konsumen.

Terus naiknya impor buah dan sayur sebenarnya lebih disebabkan oleh keduanya merupakan balanced healthy diet. Saat ini, Indonesia sedang mengalami booming kelas menengah sehingga wajar bila terjadi kenaikan impor buah dan sayur, baik untuk jenis yang sebenarnya bisa disediakan di dalam negeri, tetapi impor mempunyai kualitas yang lebih baik. Namun, belum terjawab secara pasti berapa persen konsumsi buah dan sayur yang "wajar" didatangkan dari luar seiring dengan majunya perekonomian masyarakat.

Dari sisi mikroekonomi, pertanyaan apakah sebaiknya memproduksi sendiri atau mengimpor suatu produk dapat menggunakan indikator ekonomi, yang tidak hanya menghitung nilai finansial (private assessment), tetapi juga memasukkan aspek distorsi pasar. Aspek ini dikenal dengan indikator biaya sumber daya domestik atau domestic resource cost (DRC). Beberapa jenis hortikultura yang selama ini diimpor Indonesia dan masuk daftar yang dilarang sementara, seperti nanas, pisang, kentang, wortel, kubis, dan cabai, berda- sarkan beberapa kajian Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB, mempunyai DRC kurang dari satu, bahkan beberapa kurang dari 0,50.

Artinya, komoditas ini mempunyai keunggulan komparatif untuk diproduksi di dalam negeri. Namun, permasalahannya adalah sering kali kuantitas suplai produk tersebut dengan kualitas yang seragam masih kurang sehingga saat dijejerkan dengan produk buah atau sayur impor di tingkat ritel, kalah bersaing.

Bila kebijakan pelarangan impor diberlakukan, diduga sebenarnya pengaruh awal tidak dirasakan langsung oleh petani. Pedagang pengecer, khsususnya ritel besar, akan lebih dahulu terkena dampak negatifnya karena selama ini margin keuntungan dari perdagangan buah dan sayur, baik impor maupun produksi dalam negeri, bagian terbesarnya diterima oleh ritel besar. 

Dampak positif akan lebih cepat dirasakan oleh petani sayur karena umur produksi yang lebih pendek. Untuk buah dan beberapa tanaman hias, secara umum petani memerlukan waktu produksi yang lebih panjang sehingga kenaikan permintaan maupun harga mungkin baru dirasakan dalam rentang waktu bisa lebih dari setahun. 

Hal lain adalah kebijakan pelarangan impor juga tidak mustahil akan membawa konsekuensi adanya impor ilegal buah dan sayur. Tentunya, kekosongan suplai yang selama ini diisi dari impor harus segera dipenuhi karena menjadi kewajiban bersama untuk memenuhi kebutuhan pangan sehat masyarakat.

Kata kunci untuk persiapan ini adalah bagaimana memproduksi komo di tas hortikultura dengan kuantitas yang cukup disertai konsistensi dalam kualitas. Bisa jadi saat ini konsumen harus berkorban sementara dengan adanya kebijakan tersebut. Namun, secara alamiah, ini tidak mungkin bisa bertahan lama. Mau tidak mau semua pihak harus bekerja keras semisal dengan menerapkan strategi 4P dalam ilmu marketing

Untuk produk, strateginya adalah perbaikan kualitas dan pengembangan produk. Perbaikan kualitas buah dilakukan, terutama pada tanaman-tanaman yang sudah menghasilkan, dengan teknologi budi daya dan teknologi pascapanen yang baik dan terpadu. Untuk buah, pengembangan produk dilakukan, antara lain, dengan mendaftar tanaman yang menghasilkan kualitas yang baik yang dapat dijadikan pohon induk. 

Identifikasi terhadap tanaman yang berbuah lebih awal dan lebih akhir perlu dilakukan. Pohon-pohon unggul tersebut dapat digunakan sebagai bahan "entres" bagi top working untuk pohon-pohon yang jelek mutunya dan untuk memperpanjang suplai buah ke pasar. Hal ini dilengkapi dengan pengembangan teknologi produksi buah di luar musim. 

Untuk sayuran, sistem agribisnis yang lebih memihak petani yang diperlukan karena kuantitas produksinya sebenarnya sudah mendekati cukup. Strategi harga agar lebih bersaing dilakukan dengan tiga cara. Pertama, dengan meningkatkan produktivitas tanaman sehingga harga turun, tetapi pendapatan petani relatif stabil atau lebih baik. Kedua, melaksanakan pasar lelang di sentra-sentra produksi saat musim panen. Bila pembentukan harga menjadi lebih transparan, harga di pasar berikutnya menjadi lebih murah. Ketiga, penerapan grading

Perbaikan sistem distribusi dilakukan melalui dua strategi. Pertama, dengan membina distributor yang mempunyai kemampuan untuk memindahkan produk dan mencari pelanggan. Kedua, perlu dilakukan pengembangan lini untuk display produk. Buah dan sayuran dari dalam negeri harus diupayakan lebih dari satu jenis berjejer dengan satu komoditas impor sehingga meningkatkan keterpaparan.

Untuk promosi, terdapat dua alternatif strategi. Pertama, kebanyakan produk hortikultura merupakan produk generik maka pemerintah bertugas untuk mencarikan kerja sama dengan perusahaan nasional yang loyal. Kedua, promosi yang berkaitan dengan pendidikan konsumen juga penting. Membangkitkan kesadaran konsumen akan industri buah nasional yang menyangkut hajat hidup petani perlu dilakukan melalui penyebaran tagline, seperti "Pastikan setiap rupiah yang Anda keluarkan menguntungkan petani Indonesia".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar