Mengemukanya isu larangan
impor sementara beberapa produk hortikultura (buah, sayur, dan tanaman
hias) menarik banyak perhatian. Apa dampak kebijakan tersebut dan
antisipasinya bila setelah diberlakukan perlu ditelaah. Dari sisi
makroekonomi, subsektor hortikultura menyumbang PDB nasional sekitar 1,5
persen. Subsektor ini menghidupi sekitar 34 persen dari rumah tangga
pertanian Indonesia.
Untuk lima tahun
terakhir, data BPS menunjukkan nilai impor produk hortikultura bertumbuh 31
persen sedangkan nilai ekspornya bertumbuh 17 persen. Meskipun sebenarnya
nilai impor tersebut tertutupi oleh surplus ekspor, kerisauan impor produk
hortikultura disebabkan oleh penetrasinya yang mencapai pelosok, baik kota
maupun desa, mencolok mata setiap orang. Ini berbeda dengan impor pangan
lain, seperti gandum, kedelai, dan jagung yang sudah diolah terlebih dahulu
baru sampai ke tangan konsumen.
Terus naiknya impor
buah dan sayur sebenarnya lebih disebabkan oleh keduanya merupakan balanced healthy diet. Saat ini,
Indonesia sedang mengalami booming kelas menengah sehingga wajar bila
terjadi kenaikan impor buah dan sayur, baik untuk jenis yang sebenarnya
bisa disediakan di dalam negeri, tetapi impor mempunyai kualitas yang lebih
baik. Namun, belum terjawab secara pasti berapa persen konsumsi buah dan
sayur yang "wajar" didatangkan dari luar seiring dengan majunya perekonomian masyarakat.
Dari sisi
mikroekonomi, pertanyaan apakah sebaiknya memproduksi sendiri atau
mengimpor suatu produk dapat menggunakan indikator ekonomi, yang tidak hanya
menghitung nilai finansial (private
assessment), tetapi juga memasukkan aspek distorsi pasar. Aspek ini
dikenal dengan indikator biaya sumber daya domestik atau domestic resource cost (DRC). Beberapa jenis hortikultura
yang selama ini diimpor Indonesia dan masuk daftar yang dilarang sementara,
seperti nanas, pisang, kentang, wortel, kubis, dan cabai, berda- sarkan
beberapa kajian Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB, mempunyai DRC kurang
dari satu, bahkan beberapa kurang dari 0,50.
Artinya, komoditas
ini mempunyai keunggulan komparatif untuk diproduksi di dalam negeri.
Namun, permasalahannya adalah sering kali kuantitas suplai produk tersebut
dengan kualitas yang seragam masih kurang sehingga saat dijejerkan dengan
produk buah atau sayur impor di tingkat ritel, kalah bersaing.
Bila kebijakan pelarangan impor diberlakukan, diduga sebenarnya pengaruh
awal tidak dirasakan langsung oleh petani. Pedagang pengecer, khsususnya
ritel besar, akan lebih dahulu terkena dampak negatifnya karena selama ini
margin keuntungan dari perdagangan buah dan sayur, baik impor maupun produksi
dalam negeri, bagian terbesarnya diterima oleh ritel besar.
Dampak positif akan
lebih cepat dirasakan oleh petani sayur karena umur produksi yang lebih
pendek. Untuk buah dan beberapa tanaman hias, secara umum petani memerlukan
waktu produksi yang lebih panjang sehingga kenaikan permintaan maupun harga
mungkin baru dirasakan dalam rentang waktu bisa lebih dari setahun.
Hal lain adalah
kebijakan pelarangan impor juga tidak mustahil akan membawa konsekuensi
adanya impor ilegal buah dan sayur. Tentunya, kekosongan suplai yang selama
ini diisi dari impor harus segera dipenuhi karena menjadi kewajiban bersama
untuk memenuhi kebutuhan pangan sehat masyarakat.
Kata kunci untuk persiapan ini adalah bagaimana memproduksi komo di tas
hortikultura dengan kuantitas yang cukup disertai konsistensi dalam
kualitas. Bisa jadi saat ini konsumen harus berkorban sementara dengan
adanya kebijakan tersebut. Namun, secara alamiah, ini tidak mungkin bisa
bertahan lama. Mau tidak mau semua pihak harus bekerja keras semisal dengan
menerapkan strategi 4P dalam ilmu marketing.
Untuk produk,
strateginya adalah perbaikan kualitas dan pengembangan produk. Perbaikan
kualitas buah dilakukan, terutama pada tanaman-tanaman yang sudah
menghasilkan, dengan teknologi budi daya dan teknologi pascapanen yang baik
dan terpadu. Untuk buah, pengembangan produk dilakukan, antara lain, dengan
mendaftar tanaman yang menghasilkan kualitas yang baik yang dapat dijadikan
pohon induk.
Identifikasi
terhadap tanaman yang berbuah lebih awal dan lebih akhir perlu dilakukan.
Pohon-pohon unggul tersebut dapat digunakan sebagai bahan "entres"
bagi top working untuk pohon-pohon
yang jelek mutunya dan untuk memperpanjang suplai buah ke pasar. Hal
ini dilengkapi dengan pengembangan teknologi produksi buah di luar musim.
Untuk sayuran,
sistem agribisnis yang lebih memihak petani yang diperlukan karena
kuantitas produksinya sebenarnya sudah mendekati cukup. Strategi harga
agar lebih bersaing dilakukan dengan tiga cara. Pertama, dengan
meningkatkan produktivitas tanaman sehingga harga turun, tetapi pendapatan
petani relatif stabil atau lebih baik. Kedua, melaksanakan pasar lelang di
sentra-sentra produksi saat musim panen. Bila pembentukan harga menjadi
lebih transparan, harga di pasar berikutnya menjadi lebih murah. Ketiga,
penerapan grading.
Perbaikan sistem
distribusi dilakukan melalui dua strategi. Pertama, dengan membina
distributor yang mempunyai kemampuan untuk memindahkan produk dan mencari
pelanggan. Kedua, perlu dilakukan pengembangan lini untuk display produk.
Buah dan sayuran dari dalam negeri harus diupayakan lebih dari satu jenis
berjejer dengan satu komoditas impor sehingga meningkatkan keterpaparan.
Untuk promosi,
terdapat dua alternatif strategi. Pertama, kebanyakan produk hortikultura
merupakan produk generik maka pemerintah bertugas untuk mencarikan kerja
sama dengan perusahaan nasional yang loyal. Kedua, promosi yang
berkaitan dengan pendidikan konsumen juga penting. Membangkitkan kesadaran
konsumen akan industri buah nasional yang menyangkut hajat hidup petani
perlu dilakukan melalui penyebaran tagline,
seperti "Pastikan setiap rupiah
yang Anda keluarkan menguntungkan petani Indonesia". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar