Diterimanya permohonan
penyelesaian sengketa pemilu terkait verifikasi partai politik calon
peserta Pemilu 2014 mamantik silang pendapat antara KPU dan Bawaslu.
Apalagi, putusan atas permohonan
yang diajukan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) tersebut juga
disertai perintah agar KPU menetapkan partai yang bersangkutan sebagai
peserta pemilu.
Di satu pihak, Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) begitu percaya diri meletakkan putusannya pada aras final
dan mengikat. KPU pun diwajibkan menindaklanjutinya. Di pihak lain, KPU
lebih memilih tidak tunduk pada putusan Bawaslu. Alasannya, putusan
dimaksud belum final. Pada saat bersamaan, Bawaslu juga dianggap tidak
cermat dan melampaui kewenangan dalam menjatuhkan putusan.
Menentukan apakah putusan Bawaslu
dalam penyelesaian sengketa sudah bersifat final atau belum kiranya bukan
persoalan serius. UU Nomor 8 Tahun 2012 memberikan garis yang jelas dan
tegas. Pasal 259 UU ini mengatur, semua keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian
sengketa pemilu bersifat terakhir dan mengikat, kecuali keputusan sengketa
pemilu terkait verifikasi partai politik peserta pemilu dan sengketa
penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Secara eksplisit, ketentuan di
atas mengategorikan putusan Bawaslu pada dua sifat yang berbeda. Ada yang
bersifat final dan mengikat, dan ada pula yang tidak final dan tidak
mengikat.
Pada kategori pertama, putusan
langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Sebab, sifat final dan mengikat
”memaksa” para pihak yang bersengketa untuk melaksanakannya. Sementara pada
kategori kedua baru sebatas bersifat putusan pendahuluan. Sebab, masih
tersedia kesempatan mengajukan upaya hukum jika putusan dimaksud dinilai
gagal memenuhi tuntutan para pihak. Pihak yang kalah pun tidak dapat
dipaksa melaksanakan jika yang bersangkutan belum dapat menerima putusan
tersebut.
Soal Pembuktian
Berdasarkan hasil verifikasi KPU,
PKPI dinyatakan tidak memenuhi syarat di enam provinsi. Hanya saja, Bawaslu
justru menilai sebaliknya. Sebab, jajaran KPU dianggap tidak bekerja
maksimal dalam memverifikasi, terutama verifikasi keanggotaan di
daerah-daerah yang secara geografis sulit dijangkau.
Selain itu, jajaran KPU juga
dinilai tidak memahami permasalahan geografis sehingga parpol tidak dapat
menghadirkan anggotanya sesuai waktu yang ditentukan. Dengan alasan itu,
permohonan PKPI dikabulkan.
Jika ditelusuri lebih jauh,
pertimbangan Bawaslu memiliki kelemahan yang amat substansial. Pertama,
mekanisme verifikasi kepemilikan anggota tidak hanya dilakukan dengan tatap
muka antara KPU kabupaten/kota dan anggota partai yang dijadikan sampel
verifikasi. Jika sampel verifikasi tidak ditemukan, parpol dapat
menghadirkan anggotanya ke petugas selama tahapan verifikasi masih
berlangsung.
Dengan dua mekanisme itu, parpol
telah diberi ruang yang amat luas untuk membuktikan keterpenuhan syarat
keanggotaannya. Semestinya, selain menilai penerapan mekanisme tatap muka,
Bawaslu juga melakukan penilaian apakah parpol pun telah maksimal untuk
menghadirkan anggotanya dalam verifikasi.
Kedua, proses verifikasi calon
peserta pemilu juga tidak luput dari pengawasan Bawaslu. Sebab, Bawaslu
beserta jajarannya sampai kabupaten/kota secara aktif ikut mengawasi
pelaksanaan verifikasi. Lantas, apakah hasil pengawasan dimaksud telah
turut dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan?
Mengamati perkembangan proses
ajudikasi yang dilakukan, Bawaslu seakan luput dari upaya mempertimbangkan
hasil pengawasan jajarannya. Dalam pemeriksaan, Bawaslu justru tidak
menghadirkan Bawaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota untuk dimintai
keterangan terkait hasil pengawasan di daerah parpol yang bersangkutan
dinyatakan tidak memenuhi syarat. Padahal, jika langkah ini ditempuh,
Bawaslu tentu akan lebih kaya dengan bukti dan memiliki pertimbangan yang
jauh lebih komprehensif dalam memutus penyelesaian sengketa.
Ketiga, dalam penyelesaian
sengketa pemilu, merujuk ketentuan Pasal 259 Ayat (3) UU No 8 Tahun 2012,
Bawaslu semestinya memosisikan diri sebagai mediator. Dalam posisi
demikian, Bawaslu cukup memutuskan apakah sengketa pemilu dapat
diselesaikan atau tidak, dan bukan memutuskan apakah menerima atau menolak
permohonan yang diajukan parpol serta memerintah KPU untuk melaksanakannya.
Alih-alih memosisikan diri seperti itu, yang terjadi justru Bawaslu
menempatkan diri bak seorang arbiter yang putusannya wajib dilaksanakan
para pihak.
Atas alasan itu, sikap penolakan
KPU terhadap putusan Bawaslu menjadi wajar. Bawaslu pun tidak perlu merasa
tersinggung. Sikap KPU cukup dijadikan evaluasi agar ke depan Bawaslu dapat
bekerja lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar