Kamis, 14 Februari 2013

Efektivitas Hukuman Badan (Penjara)


Efektivitas Hukuman Badan (Penjara)
Romli Atmasasmita    Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) 
SINDO, 14 Februari 2013


Hukuman badan (penjara) dikenal sejak abad ke-15 sampai saat ini. Selama rentang itu tidak ada perubahan filosofi yang melatarbelakangi hukuman badan (penjara) kecuali hanya untuk membuat tobat pelaku kejahatan dan harapan agar orang lain tidak berbuat kejahatan. 

Sejalan dengan perkembangan umat manusia, terutama setelah abad humanisme dan abad reformasi peradaban masyarakat sejak pertengahan abad ke-19, pandangan bahwa kejahatan itu diwariskan bukan pengaruh lingkungan telah berubah menjadi kejahatan karena pengaruh faktor lingkungan seperti kemiskinan dan pengangguran. Lazimnya pelaku kejahatan berasal dari golongan ekonomi lemah kecuali yang terlibat dalam organisasi kejahatan. Sejak berabad lampau negara selalu diharapkan dapat membuat tobat pelaku kejahatan, tetapi tidak pernah terpikirkan manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh negara dan masyarakat dari kehidupan pelaku kejahatan selama menjalani hukuman badan (penjara). 

Yang menjadi perhatian hanya untuk menguatkan pandangan bahwa penjahat bukan merupakan bagian dari masyarakat sehingga perlu diasingkan dari pergaulan kehidupan masyarakat. Pandangan klasik di atas menempatkan pelaku kejahatanserta- merta sebagai “sampah masyarakat”.Namun, jika kita pikirkan jernih dan objektif pertanyaan mengenai sejauh manakah menempatkan orang-orang di dalam penjara agar memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan bagi mereka sendiri, tentu akan diperoleh jawaban yang membingungkan. 

Karena pandangan klasik telah telanjur dikuasai adagium ”penjahat adalah musuh masyarakat bukan bagian dari masyarakat”. Manfaat satu-satunya menempatkan orang di dalam penjara selama waktu yang cukup lama yang pasti pelaku kejahatan mengalami deteriorasi fisik dan mental dan bahkan mendekati “kematian perdata” seumur hidupnya; lebih buruk lagi berujung pada kematian. Pertanyaan berikut adalah apakah negara dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kondisi mereka yang menjalani hukuman badan (penjara) dalam waktu yang cukup lama itu? 

Pasti jawabannya tidak ada manfaat sama sekali, bahkan kenyataannya negara menanggung beban ekonomi yang tinggi (high-cost economy) karena kewajiban memelihara dan melindungi sekuat-kuatnya kehidupan mereka selama menjalani hukuman badan (penjara). Fakta terburuk kondisi penjara dan rumah tahanan di Indonesia, antara lain “tidur sambil berdiri” dan menu makanan yang tidak memenuhi standar kesehatan yang diwajibkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, cenderung berpotensi membuat negara dituntut karena pelanggaran HAM. 

Semakin lama terpenjara mendiami penjara semakin tinggi biaya ekonomi yang harus dibayar oleh pajak yang dibayarkan rakyatnya.Anggaran negara Kementrian Hukum dan HAM sejak dulu sampai saat ini yang tertinggi berada pada unit teknis yang mengurus penjara dan rumah tahanan daripada unit imigrasi atau BPHN. 

Pendekatan ekonomi terhadap hukum pidana berpandangan, “From an economic standpoint, the use of fines should be encouraged. Not only does imprisonment generate no revenue for the state, as fines do, but the social cost of imprisonment exceed those of collecting fines from solvent defendants.” (Posner 1992) Arah politik pemidanaan di Indonesia sejak Hindia Belanda sampai saat ini masih dikuasai oleh pendekatan retributif (pembalasan). 

Sekalipun perkembangan terkini dalam undang-undang pemberantasan korupsi dan undang-undang perpajakan dimungkinkan pembayaran denda pidana yang maksimal atau perampasan aset hasil tindak pidana tersebut, praktisi penegak hukum masih tampak ragu-ragu mengutamakan pendekatan ekonomi terhadap hukum pidana. Namun jika dipertimbangkan secara jernih dan kondisi objektif terpuruknya situasi ekonomi dan sosial rakyat Indonesia, sepatutnya digunakan pendekatan Posner dalam memberdayakan pendekatan ekonomi dalam pembentukan dan penegakan hukum pidana daripada bergantung pada “mimpi” efek jera yang didambakan masyarakat selama ini. 

Gagasan “pemiskinan koruptor” yang kini berkembang di kalangan masyarakat harus selanjutnya ditanyakan mengenai sejauh mana kepentingan negara diuntungkan di balik gagasan tersebut; dikhawatirkan gagasan tersebut hanya sebatas terobsesi hanya melihat pelaku korupsi menderita secara sosial ekonomi per se tanpa mempertimbangkan keuntungan bagi negara dan masyarakat luas. Pemiskinan koruptor seharusnya memiliki dua aspek, yaitu aspek penjeraan di bidang sosial dan ekonomi secara total terhadap pelaku dan keluarganya dan di sisi lain aspek penyelamatan kerugian keuangan negara dan perlindungan korban secara maksimal.

Kedua aspek ini telah terakomodasi dalam draf Naskah RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) yang telah rampung di tangan pemerintah. RUU tersebut memperkenalkan model perampasan aset tindak pidana tanpa pidana (non-criminal based asset forfeiture) yang berbanding terbalik dengan perampasan aset tindak pidana dengan penuntutan pidana (criminal based asset forfeiture) yang selama ini terjadi dalam praktik penegakan undang-undang pidana. 

Filosofi model perampasan aset dalam RUU PATP dilandaskan pada prinsip maksimalisasi, efisiensi, dan proporsionalitas. Ketiga prinsip tersebut merupakan pendekatan ekonomi dalam politik penghukuman yang berdampak positif dan secara signifikan sangat menguntungkan negara dan protektif terhadap korban dan warga negara lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar