Sebagaimana dipercaya banyak kalangan yang concern terhadap penyelenggaraan
pemilihan umum (pemilu),tahap verifikasi partai politik (parpol) sebagai
peserta pemilu merupakan salah satu fase yang paling krusial dan
menegangkan.
Sebab, di fase
ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menentukan nasib parpol bisatidaknya
menjadi peserta Pemilu 2014. Bagaimanapun, jamak dipahami, di antara tujuan
membentuk parpol adalah untuk ikut serta bertarung meraih suara pemilih
dalam pemilu. Karenanya, pada saat KPU menggelar rapat pleno terbuka untuk
menetapkan peserta pemilu,suasana menegangkan menjadi tidak terelakkan.
Bukan tidak
mungkin, dibandingkan dengan kejadian yang sama menjelang Pemilu 2009,
ketegangan itu dipicu oleh beratnya persyaratan yang harus dipenuhi parpol
untuk menjadi peserta pemilu. Bahkan, selama rapat berlangsung, publik
seperti tengah menonton pentas drama kolosal yang menghadirkan KPU, parpol,
dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lakon utama. Karena kondisi
itu, tidaklah terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa ketika KPU
menetapkan sepuluh partai politik peserta Pemilu 2014, peristiwa itu
seperti hanya akhir sepenggal cerita di babak pertama.
Sebagai sebuah
tahapan panjang, dikatakan penetapan itu hampir dapat dipastikan akan
menghadirkan drama lain yang lebih menegangkan. Ternyata, tidak perlu
menunggu waktu lama, drama terbaru muncul, yaitu ketika KPU menyatakan
tidak dapat melaksanakan putusan Bawaslu yang mengabulkan permohonan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dalam beberapa hari belakangan,
putusan Bawaslu mengabulkan permohonan PKPI menimbulkan pro-kontra.
Meskipun
demikian, pro-kontra menjadi jauh lebih mengemuka begitu KPU sampai pada
kesimpulan tidak akan melaksanakan putusan Bawaslu. Sebagian pihak
berpendapat bahwa langkah KPU tidak dapat dibenarkan sama sekali dan dapat
dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap Bawaslu. Sementara itu, di sisi
lain, banyak pihak justru dapat menerima dan membenarkan langkah KPU.
Pertanyaannya,
bagaimana menjelaskan silangsengkarut penyelesaian sengketa yang bermula
dari hasil verifikasi parpol peserta pemilu tersebut? Pertanyaan ini
menjadi penting dikemukakan karena peranan Bawaslu dalam proses
penyelesaian verifikasi dapat dikatakan sama sekali baru. Tidak hanya itu,
pengaturan soal ini pun dapat dikatakan masih sangat baru.
Tidak Final
Pasal 257
Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD,dan DPRD (UU
No 8/2012) menyatakan, sengketa pemilu adalah sengketa yang terjadi
antarpeserta pemilu. Selain itu, sengketa dapat juga terjadi di antara
peserta dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Dalam kaitan itu, Pasal 258 ayat
(1) UU No 8/2012 menegaskan bahwa Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketa
pemilu.
Meskipun
demikian, Pasal 259 ayat (1) UU No 8/2012 menyatakan bahwa keputusan
Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan putusan terakhir
dan mengikat kecuali keputusan terhadap sengketa pemilu yang berkaitan
dengan verifikasi parpol peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota
DPR,DPD,DPRD provinsi/kabupaten/kota. Sebagai salah satu bentuk
pengecualian, penyelesaian sengketa pemilu yang merupakan ujung dari
verifikasi parpol peserta pemilu, keputusan Bawaslu jelas tidak memiliki
kekuatan hukum final dan mengikat.
Apabila
dikaitkan dengan keputusan Bawaslu yang mengabulkan permohonan PKPI, dalam
konteks Pasal 259 ayat (1) UU No 8/2012, KPU dapat saja memilih salah satu diantara
tiga sikap berikut, yaitu : (1) menerima putusan Bawaslu; (2) menolak
dengan cara tidak melaksanakan putusan Bawaslu; dan (3) mendiamkan saja
putusan Bawaslu. Dari pilihan yang tersedia, menerima putusan Bawaslu menjadi
cara paling aman. Namun karena menilai putusan tersebut tidak
mempertimbangkan fakta yang sesungguhnya, KPU memilih menolak melaksanakan
putusan Bawaslu untuk menjadikan PKPI sebagai salah satu partai politik
peserta Pemilu 2014.
Bagi Bawaslu
dan PKPI,sikap tersebut jelas mengecewakan.Namun penolakan yang dilakukan
KPU dengan cara tidak akan melaksanakan putusan Bawaslu masih jauh lebih
baik dibandingkan dengan mendiamkan saja. Dengan sikap seperti itu, masalah
PKPI belum dapat diselesaikan. Karena itu, sesuai dengan Pasal 259 ayat (3)
UU No 8/2012, pihak yang merasa kepentingannya dirugikan KPU dapat
mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT
TUN). Artinya, sekiranya mengajukan ke PT TUN, badan peradilan ini akan
menjadi tempat paling tepat menilai akurasi data keterpenuhan syarat verifikasi
faktual PKPI.
Untungkan PKPI?
Sebetulnya,
selain ketiga pilihan yang dikemukakan di atas, sebagian pihak berpandangan
bahwa KPU dapat memilih cara lain dengan cara mengajukan gugatan ke PT TUN.
Pendapat ini sulit dibenarkan karena Pasal 259 ayat (3) UU No 8/2012
menyatakan bahwa yang dapat mengajukan gugatan ke PT TUN hanya sebatas
pihak yang merasa dirugikan oleh putusan KPU. Bahkan,dalam Peraturan
Mahkamah Agung No 6/2012 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha
Negara Pemilu dinyatakan bahwa yang dapat menjadi penggugat adalah parpol
yang tidak lolos verifikasi.
Berdasarkan
kedua ketentuan itu,pemikiran mendorong KPU mengajukan gugatan melawan
putusan Bawaslu ke PT TUN dapat dibaca sebagai jebakan. Dalam konteks
tersebut, sekiranya KPU mengajukan gugatan, dapat dipastikan bahwa PT TUN
akan menolak dengan alasan KPU tidak memiliki kompetensi menggugat putusan
Bawaslu. Sebagai sebuah langkah hukum, dapat dikatakan bahwa pilihan KPU
memiliki landasan hukum yang memadai. Karena itu, pilihan mengajukan
anggota KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menjadi pilihan yang
jauh dari penyelesaian masalah.
Sekalipun KPU
memiliki alasan hukum yang memadai, membawa penyelesaian PKPI ke PT TUN
potensial menguntungkan parpol yang dipimpin Sutiyoso ini. Saya percaya,
sekiranya data keterpenuhan syarat verifikasi PKPI dapat dibuktikan, PT TUN
akan dengan mudah mengabulkan permohonan PKPI. Tidak hanya itu, dalam soal
pembuktian, posisi PKPI dengan KPU dapat dikatakan berada dalam posisi dua
berbanding satu (2:1). Selain data yang dimiliki PKPI, data Bawaslu tentu
akan menguatkan posisi PKPI. Karena itu, PKPI tidak perlu gusar betul
dengan penolakan KPU.
Sekiranya data
PKPI (dan juga Bawaslu) valid, jembatan menjadi peserta Pemilu 2014 pasti
segera terbentang. Agar penyelesaian sengketa pemilu tidak berubah menjadi
sengkarut yang berlarut-larut, sekiranya proses hukum di PT TUN memenangkan
PKPI, saya sarankan agar KPU tidak lagi mengajukan langkah hukum
berikutnya. Dalam hal ini, agar menjadi tempat penyelesaian terakhir, PT
TUN harus mampu memahami secara benar karakter penyelesaian sengketa
pemilu. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar