Belakangan
ini, pembahasan mengenai pelemahan rupiah mendapat perhatian yang cukup
intensif. Maklum, berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), realisasi nilai
tukar rupiah selama 2012 lalu rata-rata berada di level 9.384 per dolar
Amerika Serikat atau terdepresiasi sebesar 6,3 persen dibanding tahun
sebelumnya. Tekanan pelemahan rupiah ini terutama disebabkan oleh
ketidakpastian ekonomi global dan melebarnya defisit transaksi berjalan.
Dari sisi eksternal,
ketidakpastian ekonomi global, terutama faktor krisis utang dan fiskal di
Eropa, telah memicu penarikan dana oleh investor dalam rangka menghindari
risiko dari aset-aset keuangan di negara emerging markets, termasuk
Indonesia. Hanya, pelemahan rupiah ini cukup mengkhawatirkan karena kinerja
rupiah tergolong paling rendah dibanding mata uang negara lainnya di Asia.
Dari sisi domestik, pelemahan
rupiah disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan di pasar valuta asing dalam
negeri akibat menurunnya kinerja ekspor dan tingginya impor. Berdasarkan
data BPS, terlihat bahwa total ekspor Indonesia selama Januari-November
2012 mencapai US$174,76 miliar atau turun 6,25 persen dibanding periode
yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai impor mencapai US$ 176,09
miliar atau meningkat 9,40 persen dibanding impor periode yang sama tahun
sebelumnya (US$ 160,96 miliar). Dengan demikian, secara neto, neraca
perdagangan kita mengalami defisit sekitar US$1,33 miliar.
Kondisi tersebut pada
akhirnya memberi tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia (NPI),
terutama pada transaksi berjalan (current account), karena neraca jasa kita
telah lebih dulu menjadi "langganan" defisit. Beruntung, selama
2012, peningkatan arus modal asing yang terjadi cukup besar, baik investasi
portofolio maupun investasi langsung (FDI), sehingga dapat menahan
pelemahan rupiah lebih lanjut.
Pelemahan rupiah yang cukup
signifikan ini tentunya berpengaruh terhadap sektor ekonomi lainnya.
Realisasi nilai tukar rupiah selama 2012 jauh di atas asumsi APBN 2012
sebesar 9.000 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini tentunya meningkatkan
beban APBN, terutama untuk pembayaran utang luar negeri.
Korporasi (swasta dan BUMN)
pun mengalami kerugian yang cukup signifikan akibat pelemahan rupiah ini.
Sejumlah korporasi mengalami kerugian berupa selisih kurs karena mismatch.
Mismatch terjadi karena umumnya perusahaan memperoleh pendapatan (revenue)
dalam bentuk rupiah, sedangkan pengeluaran seperti untuk membayar utang luar
negeri maupun untuk kebutuhan impor dalam bentuk dolar AS.
Beruntung perusahaan yang
telah melakukan lindung nilai (hedging) terhadap risiko valas ini. Dengan
demikian, kerugian selisih kurs valas ini dapat dihindari. Tetapi bagaimana
dengan pemerintah dan perusahaan lainnya yang tidak melakukan hedging?
Tentunya, bagi mereka yang tidak melakukan hedging, pelemahan rupiah ini
menimbulkan kerugian. Ini mengingat, untuk mendapatkan jumlah dolar AS yang
sama, mereka harus membayar dengan rupiah yang lebih besar.
Kolaborasi
Pelemahan rupiah tentunya
bukan semata terjadi karena ketidakefektifan kebijakan moneter dalam
mengendalikan nilai tukar. Dalam pelemahan rupiah juga terdapat andil dari
kebijakan fiskal yang tidak tegas serta kebijakan sektor riil yang tidak
mampu memperbaiki struktur perekonomian secara mendasar. Kenapa demikian?
Sebagaimana dikemukakan di
atas, dari sisi domestik, pelemahan rupiah terjadi akibat adanya
ketidakseimbangan di pasar valas. Ketidakseimbangan ini disebabkan oleh
tingginya permintaan valas, sedangkan di sisi lain pasokan dolar AS
terbatas akibat melemahnya kinerja ekspor dan tingginya impor. Kinerja
ekspor yang melemah terutama karena turunnya permintaan dari negara-negara
lain akibat krisis global. Pelemahan rupiah, yang diharapkan dapat
mendorong peningkatan ekspor, ternyata pengaruh positifnya tidak mampu
menutupi kehilangan ekspor kita akibat negara-negara tujuan ekspor
mengurangi permintaannya.
Sayangnya, di tengah
pelemahan kinerja ekspor tersebut, struktur industri kita sejak sebelum
krisis 1997/98 hingga sekarang masih belum banyak berubah. Industri kita
masih sangat bergantung pada impor. Data BPS menunjukkan bahwa impor bahan
baku selama Januari-November 2012 mencapai 73 persen dari total impor
Indonesia. Industri kita masih belum bisa keluar dari karakteristiknya
sebagai footloose industry. Bila
ketergantungan industri pada bahan baku ini dapat dikurangi, tentunya hal
itu dapat mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan kita, sekaligus
membantu memperkuat ekspor kita.
Kondisi ini tentunya menjadi
catatan tersendiri, di saat investasi kita yang dalam beberapa tahun ini
meningkat pesat. Tentunya kita tidak ingin booming investasi justru menjadi penyebab rapuhnya struktur
industri kita di masa mendatang, akibat industri yang dibangun bertumpu
pada bahan baku impor atau industri yang hanya mengeksploitasi sumber daya
alam tanpa proses manufaktur yang memberikan nilai tambah. Sebab, faktanya,
ekspor kita sekitar 75 persen merupakan komoditas berbasis sumber daya
alam. Padahal, 11 tahun tahun yang lalu, porsi komoditas berbasis sumber
daya alam masih 40 persen dari total ekspor.
Berdasarkan data impor, kita
juga bisa melihat bagaimana kebijakan fiskal kita. Selama Januari-November
2012, impor BBM kita telah mencapai US$ 26 miliar, atau terbesar kedua
setelah impor mesin dan peralatan mekanik. Tingginya impor BBM ini
menunjukkan bahwa kebijakan fiskal terkait dengan pengendalian subsidi BBM
dapat dikatakan gagal. Kebijakan harga BBM yang dibiarkan terlalu murah pada
akhirnya mendorong konsumsi BBM (bersubsidi) semakin besar, yang berujung
pada peningkatan impor BBM. Tingginya impor BBM (apalagi bila ditambah
dengan minyak mentah) menyebabkan peningkatan permintaan valas dan akhirnya
memberi tekanan pada pelemahan rupiah.
Dalam jangka pendek, untuk
mengendalikan nilai tukar rupiah, kebijakan moneter harus lebih efektif.
Monitoring terhadap perilaku transaksi jual-beli valas harus dilakukan
untuk mencegah perusahaan ataupun perbankan melakukan transaksi valas untuk
trading semata, tanpa underlying
bisnis yang jelas (misalnya untuk impor atau membayar utang). Kebijakan
pengendalian inflasi juga harus diefektifkan, karena inflasi yang tinggi
secara otomatis biasanya akan mendepresiasi rupiah. *
Kebijakan repatriasi devisa
hasil ekspor (DHE) juga harus lebih diperkuat untuk menjamin DHE telah
ditempatkan pada perbankan kita. BI juga perlu menciptakan sistem insentif,
misalnya bagi perusahaan yang memanfaatkan instrumen hedging dalam menjaga
kebutuhan valasnya. Termasuk pula perlu dikembangkan insentif bagi para
eksportir yang "merelakan" DHE-nya bertahan lama dalam sistem
perbankan di Indonesia.
Sementara itu, dalam jangka menengah dan panjang, dibutuhkan
ketegasan pemerintah dalam kebijakan fiskalnya. Kebijakan harga BBM
bersubsidi yang terlalu murah terbukti tidak hanya merugikan APBN, tetapi
juga memperlemah rupiah. Sementara itu, kebijakan fiskal dan sektor riil
harus bersama-sama diarahkan untuk memperkuat struktur industri kita, agar
situasi seperti saat ini (di mana justru struktur industri yang rapuh
menyebabkan pelemahan kinerja rupiah) tidak terjadi lagi di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar