Senin, 04 Februari 2013

Regulasi Kampanye


Regulasi Kampanye
Gun Gun Heryanto ;   Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
KOMPAS, 04 Februari 2013



Kampanye politik masa kini tak bisa dilepaskan dari media massa. Maka, menjelang 2014, Kompas pun mengulas peran kampanye di media massa dan mengingatkan potensi munculnya pelanggaran.
Media penyiaran seperti televisi dan radio kerap menjadi saluran persuasi pemilih secara masif dan penetratif hingga ke ruang keluarga. Terlebih, pada era industri penyiaran yang sedang tumbuh pesat dan terintegrasi dalam konglomerasi grup media besar, potensi hegemoni media untuk kepentingan partai tertentu kian nyata.
Penggunaan frekuensi milik publik secara semena-mena kerap mendistorsi informasi yang diterima publik. Kondisi ini dengan mudah memosisikan media dalam pelanggaran, seperti pernah diingatkan Paul Jhonson dalam artikelnya ”The Media and Truth: Is There a Moral Duty?” (1997:103) tentang Seven Deadly Sins. Salah satu pelanggaran tersebut adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power). Media mempraktikkan pembohongan massa dengan menyalahgunakan kekuatan untuk memengaruhi opini publik.
Tak kita nafikan, masih banyak pekerja di media penyiaran yang memiliki idealisme tinggi dan berorientasi pada kerja profesional. Namun, jika aturan main kampanye ambigu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tutup mata dalam mengatur kepentingan para politisi selama kampanye, media seperti digambarkan Antonio Gramsci bisa menjelma menjadi ’tangan-tangan’ kelompok berkuasa yang punya watak hegemonik.
Masa Kampanye
UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 83 menyatakan, kampanye pemilu legislatif dimulai tiga hari setelah partai ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu dan berakhir saat dimulainya masa tenang. Artinya, sepanjang 11 Januari 2013-5 April 2014, lebih kurang 15 bulan, masyarakat akan menghadapi terpaan kampanye beragam kekuatan yang bertarung. Rentang masa kampanye Pemilu 2014 ini lebih lama dibandingkan Pemilu 2009 yang berjalan 9 bulan (5 Juli 2008-5 April 2009). Hal lain yang berbeda adalah waktu pelaksanaan metode kampanye.
Pada Pemilu 2009, seluruh metode kampanye—seperti pertemuan terbatas, tatap muka, iklan di media massa cetak dan elektronik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum—sudah bisa dilakukan sejak tiga hari ditetapkan sebagai peserta pemilu. Hanya metode rapat umum yang baru diperbolehkan 21 hari sebelum masa tenang. Untuk Pemilu 2014, tak hanya metode rapat umum, iklan di media cetak dan elektronik baru bisa digunakan 21 hari sebelum masa tenang. Mungkinkah kampanye bisa sesuai dengan rentang waktu yang tetapkan?
Dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, fase kampanye kerap menjadi satu titik krusial yang memengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu, terutama hubungannya dengan pendidikan politik warga masyarakat. Hal kunci yang sering menjadi persoalan dalam fase kampanye adalah komitmen untuk menghormati dan menjalankan kesepakatan aturan main.
Kampanye itu memang harus dibatasi dalam rentang waktu tertentu. Michael Pfau dan Roxanne Parrot menulis dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993) bahwa kampanye merupakan proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan. Dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran. Orientasi dari beragam metode kampanye tentu saja berupaya memersuasi dan mengubah perilaku pemilih (voter behavior) agar menjadi dukungan dan suara nyata.
Batasan waktu kampanye seharusnya dihormati semua kontestan. Terlebih untuk media penyiaran, spektrum frekuensi itu jelas-jelas sumber daya alam terbatas sebagaimana diatur dalam pertimbangan UU No 32/2002. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi yang terbatas semena-mena dimanfaatkan segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan partai mereka.
Pengawasan Siaran
Guna memperbaiki kualitas kampanye di media penyiaran, ada beberapa faktor yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, faktor struktural, harus adanya koordinasi yang lebih intensif, fungsional, dan komplementer antarpenyelenggara pemilu; dalam hal ini KPU dan Bawaslu dengan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. KPU telah menetapkan peraturan No 1/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Legislatif pada Jumat (11/1).
Apa yang sudah disusun KPU ini tentu harus dikoordinasikan dengan KPI, terutama menyangkut aturan kampanye di media penyiaran, karena setahu penulis KPI juga sedang dalam proses akhir penyusunan peraturan program pemilu. Jangan sampai aturan main yang disusun kedua lembaga ini berbenturan sehingga menjadi pintu masuk bagi para kontestan untuk mencari celah memainkannya.
Yang harus diperjelas, misalnya, adalah persepsi program siaran pemilu selain iklan, kewenangan antarlembaga KPU dan KPI, sanksi atas pelanggaran oleh lembaga penyiaran dan partai kontestan, serta sejumlah aturan teknis operasional KPI. MOU kelembagaan jangan semata seremonial dan formalistik, atau lebih menunjukkan ego kelembagaan, tetapi harus dalam koridor kebersamaan mengawal kualitas kampanye.
Kedua, faktor substansial, yakni menyangkut sejumlah aturan yang memerlukan ketatnya sistem pengawasan di lapangan. Sebenarnya, dalam UU No 08/2012 ini ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meskipun masih melahirkan banyak problematika.
Misal, Pasal 96 mengatur soal larangan: menjual blocking segment dan blocking time, menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan iklan kampanye pemilu, serta menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.
Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari pada masa kampanye. Di radio, 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.
Soal durasi ini, KPI tentu harus melengkapinya dengan aturan tentang waktu siaran iklan kampanye pemilu ditambah dengan iklan komersial ataupun iklan layanan masyarakat lain, maksimal 20 persen dari seluruh waktu siaran per hari selama masa kampanye di lembaga penyiaran yang bersangkutan. Ini penting dilakukan agar tidak menabrak UU penyiaran.
KPI juga perlu mengatur secara lebih operasional tentang beberapa hal, antara lain berapa kali diperbolehkannya running text dan superimpose dalam sehari, penyiaran jajak pendapat, dialog/talkshow, dan jenis siaran lain yang sangat mungkin menjadi kampanye terselubung para kontestan pemilu.
Intinya, regulasi kampanye di media penyiaran harus dibuat jelas, tegas, dan operasional sehingga turut menyumbang perbaikan kualitas pemilu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar