Kampanye politik masa
kini tak bisa dilepaskan dari media massa. Maka, menjelang 2014, Kompas pun
mengulas peran kampanye di media massa dan mengingatkan potensi munculnya
pelanggaran.
Media penyiaran seperti televisi dan
radio kerap menjadi saluran persuasi pemilih secara masif dan penetratif
hingga ke ruang keluarga. Terlebih, pada era industri penyiaran yang sedang
tumbuh pesat dan terintegrasi dalam konglomerasi grup media besar, potensi
hegemoni media untuk kepentingan partai tertentu kian nyata.
Penggunaan frekuensi milik publik secara
semena-mena kerap mendistorsi informasi yang diterima publik. Kondisi ini
dengan mudah memosisikan media dalam pelanggaran, seperti pernah diingatkan
Paul Jhonson dalam artikelnya ”The
Media and Truth: Is There a Moral Duty?” (1997:103) tentang Seven Deadly Sins. Salah satu
pelanggaran tersebut adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power). Media mempraktikkan pembohongan massa
dengan menyalahgunakan kekuatan untuk memengaruhi opini publik.
Tak kita nafikan, masih banyak pekerja di
media penyiaran yang memiliki idealisme tinggi dan berorientasi pada kerja
profesional. Namun, jika aturan main kampanye ambigu dan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tutup mata dalam mengatur
kepentingan para politisi selama kampanye, media seperti digambarkan Antonio
Gramsci bisa menjelma menjadi ’tangan-tangan’ kelompok berkuasa yang punya
watak hegemonik.
Masa Kampanye
UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 83
menyatakan, kampanye pemilu legislatif dimulai tiga hari setelah partai
ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu dan berakhir saat dimulainya
masa tenang. Artinya, sepanjang 11 Januari 2013-5 April 2014, lebih kurang
15 bulan, masyarakat akan menghadapi terpaan kampanye beragam kekuatan yang
bertarung. Rentang masa kampanye Pemilu 2014 ini lebih lama dibandingkan
Pemilu 2009 yang berjalan 9 bulan (5 Juli 2008-5 April 2009). Hal lain yang
berbeda adalah waktu pelaksanaan metode kampanye.
Pada Pemilu 2009, seluruh metode
kampanye—seperti pertemuan terbatas, tatap muka, iklan di media massa cetak
dan elektronik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat
peraga di tempat umum—sudah bisa dilakukan sejak tiga hari ditetapkan
sebagai peserta pemilu. Hanya metode rapat umum yang baru diperbolehkan 21
hari sebelum masa tenang. Untuk Pemilu 2014, tak hanya metode rapat umum,
iklan di media cetak dan elektronik baru bisa digunakan 21 hari sebelum
masa tenang. Mungkinkah kampanye bisa sesuai dengan rentang waktu yang
tetapkan?
Dalam praktik demokrasi elektoral di
Indonesia, fase kampanye kerap menjadi satu titik krusial yang memengaruhi
kualitas penyelenggaraan pemilu, terutama hubungannya dengan pendidikan
politik warga masyarakat. Hal kunci yang sering menjadi persoalan dalam
fase kampanye adalah komitmen untuk menghormati dan menjalankan kesepakatan
aturan main.
Kampanye itu memang harus dibatasi dalam
rentang waktu tertentu. Michael Pfau dan Roxanne Parrot menulis dalam
bukunya Persuasive Communication
Campaign (1993) bahwa kampanye merupakan proses yang dirancang secara
sadar, bertahap, dan berkelanjutan. Dilaksanakan pada rentang waktu
tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran. Orientasi dari beragam
metode kampanye tentu saja berupaya memersuasi dan mengubah perilaku
pemilih (voter behavior) agar menjadi dukungan dan suara nyata.
Batasan waktu kampanye seharusnya
dihormati semua kontestan. Terlebih untuk media penyiaran, spektrum
frekuensi itu jelas-jelas sumber daya alam terbatas sebagaimana diatur
dalam pertimbangan UU No 32/2002. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi
yang terbatas semena-mena dimanfaatkan segelintir pengusaha-politisi untuk
kepentingan partai mereka.
Pengawasan Siaran
Guna memperbaiki kualitas kampanye di
media penyiaran, ada beberapa faktor yang harus menjadi perhatian bersama.
Pertama, faktor struktural, harus adanya koordinasi yang lebih intensif,
fungsional, dan komplementer antarpenyelenggara pemilu; dalam hal ini KPU
dan Bawaslu dengan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. KPU telah
menetapkan peraturan No 1/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Legislatif
pada Jumat (11/1).
Apa yang sudah disusun KPU ini tentu
harus dikoordinasikan dengan KPI, terutama menyangkut aturan kampanye di
media penyiaran, karena setahu penulis KPI juga sedang dalam proses akhir
penyusunan peraturan program pemilu. Jangan sampai aturan main yang disusun
kedua lembaga ini berbenturan sehingga menjadi pintu masuk bagi para
kontestan untuk mencari celah memainkannya.
Yang harus diperjelas, misalnya, adalah
persepsi program siaran pemilu selain iklan, kewenangan antarlembaga KPU
dan KPI, sanksi atas pelanggaran oleh lembaga penyiaran dan partai
kontestan, serta sejumlah aturan teknis operasional KPI. MOU kelembagaan
jangan semata seremonial dan formalistik, atau lebih menunjukkan ego
kelembagaan, tetapi harus dalam koridor kebersamaan mengawal kualitas
kampanye.
Kedua, faktor substansial, yakni
menyangkut sejumlah aturan yang memerlukan ketatnya sistem pengawasan di
lapangan. Sebenarnya, dalam UU No 08/2012 ini ada beberapa hal yang sudah
mulai diatur meskipun masih melahirkan banyak problematika.
Misal, Pasal 96 mengatur soal larangan:
menjual blocking segment dan blocking time, menerima program sponsor dalam
format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan iklan kampanye pemilu,
serta menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh peserta pemilu kepada
peserta pemilu lainnya.
Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan
kampanye pemilu di televisi secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi
paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari pada masa
kampanye. Di radio, 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.
Soal durasi ini, KPI tentu harus
melengkapinya dengan aturan tentang waktu siaran iklan kampanye pemilu
ditambah dengan iklan komersial ataupun iklan layanan masyarakat lain,
maksimal 20 persen dari seluruh waktu siaran per hari selama masa kampanye
di lembaga penyiaran yang bersangkutan. Ini penting dilakukan agar tidak
menabrak UU penyiaran.
KPI juga perlu mengatur secara lebih
operasional tentang beberapa hal, antara lain berapa kali diperbolehkannya running text dan superimpose dalam sehari, penyiaran
jajak pendapat, dialog/talkshow,
dan jenis siaran lain yang sangat mungkin menjadi kampanye terselubung para
kontestan pemilu.
Intinya, regulasi kampanye di media
penyiaran harus dibuat jelas, tegas, dan operasional sehingga turut
menyumbang perbaikan kualitas pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar