Pluralisme
sebagai Benteng Republik
Airlangga Pribadi, PENGAJAR ILMU POLITIK FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sumber
: KOMPAS, 6 Januari 2012
Di tengah kekhidmatan malam dua tahun haul wafatnya
KH Abdurrahman Wahid lalu, Yudi Latif memberikan sambutan tentang sumbangan Gus
Dur—sapaan akrab Abdurrahman Wahid—untuk Islam Indonesia. Kebesaran Abdurrahman
Wahid—menurut Yudi—terletak pada paradoksal intelektualitasnya.
Adapun keistimewaan Gus Dur terletak pada
kemampuan menghubungkan kosmopolitanisme pengetahuan yang menembus batas
sekat-sekat kultural bertemu dengan kesadaran akan pentingnya pijakan tradisi
dan kearifan lokal dalam merajut jalinan kebaikan bersama.
Bagi Gus Dur, yang bertahun-tahun menimba
ilmu di Timur Tengah, universalitas Islam tidaklah dibangun melalui tegaknya
satu model kebenaran tentang Islam yang hanya mengacu pada praktik beragama di
tanah Arab untuk dipaksakan di Indonesia. Pembumiannya justru pada kesadaran
kultural Nusantara dan pertemuan dengan kebinekaan yang lainlah yang membuat
Islam menyatu dengan keindonesiaan kita yang plural.
Dua tahun setelah Gus Dur wafat, seiring
dengan pelupaan secara perlahan semangat pluralisme dalam Islam Nusantara yang
diusungnya, kita berkali-kali disodorkan oleh tontonan kekerasan untuk
memaksakan satu model kebenaran agama terhadap mereka yang berbeda. Belum lama
kita mendengar kisah memilukan tragedi pembantaian jemaah Ahmadiyah di
Cikeusik, Banten, dan konflik pembangunan Gereja GKI Bogor di pengujung 2011.
Kita pun menyaksikan pengusiran dan pembakaran pesantren jemaah Syiah di
Sampang, Madura.
Patriotisme Indonesia
Bagi negeri kita, memudarnya semangat
pluralisme dan ikatan solidaritas hidup bersama di dalam keragaman ini
merupakan hal yang fatal. Ini mengingat dalam konteks keindonesiaan, pluralisme
bukan semata-mata jadi alat bagi sebuah tujuan politik lainnya. Pluralisme pun
bukanlah hidup demi tujuan pluralisme itu sendiri. Melampaui itu semua,
pluralisme dalam konteks keindonesiaan menjadi alasan mengada bagi berdirinya
Indonesia.
Di atas fondasi pluralisme-lah Indonesia
sebagai negara-bangsa tegak berdiri. Tanpa kehadirannya, Indonesia sebagai
sebuah cita-cita akan hancur berkeping-keping.
Untuk mengelaborasi gagasan ini, ada baiknya
kita menelusuri bagaimana perbedaan antara pembentukan bangsa di negara-negara
Eropa dan di Indonesia secara singkat.
Filsuf republikanisme Italia, Maurizio
Virolli (1995)—dalam karyanya For Love of Country: an Essay on Patriotism and
Nationalism—menjelaskan, dalam sejarah negara-bangsa di Eropa haruslah
dibedakan antara nasionalisme dan patriotisme. Sebagai konsep kultural,
nasionalisme sebagai spirit kultural di banyak negeri Eropa dibangun berdasarkan
ikatan homogenitas kultural sebagai suatu bangsa. Sementara kesadaran keadaban
(civicness) tiap-tiap orang tumbuh dalam komitmen dan pembelaannya terhadap
komunitas politik negara.
Hak dan tanggung jawab sebagai warga
negaralah yang membentuk kesadaran demokrasi, HAM, dan penghormatan terhadap
pluralitas.
Berbeda dengan perjalanan banyak negara
Eropa, sejak awal nasionalisme Indonesia dibangun atas rantai keterkaitan gugus
entitas kultural yang plural dalam etnis, ras, agama, dan golongan. Sejak awal,
pluralisme telah disadari oleh para pendiri republik tidak saja sebagai hak
dari tiap-tiap orang yang mengaku menjadi bangsa Indonesia. Lebih dari itu,
dalam sejarahnya tiap-tiap bagian bangsa ini telah berkorban, memberi, dan
berperan dalam perjuangan membentuk Indonesia.
Dalam narasi sejarah demikian, nasionalisme
sebagai ikatan kultural yang berbineka sejak awal telah menubuh dalam kesadaran
patriotisme sebagai komitmen politik untuk membentuk negara-bangsa dengan
segenap spirit kewargaannya. Konstruksi kebangsaan inilah yang ditekankan
Soekarno dalam Lahirnja Pantjasila: ”Kita mendirikan negara Indonesia, yang
kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia,
bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan
Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi
Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!”
Seruan Bung Karno bahwa Indonesia milik semua
sejalan dengan ajakan Abdurrahman Wahid. Bahwa, dalam ikatan keindonesiaan
tidak boleh ada kelompok yang diistimewakan satu di atas yang lain. Sebab,
tiap-tiap bagian dari bangsa Indonesia memiliki kontribusi penting dalam
pembentukannya.
Batang Tubuh
Kalau kita hubungkan komitmen kebangsaan
dengan mulai munculnya sikap eksklusivisme di kalangan Islam terhadap kelompok
minoritas Syiah dan Ahmadiyah, ada baiknya kita membahas sekelumit sumbangan
mereka bagi terciptanya Indonesia.
Bagi kaum Syiah yang dipandang sebagai kaum
minoritas Muslim Indonesia, sumbangan mereka dalam keislaman Nusantara amatlah
penting. Sejak awal masuknya Islam di Nusantara, jejak sumbangan kultural
mereka tampak dari tradisi keagamaan pada saat hari Asyura, melalui tradisi
upacara bubur merah (lambang keberanian Imam Hussein) dan putih (lambang
kesucian Imam Hassan) dari Aceh sampai Maluku. Tradisi kultural inilah yang
mengilhami lambang bendera kita: Merah Putih.
Demikian pula halnya dengan Ahmadiyah, yang
ketidaksepakatan beberapa kelompok terhadapnya sampai tak membolehkan hak
mereka untuk hidup sebagai warga negara. Dalam sejarah perkembangan Islam di
Indonesia, salah satu kelompok pergerakan modernisme Islam di Indonesia, yaitu
Studenten Islam Studieclub—embrio dari kemunculan aktivis Islam politik seperti
Masyumi—dalam publikasi majalahnya sering kali menggunakan tafsir Al Quran dari
jemaah Ahmadiyah yang terkenal karena rasionalitas dan saintifiknya (Yudi
Latif, 2005; Soekarno, 1964).
Dalam terang sekelumit fakta-fakta sejarah di
ataslah sebenarnya ide pluralisme dan toleransi bukanlah ide yang berangkat
jauh dari luar dan ditanamkan tanpa penyesuaian di Indonesia. Pluralisme adalah
batang tubuh dari keindonesiaan kita. Setelah ide-ide ini digemakan oleh
Soekarno dan Abdurrahman Wahid, kita membutuhkan lahirnya generasi baru yang
membela pluralisme Indonesia sebagai benteng republik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar