Privatisasi
Demokrasi
Donny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK KONTEMPORER UI
Sumber
: KOMPAS, 6 Januari 2012
Musim semi Arab sedang penuh sesak jargon
demokrasi. Otoritarianisme akhirnya runtuh digodam naluri kebebasan dan
kesetaraan. Kita seperti tengah merayakan sesuatu yang sejatinya masih memendam
misteri pandora.
Misteri ini sedikit banyak mulai tersingkap
ketika ribuan warga AS menduduki Wall Street. Misteri yang dibuka di sana
adalah inkoherensi antara kapitalisme dan demokrasi. Joseph Stiglitz menyebut
demokrasi AS sebagai sistem yang melayani 1 persen orang berpunya yang notabene
menguasai seperempat pendapatan nasional. Sejumlah warga AS mulai menyadari
betapa demokrasi dan kapitalisme tak dapat berjalan di satu gang.
Logika demokrasi adalah kebaikan umum,
sementara kapitalisme, keuntungan pribadi. Demokrasi bersandar pada
kolektivitas demos, sementara kapitalisme, urusan pribadi para pemilik.
”Homo
Democraticus”
Kapitalisme tak mengenal warga negara.
Satu-satunya kosakata yang dikenalinya adalah konsumen. Konsumen adalah dia
yang membeli komoditas untuk memuaskan hasrat pribadinya. Padahal, warga
demokratis bukan pembeli. Warga demokratis adalah dia yang mentransendensi
hasrat pribadi demi bonum commune.
Kapitalisme, sayangnya, memahat satu sosok
yang berdiri secara diametral dengan demokrasi. Kapitalisme memahat homo
economicus yang mengejar kepentingan pribadi dan dengan demikian terpisahkan
dari segenap transendensi. Seorang dosen, misalnya, hanya pencari nafkah yang
egois dan terlepas sama sekali dari transendensi, semisal ”pendidikan yang
memerdekakan kaum papa”. Warga tanpa transendensi adalah homo economicus yang
berkedok demokratis. Ini mengulang kritik purba yang dilontarkan Plato terhadap
demokrasi. Plato melontarkan dua kritik terhadap demokrasi.
Pertama, demokrasi melenyapkan dunia bersama.
Glorifikasi individu membuat dunia bersama kehilangan makna. Orang
berlomba-lomba memuaskan hasrat pribadi dan menafikan dunia bersama dan
makna-makna kolektif. Orang, misalnya, atas nama hak individu membangun rumah
bertingkat tiga tanpa peduli rumah tetangga tak mendapat sinar matahari.
Kedua, satu-satunya hal yang membentuk warga
demokratis adalah kenikmatan dan perilaku pengejar kenikmatan. Warga demokratis
menjadi abai terhadap perbedaan kualitatif. Segala sesuatu dapat digantikan
oleh segala sesuatu lainnya. ”Bersenang-senang!” menjadi maksim universal dari
sebuah imperatif sosial.
Warga demokratis adalah dia yang
memilih-milih calon anggota legislatif seperti memilih kemeja. Segala sesuatu
adalah soal apa yang menjadi tren dan menyenangkan. Setiap momen senantiasa
dapat digantikan oleh momen lain. Ketika tren pemimpin adalah kesantunan, orang
berlomba-lomba memilih pemimpin santun. Ketika tren bergeser jadi pemimpin yang
berani memutuskan, orang berpindah kepada pemimpin demikian. Demokrasi pun tak
lebih dari sirkulasi hasrat, perpindahan hasrat tanpa jeda alias berketerusan.
Demokrasi berbasis hasrat pribadi akan
terjerembab pada rezim opini. Privatisasi demokrasi membuat kita menoleransi
segalanya. Segala sesuatu yang merupakan urusan pribadi individu lain harus
ditoleransi. Demokrasi pun diramaikan ragam opini tentang yang pribadi, dari
tentang homoseksualitas, sekte sempalan, pelarangan jilbab di sekolah, sampai
cara berhubungan seksual. Gejala ini disebut Badiou ”materialisme demokratis”
(Badiou, 2006 : 9). Materialisme demokratis adalah kondisi saat demokrasi
kehilangan transendentalitas dan tereduksi menjadi tubuh dan bahasa. Artinya,
demokrasi menjadi sekadar perang opini antarindividu dengan beragam keinginan.
Etika toleransi yang dikembangkan demokrasi semacam itu menghasilkan
kemajemukan radikal di mana tak ada tempat bagi kebenaran.
Privatisasi demokrasi membuat debat menjadi
esensi politik. Ini membuat politik menjadi komentar pasif terhadap peristiwa
atau gejala tanpa intervensi aktif untuk mengubahnya. Kita, misalnya, sibuk
berdebat tentang hak berserikat tanpa mampu berbuat apa-apa terhadap rezim yang
memberangus serikat pekerja.
Badiou mengatakan, kemajemukan opini adalah
bentuk politik yang khusus, yakni politik parlementarian. Politik
parlementarian adalah asumsi epistemologis bahwa kebenaran bukan peristiwa
melainkan konsensus. Politik bukan perkara konsensus melainkan intervensi,
deklarasi, dan organisasi. Privatisasi demokrasi membuat politik dilepaskan
dari keputusan. Dia direduksi jadi arena para homo democraticus beropini
tentang segala sesuatu. Politik adalah komentar para pengamat dan debat
antaropini tanpa kebenaran. Segalanya direduksi jadi opini: ”apakah gejala ini
menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi saya”.
Demokrasi
Sungguhan
Privatisasi demokrasi membuat kita perlu
memikirkan kembali apa sebenarnya watak asli demokrasi. Marx jauh hari sudah
memikirkan apa itu demokrasi sungguhan (wahre democratie). Ia memulai
refleksinya dengan membalik pendapat Hegel tentang negara dan masa rakyat.
Hegel memandang masa rakyat sebagai abstraksi yang hanya memperoleh bentuk
konkret di dalam negara. Negara, bagi Hegel, aktualitas tertinggi yang mentransendensi
keluarga dan masyarakat sipil. Marx, sebaliknya, mengatakan negara adalah
abstraksi yang harus dideformasi oleh masa rakyat yang konkret. Demokrasi
diartikan sebagai deformasi organisme negara atas nama swadeterminasi masa
rakyat (Marx, 1975: 188). Dalam teks-teks Marx 1843-1844, gagasan
swadeterminasi kolektif itu disebut sebagai ”komunisme”.
Demokrasi sungguhan, bagi Marx, tak
bersemayam di negara, tetapi pada-suatu-jarak dari negara. Demokrasi adalah
gerak disinkarnasi yang bekerja secara konkret di bawah abstraksi negara.
Pekerja rumah tangga, misalnya, melakukan disinkarnasi terhadap kategorisasi
negara terhadap buruh sebagai yang bekerja di ruang publik. Demokrasi sejati
adalah pembangunan aliansi kooperatif, agregasi afinitas pada level masyarakat
yang secara material mendeformasi kuasa negara yang berusaha mematikannya.
Dengan demikian, demokrasi berbeda jalan
dengan logika privat kapitalisme. Di hadapan kapitalisme yang melakukan
atomisasi sosial secara brutal, Marx memahami organisasi politik sebagai apa
yang disebutnya ”asosiasi manusia bebas” (einen Verein freier Menschen).
Asosiasi di sini sejatinya perlawanan terhadap privatisasi sosial dengan
berjuang pada-suatu-jarak dari negara. Asosiasi demokratis tidak bersandar pada
esensi tertentu. Solidaritas untuk buruh migran yang diancam hukuman mati di
Arab Saudi, misalnya. Asosiasi demokratis tersebut tidak bersandar pada satu
kelas atau kelompok sosial tertentu. Asosiasi tersebut adalah solidaritas
transkelas dan kelompok yang terpicu oleh peristiwa anti-kemanusiaan.
Demokrasi perlu melepaskan diri dari
privatisasi brutal kapitalisme. Badiou menegaskan, jika demokrasi disamakan
abstraksi monetaris kapitalistik (satu orang satu suara), lawannya bukan
despotisme (Badiou, 2011: 14). Lawan demokrasi kapitalistik adalah hasrat
membangun eksistensi kolektif yang terbebas dari cengkeraman kapitalisme.
”Kredit tanggung renteng” yang dijalankan sebagian ibu di Malang adalah
eksperimen demokrasi demikian. Demokrasi adalah kendali rakyat terhadap eksistensi
mereka sendiri. Itu adalah politik yang bersemayam imanen dalam rakyat dan
meluruhnya, dalam proses terbuka, negara. Bagi Badiou, kita hanya jadi demokrat
sejati jika mampu membangun kembali kolektivitas dan mengenyahkan
individualitas. Momen ketika kita jadi ”einen Verein freier Menschen” kembali.
Ini hardikan keras terhadap kaum (yang mengaku) demokrat, tetapi berjuang jadi
bagian dari negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar