Kamis, 12 Januari 2012

Perempuan, Kemiskinan, dan Korupsi


Perempuan, Kemiskinan, dan Korupsi
Siti Nuryati,  PENERIMA PENGHARGAAN MENKO KESRA 2009
ATAS GAGASAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 12 Januari 2012


Pembahasan peran ekonomi perempuan kian hari kian mengalami eskalasi. Hal ini sejalan dengan pandangan dunia internasional yang masih menganggap perempuan adalah makhluk yang paling banyak memikul beban kemiskinan.

Beban ini semakin bertambah berat karena perempuan tidak dapat mengakses kesempatan ekonomi, pemilikan lahan, dan lain-lain.  

Dari 66 penelitian yang dilakukan International Research Center for Woman (IRCW) di era 80-an, ditemukan fakta keluarga berkepala perempuan lebih miskin daripada laki-laki.
Di Amerika hampir seluruh keluarga miskin dibiayai perempuan tanpa suami. Iklim ekonomi global yang tidak menentu serta perang di mana-mana semakin memperburuk keadaan ini. Kondisi ini kemudian memunculkan pandangan pentingnya akses ekonomi perempuan.

Mengapa akses ekonomi perempuan dipersoalkan? Ada satu hal yang perlu dicermati terkait fenomena tuntutan kesamaan akses ekonomi antara laki-laki dan perempuan ini.
Jika dalam masalah ekonomi segala sesuatu diukur dengan materi, perempuan yang tidak menghasilkan uang dianggap lebih rendah nilainya. Jika sudah demikian maka upaya pemberdayaan perempuan yang dipandang penting adalah dengan meningkatkan perannya dalam turut mendongkrak perekonomian negara secara langsung.
Negara kemudian mengembangkan kebijakan dan program-program untuk merangsang distribusi yang adil bagi setiap rumah tangga.

Namun negara dalam hal ini hanya menyediakan sumber daya agar terbuka peluang bagi perempuan untuk mengaksesnya, tanpa memperhatikan masalah distribusi sumber daya tersebut sudah berjalan baik dan mencukupi bagi setiap orang yang membutuhkannya atau belum. Akhirnya penyelesaian lebih bertumpu pada perempuan-perempuan itu yang harus mengatasi persoalan kemiskinannya.

Dalam posisi seperti itu, peluang bekerja bagi perempuan menjadi sesuatu yang penting diperjuangkan.  Peran domestik perempuan dianggap tidak bermakna dalam perekonomian. Ibu rumah tangga dianggap warga negara kelas dua.

Faktor nonmateri seperti cinta kasih, dedikasi, dan kesetiaan tidak dimasukkan dalam teori ekonomi, bahkan dalam ekonomi neoklasik sekalipun. Padahal ibu rumah tangga memiliki andil yang besar bagi perekonomian suatu negara walaupun kontribusinya tidak langsung.

Tak seperti di era 70-an di mana peran perempuan belum terlalu diperhitungkan, pada 80-an perempuan mulai diperhatikan peranannya dalam pembangunan. Kini peran tersebut semakin bergeser setelah melihat bahwa bukan kesejahteraan yang diraih perempuan setelah mereka terlibat dalam arus besar pembangunan.

Karena itu, saat ini yang menjadi sasaran penting, perempuan harus pula terlibat sebagai agen pembangunan. Konsep pendekatan pembangunan bergeser dari Woman In Development (WID) menjadi Gender and Development (GAD).

Pendekatan GAD sangat menekankan kesadaran relasi yang selama ini dipandang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan harus turut berperan sebagai penentu kebijakan.

Alhasil penyelesaian persoalan yang ada memang selalu beranjak dari fakta. Pendekatan semacam ini menyebabkan lepasnya satu masalah untuk masuk ke masalah berikutnya. Bukan tidak mungkin pendekatan model GAD ini akan kembali menimbulkan persoalan-persoalan baru.

Contoh paling mudah, belakangan ini begitu marak kasus dugaan korupsi yang menjerat perempuan di ranah publik.  Nunun Nurbaeti, Angelina Sondakh, Mindo Rosalina, Miranda Gultom, dan deretan nama-nama lainnya.

Dari sini jelas yang dibutuhkan saat ini adalah suatu kerangka berpikir yang baku dengan asas yang benar sehingga mampu menyelesaikan seluruh masalah sampai akarnya.

Bukan Problem Perempuan 

Kita sebetulnya perlu bertanya, betulkah perempuan pihak yang paling memikul beban kemiskinan dunia? Ini karena apabila fakta kehidupan manusia diamati, kemiskinan tidak hanya menimpa perempuan, melainkan juga laki-laki. Kemiskinan tidak hanya ada pada keluarga yang dikepalai perempuan, tetapi bisa juga pada keluarga yang dikepalai laki-laki.

Kemiskinan tidak hanya ada pada masyarakat yang memiliki budaya patriarki, tetapi juga ada pada masyarakat yang menolak budaya tersebut (seperti Amerika dan Eropa).
Bahkan kemiskinan perempuan sebenarnya tidak menjadi masalah pada beberapa negara yang memiliki budaya patriarki, seperti negara-negara Timur Tengah. Dengan demikian kemiskinan bukan hanya masalah perempuan, melainkan masalah manusia pada umumnya.

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang menimpa banyak perempuan di dunia saat ini tidak hanya dengan memberikan alternatif untuk perempuan agar bisa dengan bebas mengakses sumber daya ekonomi, sebab penyelesaian seperti ini bersifat individual dan parsial.

Akibatnya bisa muncul masalah baru sementara masalah sebelumnya belum tuntas. Yang kita butuhkan, penyelesaian yang berangkat dari pandangan yang universal tentang perempuan, yakni pandangan yang melihat perempuan sebagai bagian dari masyarakat manusia yang hidup berdampingan secara harmonis dan damai dengan laki-laki dalam kancah kehidupan ini.

Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diciptakan untuk hidup berdampingan, saling melengkapi, dan saling membantu dalam mengarungi kehidupan.
Hanya dengan hidup berdampingan inilah kelestarian umat manusia akan terjamin sehingga yang kita butuhkan saat ini bukanlah kebijakan yang hanya akan memunculkan pemilah-milahan masyarakat manusia menjadi “masyarakat laki-laki” dan “masyarakat perempuan”.

Ini karena hal itu hanya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara laki-laki dan perempuan sehingga keduanya akan sulit hidup berdampingan secara harmonis dan damai. 

Akhirnya muncul sifat saling memusuhi. Keduanya memandang dari sisinya masing-masing.  Laki-laki memandang menurut kelelakiannya dan perempuan memandang menurut keperempuanannya. Apabila ini terjadi, kelestarian generasi mendatang akan terganggu.

Kemiskinan adalah salah satu masalah dari sekian masalah manusia dalam kehidupan. Kemiskinan tidak dipandang sebatas sebagai bagian dari aspek ekonomi yang tidak terkait dengan aspek yang lain.

Karena itu, perlu alternatif penyelesaian yang tuntas dan menyeluruh, serta tidak mengakibatkan adanya masalah  baru bagi manusia dalam aspek yang lain. Penyelesaian ini  harus dilaksanakan secara sistemis, tidak cukup hanya oleh individu-individu, agar setiap individu manusia mendapat jaminan kehidupan yang sama.

Kemiskinan menjadi persoalan karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini akan membawa dampak pada aktivitas lain dan menghambat manusia untuk meraih cara hidup yang ideal.

Karena itu diperlukan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu manusia agar tidak ada hambatan bagi manusia menjalankan kehidupan ini menuju kehidupan yang ideal yang menjamin kemuliaannya sebagai manusia.

Negara selayaknya menjamin distribusi kekayaan/sumber daya kepada seluruh individu rakyat, yaitu menjamin distribusi ini bagi pemenuhan kebutuhan pokok individu secara keseluruhan, serta memberi peluang kepada setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya.

Jaminan ini berupa seperangkat hukum yang tersistem, seperti hukum kebolehan memiliki dan bekerja pada sumber-sumber ekonomi, seperti pertanian, industri, perdagangan, dan upah-mengupah, serta hukum tentang pemeliharaan urusan rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar