Menggaet
Putra Terbaik Menjadi Guru
Muhibuddin,
ALUMNUS UNIVERSITAS NEGERI
MALANG,
TINGGAL DI TULUNGAGUNG, JAWA
TIMUR
Sumber
: SUARA KARYA, 12 Januari 2012
Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru, hingga kini
masih kerap dipersoalkan kalangan profesi yang populer dengan julukan pahlawan
tanpa tanda jasa itu. Namun begitu, jika mau jujur, kesejahteraan para pendidik
sejatinya sudah mengalami peningkatan signifikan. Itu terjadi setelah
pemerintah menggulirkan pencairan tunjangan profesi pendidik (TPP) bagi guru
yang dinyatakan lulus sertifikasi.
Dengan begitu, guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang
lulus sertifikasi bukan hanya menerima penghasilan berupa gaji rutin yang
dibayarkan setiap bulan. Tapi, mereka masih mendapatkan tambahan penghasilan
dari TPP yang besarnya satu kali gaji per bulan. Sementara, untuk guru tidak
tetap (GTT) bersertifikat pendidik, mereka dikucuri TPP yang nominalnya sebesar
Rp 1,5 juta per bulan.
Kebijakan pemberian TPP ini tentu menjadi angin surga bagi upaya
memperbaiki kesejahteraan guru. Sekalipun, sulit dipungkiri, saat ini masih
banyak guru yang belum menikmati manisnya TPP karena tak kunjung masuk kuota
sertifikasi. Bahkan, kabar gres yang bikin pilu, sesuai Surat Edaran (SE)
Sekjen Kemendikbud Nomor 088209/ A.C5/KP/2011, guru honorer kategori II tidak
bisa disertifikasi dan pencairan TPP akan distop.
Lepas dari persoalan ini, yang pasti, pemberian TPP telah
mendongkrak penghasilan guru secara fantastis. Karena itu, rasanya tidak pas
lagi mengidentikkan guru bersertifikasi dengan sosok 'Umar Bakrie'. Yakni,
seorang PNS yang hidup bersahaja dan serba kekurangan karena penghasilannya
minim.
Kini, di era pemberian TPP, figur guru sudah banyak yang berubah
jadi sosok 'Aburizal Bakrie' yang penghasilannya berkecukupan. Ini tak
berlebihan. Faktanya, tidak sedikit guru yang kini ke sekolah dengan mobil
pribadi dan berbondong daftar haji setelah menerima TPP.
Ketika gajinya minim, efeknya bukan hanya membuat kesejahteraan
guru terengah-engah. Rendahnya gaji guru imbasnya juga bermuara pada daya tarik
terhadap profesi guru. Lihatlah, putra-putra terbaik yang memiliki kemampuan
akademik bagus di sekolah. Sebagian di antara mereka tampaknya enggan memilih
profesi guru. Mereka lebih tertarik mengambil program studi di perguruan tinggi
(PT) non-kependidikan karena dianggap lebih menjanjikan masa depan.
Akibatnya, input calon guru di PT pencetak tenaga pendidik dan
kependidikan pun banyak kehilangan putra-putra terbaik yang punya kemampuan
akademik bagus. Padahal, kalau saja putra-putra terbaik itu 'jatuh cinta'
kepada profesi guru, sangat mungkin output calon guru akan jauh lebih bagus
kualitasnya. Sebab, bibit-bibit calon guru yang direkrut memang punya latar
belakang kualitas akademis yang bagus pula.
Fenomena ini berbeda dengan pola rekruitmen masukan calon guru di
era 1950-an. Menurut catatan Mohamad Surya (2003 : 397), siswa-siswa yang
tergolong the best di sekolah justru memilih lembaga pendidikan keguruan
sebelum mereka memilih sekolah-sekolah lain non-keguruan.
Dengan demikian, sekolah-sekolah guru kala itu banyak dibanjiri
siswa putra terbaik di jenjang pendidikan sebelumnya. Dari sinilah kemungkinan
output sekolah-sekolah keguruan tempo dulu, diakui atau tidak, mampu menelorkan
guru-guru legendaris, berkualitas dan punya dedikasi tinggi dalam mencerdaskan
generasi bangsa.
Yang menarik, sekolah-sekolah keguruan tempo dulu umumnya
memberikan tunjangan ikatan dinas (TID) kepada sebagian besar siswa-siswinya.
Tunjangan ini sekaligus sebagai pengikat untuk penempatan sebagai guru setelah
lulus sekolah. Dengan begitu, lulusan sekolah keguruan tak perlu repot-repot
melamar jadi guru karena begitu lulus otomatis mereka akan diangkat menjadi
guru.
Melalui model TID ini, wajar kalau kemudian putra-putra terbaik
(the best) di suatu sekolah jadi tergiur dan termotivasi menekuni profesi guru.
Sekalipun, tidak bisa dipungkiri, saat itu profesi guru memang menjadi
kebanggaan tersendiri. Dengan kata lain, profesi guru merupakan panggilan
nurani sebagai bentuk pengabdian seorang warga negara kepada nusa dan bangsa.
Pengalaman masa lalu dalam menggiring putra-putra terbaik untuk
menerjuni profesi guru barangkali menarik direnungkan dalam upaya menyiapkan
guru berkualitas. Jika pada masa lalu ada TID, itu bisa dihidupkan lagi dengan
model serupa atau dimodifikasi sesuai kaadaan terkini. Ini jauh lebih efektif
dari pada setiap tahun merekrut tenaga guru melalui jalur tes CPNS.
Di sisi lain, pemberian TPP sangat mungkin dijadikan momen untuk
menggaet putra-putra terbaik agar terpikat menjadi guru. Bagaimanapun, TPP
memiliki nilai tawar yang cukup kuat untuk membuat profesi guru bertambah
'seksi' sehingga mampu memikat hati para the best di sekolah-sekolah.
Gerakan Indonesia Mengajar yang dikembangkan Rektor Paramadina,
Anies Baswedan, barangkali layak dijadikan inspirasi untuk menggaet putra
terbaik menjadi guru. Lewat gerakan sosial kreatif ini, lulusan PT kenamaan di
Indonesia yang masih fresh graduate banyak yang terpanggil menjadi guru di
daerah terpencil untuk mengajar murid-murid SD selama setahun penuh.
Bahkan, dari 51 guru muda yang direkrut untuk angkatan pertama,
ada yang sudah bekerja di P & G Singapura. Ada pula yang peraih Top 20
Authors dalam World Bank's Essay Competition. Ini mengindikasikan, dengan
pengkondisian tertentu, putra-putra terbaik lulusan PT ternama pun ternyata
tergiur juga menjalani profesi guru.
Nah, jika sepakat memperbaiki kualitas guru, agaknya tak
berlebihan membidik putra-putra terbaik untuk direkrut sebagai pendidik. Hanya,
ini memang membutuhkan political will dari berbagai elemen masyarakat. Semoga,
pemberian TPP memberikan daya tarik untuk menggaet putra-putra terbaik agar
mereka 'jatuh hati' menjadi guru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar