Kamis, 12 Januari 2012

Terobosan Esemka


Terobosan Esemka
Yudi Latif,  PEMIKIR KEAGAMAAN DAN KENEGARAAN
Sumber : REPUBLIKA, 11 Januari 2012



Setiap kali kita merasa pesimistis pada perkembangan bangsa, selalu saja ada pihak yang berdiri terakhir di persimpangan jalan memancangkan terobosan kreatif yang memercikkan harapan. Di sela gugusan kelam jagad politik kita, Wali Kota Solo Joko Widodo menerobos kabut kegelapan dengan keteladanannya menghargai mobil buatan anak-anak SMK (Esemka).

Perpaduan antara kreativitas anak-anak Esemka dengan kreativitas dukungan politik Wali Kota memungkinkan karya inovatif itu menjadi pusat perhatian, sejenak mengalihkan wacana publik dari politik keburukan ke politik harapan. Momen ini mengandung banyak makna.

Sebab, dalam 13 tahun terakhir, energi nasional kita terkuras untuk mengurusi rekayasa demokrasi proseduralisme dan politik  pencitraan, mengabaikan substansi politik berdimensi kebijakan publik yang berorientasi kesejahteraan, kecerdasan, dan kemandirian bangsa. Impian tinggal landas berbasis pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, yang pernah menjulang di penghujung Orde Baru, lenyap begitu saja dibenamkan kegaduhan politik sebagai arena perjuangan kuasa demi kuasa semata.

Meskipun politik kenegaraan abai terhadap tugas pelayanannya, masyarakat Indonesia menampilkan daya tahan dan daya kreatif yang mengagumkan. Ketika politik ekonomi hanya berpihak pada pertumbuhan ekonomi kuat, 70 persen rakyat Indonesia bisa bertahan hidup melalui kreativitas sektor informal.

Ketika demokrasi hanya melahirkan pemerintahan yang mengurusi kepentingannya sendiri, genius-genius Indonesia tetap mampu menorehkan pelbagai prestasi. Di bawah bimbingan Prof Yohanes Surya, anak-anak Indonesia berkali-kali merebut gelar juara berbagai Olimpiade Fisika dan Sains Dunia yang sangat bergengsi. Mereka bahkan mengalahkan anak-anak dari Cina, Amerika, Jerman, Inggris, India, Korea Selatan, Australia, dan Israel.

Keberhasilan anak-anak Papua menjuarai kompetisi fisika dan matematika menghapus stigma rasisme yang merendahkan. Dalam kepungan mentalitas pecundang yang mewarnai bangsa ini, keberhasilan ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia bukan saja sejajar dengan bangsa-bangsa lain, melainkan lebih superior.

Barangkali benar sinyalemen dari Prof Yaumil Agoes Achir (alm) bahwa Indonesia adalah tambang emas dari sumber daya manusia genius di dunia. Terbukti pula bahwa untuk sekadar membuat mobil, anak-anak sekolah menengah juga bisa. Apalagi kalau kita bisa memberi ruang kreatif bagi ribuan ahli Indonesia yang tersebar di pelbagai universitas dan pusat industri  dunia.

 Di akhir Orde Baru, kita telah merintis pusat-pusat pengembangan teknologi tinggi yang memberikan tumpuan daya saing nasional, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dalam negeri. Sayang, sifat politik Indonesia yang sering melupakan warisan-warisan terbaik masa lalu, setiap perubahan rezim politik berarti membuat segalanya bermula dari titik nol.

Terobosan kreatif tanpa dukungan komitmen politik hanya akan membuat karya-karya inovatif berhenti sebagai alat menipulasi pencitraan. Para pembesar negeri datang mengerubuti dan konon memesan mobil Esemka, tapi entah sampai kapan perhatian ini bisa dipertahankan, karena mudah beralih ke isu-isu berikutnya yang menjadi sorotan publik.

Sementara itu, sifat birokrasi kita yang cenderung berpihak pada yang bayar dan kepentingan jangka pendek, kemungkinan akan menghambat pengembangan mobil Esemka ini dengan berbagai prosedur. Pengembangan ekonomi kreatif tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak talenta-talenta genius bangsa ini.

Melainkan juga ruang toleransi bagi pengembangan kreativitas, dengan dukungan sistem teknologi yang berdimensi politik. Seperti dikatakan Johan Galtung, "Adalah naif memandang teknologi sebatas persoalan hardware, keterampilan, dan software belaka …. Alat-alat tidaklah beroperasi di ruang vakum; mereka adalah man-made dan man-used yang memerlukan pengelolaan sosial-politik tertentu agar bisa berkembang."

Ketidakmampuan politik untuk menyediakan wahana bagi aktualisasi ide kreatif genius-genius bangsa, yang akan berkembang adalah kompensasi negatif dalam bentuk kreativitas yang destruktif: pembajakan, keisengan vandalisme, bahkan tawuran antarpelajar. Sudah saatnya politik keburukan diganti dengan politik harapan.

Politik sebagai ekspresi perjuangan kuasa demi kuasa harus berubah menjadi politik sebagai ekspresi kebajikan kolektif yang bepihak pada kesejahteraan, kecerdasan, dan kemandirian bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar