Kamis, 12 Januari 2012

Konsolidasi Demokrasi


Konsolidasi Demokrasi
Bambang Sulistomo,  PUTRA PAHLAWAN NASIONAL BUNG TOMO
Sumber : REPUBLIKA, 12 Januari 2012


Tahun 2011 baru saja berlalu dan tentunya tercatat banyak capaian yang membanggakan. Namun, tentu saja berbagai capaian formal tersebut tidak serta merta menandakan seluruh tatanan kehidupan bangsa ini berjalan sebagaimana diharapkan. Keprihatinan masih menandai dunia tenaga kerja, penegakan hukum, distribusi pendapatan, ketertiban umum, dan tingginya intensistas politisasi dalam berbagai aspek kehidupan.

Terkait dengan meningkatnya politisasi di berbagai bidang kehidupan belakangan ini, situasinya bisa dibilang memprihatinkan. Munculnya istilah 'tebang pilih' dalam penegakan hukum tidaklah lepas dari fenomena yang tumbuh dari praktik yang menjadikan politik sebagai panglima sehingga menggeser norma-norma hukum.

Apalagi, virus politik ini sudah menjalar dan mengganggu roda birokrasi yang mestinya bersikap netral. Praktik politisasi dengan mencantol kekuatan politik untuk meraih jabatan bukan saja menjangkiti perangai pejabat eselon I di banyak kementerian yang notabene mestinya abdi negara yang bersifat mengayomi seluruh warganegara, tapi sudah mewabah hingga ke tingkat paling bawah.

Sebenarnya dalam kurun perjalanan bangsa, pengalaman serupa pernah dialami, saat atmosfer politik begitu kental sehingga membuat pemerintahan tidak berjalan efektif yang mendorong pemimpin besar revolusi, Presiden RI pertama Soekarno mengeluarkan dekrit kembali pada Pancasila dan UUD 1945. Saat ini pun, dalam konteks kurang lebih sama tapi setting situasi yang berbeda, kita seperti mengulang era tahun 1959. Masuk dalam babak yang begitu liberal melalui praktik politisasi berbagai aspek kehidupan.

Sayangnya, praktik politik yang sebenarnya menjadi mandat demokrasi itu merambah jauh berjalan tanpa arah, bahkan kerap kali bertabrakan kepentingan umum. Bila dibiarkan kondisi yang terjadi ini bisa menjadi bom waktu yang justru menghancurkan bangunan demokrasi yang sekarang bersemai di mana-mana. Apalagi, dengan kondisi bangsa yang diwarnai ketimpangan di sana-sini dan karakteristik massa mudah terbelah, dipecah-pecah, dihasut menjadi lahan empuk gelombang penghasutan atas nama kepentingan politik.

Namun, tentu saja menarik kembali mandat demokratisasi yang terartikulasikan oleh partai-partai politik sama dengan membalikkan air sungai dari hilir ke hulu, bahkan melawan common sense. Sebaliknya, membiarkan situasi yang berkembang terus terjadi ibarat membiarkan perahu besar NKRI menyusuri gelombang yang bisa membahayakan perjalanan kita sebagai bangsa dengan kemungkinan terjadinya huru-hara politik di luar beban sejarah.

Dalam panggung sejarah NKRI, kita menyaksikan terjadinya koreksi-koreksi yang lahir dari perjalanan sejarah melalui 'huru-hara' politik. Kita mengetahui, bagaimana Soekarno setelah kemerdekaan mesti diturunkan di tengah jalan dengan memobilisasi mahasiswa dan rakyat. Begitu juga kita menyaksikan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun setelah menggantikan Soekarno, diturunkan di tengah jalan melalui gerakan yang dimotori mahasiswa dan rakyat pada 1998.

Dalam masa transisi demokrasi, kita juga menyaksikan Presiden KH Abdurrahman Wahid dimakzulkan melalui sidang MPR dan diganti di tengah jalan. Saat ini, melalui sistem pemilihan langsung serta mekanisme demokratisasi makin terbuka, mestinya kita tak memerlukan lagi terjadinya koreksi-koreksi melalui huru hara politik. Dalam iklim yang lebih terbuka dan konsolidasi demokratisasi, pilihannya hanyalah memapankan mekanisme konstitusi yang sudah disepakati bersama.

Kita sudah melihat dan merasakan, nafsu politisasi yang kuat hanya menimbulkan berbagai masalah. Dalam pemaparan ahli sejarah Asvi Warman Adam, kurun waktu terbesar panggung kekuasaan di Indonesia merupakan pertarungan Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) di mana kekuatan yang muncul kemudian sering kali mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi dengan mentransformasi pada salah satunya.

Penulis tidak pernah terkotak pada rezim berkuasa sebelumnya. Apalagi, Bung Tomo selaku panutan sekaligus orang tua penulis merupakan figur yang pernah dikucilkan, baik oleh Soekarno setelah awal kemerdekaan dan kemudian dalam masa Orba oleh Soeharto karena sejumlah kritikan atas keadaan.

Saat ini, suka atau tidak, bangsa ini mesti menyudahi pertikaian politik warisan masa lalu yang mengisi bentuk-bentuk euforia politik. Saatnya kita menatap ke depan dengan tradisi menaati konstitusi dan bermuarakan kepentingan rakyat. Jangan lagi pernah terpikir pemerintah dijatuhkan di tengah jalan karena cost yang ditanggung terlalu mahal dan yang pasti rakyat akan menjadi korban, mulailah dengan panggung bulan-bulan prestasi.

Memang, perubahan transisi 1998 sebagai harapan babak baru reformasi dan perombakan sistem ekonomi politik secara menyeluruh belum terwujud secara substantif. Karena itu, perlu dibangun suatu kondisi berorientasi pemapanan terhadap nilai-nilai konstitusi yang konsekuen menjalankan semua agenda yang disepakati.

Saat ini bukan lagi saatnya membangun politik massa mengambang baru yang mudah 'didepolitisasi' kepentingan kekuasaan dominan. Tapi, bagaimana secara sadar kita sebagai bangsa mematangkan situasi demokratisasi yang bersemai dengan semangat yang melekat secara bersama-sama dalam bentuk karakter menuju suatu kondisi yang semakin baik.

Jika kita mencermati, para founding fathers mengawali kemerdekaan bangsa ini dengan menggulirkan nation and character building. Bung Karno menyatakan, bangsa ini harus dibangun mendahulukan pembangunan karakter. Karena character building inilah yang mesti dibangun lebih dahulu dibandingkan aspek-aspek lainnya.

Di masa Orla, sebenarnya pembangunan karakter sudah dimulai, sayangnya banyak ditunggangi paham Nasakom yang kemudian gagal. Dalam era Orba, Soeharto pun sudah menjalankan program P4, tapi akhirnya menimbulkan skeptis karena kuatnya kesan "kuningisasi" tanpa ada keteladanan.

Momentum yang tersisa dalam masa konsolidasi demokrasi ini, selayaknya presiden selaku kepala negara mengambil langkah memagari berbagai 'hiruk pikuk' politik yang berlangsung dengan menggemakan nilai-nilai luhur bangsa Pancasila. Apalagi, dalam banyak aspek kehidupan nilai-nilai Pancasila dirasakan kian memudar. Situasi ini pun diperparah dengan merapuhnya fondasi ideologis Pancasila yang mulai hilang dalam dunia pendidikan. Sejak diundangkannya UU Sisdiknas, pendidikan Pancasila bukan lagi muatan wajib seluruh jenjang pendidikan.

Dalam situasi serba kritis inilah kita berharap nilai-nilai Pancasila menjadi nilai perekat yang menyatukan kembali pandangan dari berbagai elemen bangsa yang terfragmentasi oleh berbagai pandangan politik.

Saatnya kita berpaling dengan menebalkan lagi etika yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila sebagai semangat kebatinan yang genuine sebagai bangsa. Nilai-nilai yang terinspirasikan dari situasi alam, geopolitik, dan demografi masyarakat majemuk pada para founding fathers tidak pernah dijumpai di belahan negeri lain.

Kita harapkan, dengan menggemakan kembali Pancasila sebagai detak jantung bangsa, hiruk pikuk politik tidak lagi mengkhawatirkan karena bukan lagi berjalan di ruang hampa, tapi berkorelasi terhadap kemajuan dan kesejahteraan umum, bahkan semangatnya memperkuat konstitusi kita sebagai arah membangun peradaban bangsa ke depan. Sehingga, pada waktunya kita pun bisa secara tenang meyakini NKRI yang memang built ini dengan demokrasi Pancasila akan terus berdiri tegak hingga akhir zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar