Ketakberdayaan
di Era Demokrasi
Arif
Susanto, PENGAJAR DI UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 18 Januari 2012
Apa yang dilakukan sebagian warga yang
menuntut keadilan? Menjahit mulut sendiri, menduduki fasilitas publik, atau
berkemah di depan gedung DPR.
Sulit menyebut itu semua sebagai pilihan
tindakan. Dalam ketidakbebasan karena terbatas atau tiadanya pilihan, tindakan
itu nekat bercampur pasrah.
Bagaimana politik demokrasi memandang
ketakberdayaan di tengah tiadanya pembatasan sistematis atas partisipasi warga
negara oleh kekuasaan negara? Pendekatan pembangunan seperti apa yang
memungkinkan partisipasi lebih baik oleh warga negara dalam diskursus publik?
Kesetaraan Dalam Demokrasi
Saya ingin berangkat dari Thomas Christiano
yang menyebut demokrasi sebagai ”suatu metode pengambilan keputusan kolektif
yang di dalamnya setiap orang punya hak setara memainkan suatu peran”. Di sini
tak boleh ada halangan sistematis yang merintangi warga negara mengemukakan
kepentingan agar diakomodasi dalam kebijakan publik.
Demokrasi pertama-tama harus memastikan semua
warga negara secara prinsip sama kedudukannya dalam kehidupan bernegara.
Kesetaraan ini menjamin kebebasan partisipasi bagi seluruh warga negara. Namun,
kesetaraan kesempatan berpartisipasi tak serta-merta menjamin akomodasi
berkeadilan atas berbagai kepentingan.
Di tengah keterbatasan sumber daya negara
memenuhi berbagai tuntutan, proses politik adalah tarik-menarik di antara
berbagai kepentingan untuk memperoleh prioritas dalam kebijakan publik. Dalam
tarik-menarik itu kepentingan warga sekitar area pertambangan, misalnya, tak
serta-merta diakomodasi secara berimbang dengan kepentingan korporasi pemegang
izin tambang eksplorasi.
Berhadapan dengan masalah semacam itu,
Christiano menuntut kesetaraan sarana berpartisipasi dalam keputusan kolektif.
Bagi Christiano, pengambilan keputusan demokratis butuh kesetaraan tertentu
terkait sumber daya untuk mencapai tujuan karena jika kita berangkat dari suatu
prinsip kesetaraan dalam menimbang kepentingan, sesungguhnya kesetaraan sumber
daya merupakan tafsir paling masuk akal menyangkut ideal itu.
Distribusi berkeadilan atas sumber daya
merupakan mimpi banyak orang. Namun, apakah fokus pada sarana berpartisipasi
itu suatu pandangan yang memadai menjawab keterpinggiran?
Kapabilitas dan Kebebasan
Berkenaan dengan itu, perlu kita timbang
gagasan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) dan digemakan ulang
lebih canggih dalam The Idea of Justice (2009). Gagasan Sen bertolak dari
pandangannya bahwa kapabilitas itu terkait dengan kebebasan substantif yang
berperan penting dalam kemampuan orang melakukan berbagai hal yang patut
dihargai.
Pendekatan kapabilitas berfokus lebih
komprehensif pada kehidupan manusia, bukan sekadar pada sumber daya seseorang.
Dengan itu, Sen menggeser perhatian dari sarana kehidupan (yang kerap
dipersamakan dengan pendapatan) menuju kesempatan aktual yang dimiliki
seseorang (mewujudkan tujuan yang patut diupayakan) dan selanjutnya menuju
kebebasan untuk mampu mewujudkan tujuan itu.
Jadi, untuk mengatasi keterpinggiran, kita
tidak mungkin menyimak peningkatan pendapatan belaka, tetapi bagaimana
menumbuhkan kapabilitas agar warga negara berdaya, bebas.
Bagaimana orang dapat memperluas kebebasannya
lebih esensial ketimbang bagaimana orang dapat meningkatkan pendapatannya.
Pembangunan dengan begitu diarahkan mewujudkan kebebasan yang melandasi
keadilan. Pasti tak ada keadilan dalam ketimpangan dan keterbelengguan. Di sini
gagasan demokrasi terkait dengan gagasan keadilan.
Peningkatan kapabilitas dapat dikembangkan
melalui program pendidikan, perawatan kesehatan, pemberdayaan perempuan, dan
pengembangan keahlian dasar lain yang memampukan orang menjalani kehidupan
sebagaimana dikehendaki. Peningkatan kapabilitas tak hanya berdampak pada
peningkatan potensi perolehan pendapatan. Juga kualitas partisipasi warga
negara dalam kehidupan demokrasi akan meningkat.
Kesejahteraan ekonomi yang dibarengi tingkat
kesehatan dan pendidikan yang layak berpeluang memampukan warga menyuarakan
kepentingan tanpa harus menjahit mulut sendiri.
Indonesia yang Mengecewakan
Di tengah lesunya perekonomian global,
pemerintah kerap bangga dengan meningkatnya PDB, menurunnya inflasi, dan rasio
utang terhadap PDB relatif moderat. Prestasi itu terasa ironis dengan
merebaknya konflik kepemilikan dan pemanfaatan lahan yang menuntut korban
nyawa. Patut ditelaah, apakah ironi itu membuktikan pembangunan Indonesia tak
berorientasi pada kebebasan.
Dalam refleksi 2011, tokoh agama menegaskan
bahwa orientasi pada pertumbuhan ekonomi telah mengalahkan komitmen pada
kemanusiaan. Itu tidak berarti pembangunan ekonomi berlawanan dengan
kemanusiaan, tetapi bahwa orientasi yang terlalu sempit berfokus pada
pendapatan ekonomi telah melalaikan hakikat pembangunan sebagai pembebasan.
Pertumbuhan ekonomi tak diikuti distribusi adil atas sumber daya dan
kapitalisasinya telah meluruhkan makna sumber daya sebagai instrumen kebebasan.
Di sisi lain lembaga negara gagal menjadi
mediator dalam konflik kepentingan karena kekuasaan cenderung akomodatif
terhadap kepentingan sepihak elite. Keterpinggiran politik telah memperparah
keterpinggiran ekonomi karena penyelenggaraan negara tidak diorientasikan pada
manfaat terbesar bagi publik. Mereka yang terpinggirkan nekat dan pasrah.
Negara mesti segera berbenah jika tidak ingin
terus-menerus mengecewakan rakyat. Berhadapan dengan keterpinggiran, politik
demokrasi sepatutnya tidak mengangankan kesempurnaan distribusi sumber daya.
Lebih masuk akal jika perhatian ditujukan
pada bagaimana kesenjangan kapabilitas di antara warga negara. Soalnya,
peningkatan kapabilitas akan berdampak ganda meningkatkan pendapatan ekonomi
sekaligus meningkatkan kualitas partisipasi demokrasi warga negara.
Di sisi lain terdapat pula tuntutan agar
kekuasaan lebih responsif dan akuntabel dalam mengelola mandat warga negara.
Kebijakan publik harus berangkat dari dan diarahkan untuk kepentingan publik.
Akhirnya, jika kapabilitas dan sumber daya
terdistribusi secara lebih berkeadilan dan kekuasaan negara tidak mengasingkan
diri dari kepentingan publik, barangkali orang tidak lagi harus menyabung nyawa
agar kepentingan mereka terakomodasi dalam kebijakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar