Selasa, 10 Januari 2012

Chavez, Mobil Esemka dan Kedaulatan Kita


Chavez, Mobil Esemka dan Kedaulatan Kita
Ivan A Hadar, WAKIL PEMRED JURNAL SOSIAL DEMOKRASI  
Sumber : SINDO, 10 Januari 2012



Kabar menarik berikut ini menjadi perhatian kita karena berkaitan dengan kedaulatan negara yang disimbolkan dalam kemenangan Hugo Chavez atas ExxonMobil.

Dalam kasus perdata dengan ExxonMobil, langkah nasionalisasi perusahaan asing demi perekonomian yang berpihak pada rakyat seolah didukung oleh Lembaga Arbitrase Internasional (ICC), ketika hanya mengharuskan Venezuala membayar 10% kompensasi yang dituntut oleh perusahaan minyak raksasa tersebut.

Terdapat kesepakatan luas bahwa terpilihnya Hugo Chavez sebagai presiden Venezuela (1998) memulai apa yang disebut “pergeseran ke kiri”— menapaki langkah sosialisme demokrasi—di hampir semua negara Amerika Latin. Jurnal Nueva Sociedad dalam Edisi Khusus 2008 mengajukan judul, “Seberapa Kiri, Kirinya Amerika Latin?”,memuat berbagai tulisan yang mendiskusikan wacana dan langkah politik, atau latar belakang sejarah dan gerakan sosial yang menjadi penyebab “pergeseran ke kiri”di Latin Amerika.

Sepanjang 1980-an Amerika Latin mengalami “dekade yang hilang” dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terendah, angka kemiskinan yang melejit, serta distribusi pendapatan terburuk di dunia. Setelah terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup lumayan pada paruh pertama 1990-an di bawah “arahan dan kendali” Bank Dunia dan IMF, kembali terjadi “5 tahun yang hilang” pada paruh kedua 1990-an.Penyebabnya, penyesuaian struktural neoliberalisme (Konsensus Washington) tidak mampu menepati janji perbaikan. Sebaliknya, Argentina sebagai negara “pajangan” reformasi neoliberalisme saat itu, pada 2001 terjerembap dalam krisis yang sangat serius.

Akibatnya, para pemilih memberikan kartu merah bagi pemerintahan dan parpol tradisional dan memilih kandidat yang menyandang posisi kiri. Hugo Chavez,Evo Morales,dan Rafael Correa,misalnya,mewakili kecenderungan tersebut. Sementara di negara-negara dengan tradisi demokrasi termasuk memiliki parpol kiri yang cukup kuat seperti Brasil, Cile,danArgentina,terjadi perubahan paradigma secara ideologis dalam sistem politiknya. Meskipun,secara detail,terdapat beragam wacana dan praktik politik pemerintahan di Amerika Latin, setidaknya terdapat tiga kecenderungan yang sama. Pertama, semakin aktifnya negara dalam perekonomian.

Kedua, negara memprioritaskan kebijakan sosial sebagai kebijakan pendistribusian kue pembangunan dan ketiga, terjadi diversifikasi hubungan politik dan ekonomi luar negeri. Sementara itu, tak ada satu pun yang mempertanyakan stabilitas moneter dan keuangan,aturan pasar bebas dan integrasi pasar dunia. Semua elemen Konsensus Washington tersebut akibat pengalaman hiperinflasi sepanjang 1990-an, diserap menjadi bagian penting kebijakan pemerintah.

Lebih dari sepuluh tahun “pergeseran ke kiri” di Amerika Latin telah menimbulkan perbaikan sosial-ekonomi yang cukup signifikan.Tingkat kemiskinan menurun dari 48% menjadi 36% total penduduk. Saat ini 15 juta keluarga di Brasil memperoleh tunjangan langsung berkat program “Bolsa Famillia”—dari sebelumnya “hanya”berjumlah 3,6 juta keluarga yang memperoleh manfaat tersebut pada 2003. Di banyak negara Amerika Latin terjadi perbaikan dalam distribusi penghasilan bagi rakyatnya. Kabar terakhir Brasil berhasil menggusur Inggris sebagai kekuatan ekonomi nomor enam dunia.Bagaimana dengan kita?

Kedaulatan

Sejak 2002 angka kemiskinan di negeri ini belum beranjak jauh.Sementara itu,terkait kemandirian (lebih tepat,disebut kedaulatan), beberapa contoh berikut ini menunjukkan kita jauh tercecer dari cita-cita bernegara. Aceh bisa banyak bercerita tentang ExxonMobil yang lama beroperasi menghabiskan minyak dan gas,sambil meninggalkan kerusakan di kawasan sekitarnya. Exxon- Mobil kemudian “mengalahkan” Pertamina dalam perlombaan penguasaan Blok Cepu.

Sementara itu, kita semua tahu bahwa PT Freeport Indonesia sejak puluhan tahun beroperasi dengan hanya menyisakan 9,36% saham bagi pemerintah yang mewakili rakyat Indonesia. Saat ini Freeport telah menjadi perusahaan tambang terbesar di dunia berkat menguras gunung Ertsberg dan Grasberg yang sebenarnya memiliki nilai sakral bagi masyarakat adat Papua. Kita pun merasa tak berdaya ketika setiap hari jalanan republik ini dipenuhi segala macam produk automotif asing.

Setiap tahun, terjadinya peningkatan belanja automotif di negeri ini yang menjadikan kita konsumen terbaik bagi negara-negara produsen. Sebenarnya, yang terjadi adalah kita telah kehilangan triliunan rupiah devisa setiap tahun karena tidak mampu atau tidak mau mengembangkan kemandirian. Beruntung, secercah harapan dimunculkan murid-murid sekolah menengah kejuruan, SMK, yang menciptakan mobil SUV murah bernama Esemka. Dukungan konkret pun datang dari Wali Kota Solo Jokowi yang menjadikan mobil tersebut sebagai kendaraan dinasnya.

Setelah merdeka lebih dari separuh abad, tampaknya sudah waktunya kita belajar dari anak-anak muda di Solo tadi sambil berupaya menjadi tuan di rumah sendiri seperti yang dilakukan Chavez. Kalaupun belum seberani Chavez, sudah waktunya kita negosiasikan ulang berbagai kontrak karya dengan perusahaan asing,khususnya terkait sumber daya alam.Targetnya,menjadi pemilik saham mayoritas agar bisa berdaulat mengendalikan pengelolaan sumber daya alam. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar