Antara
Resentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan
Darmaningtyas, PENULIS BUKU
MANIPULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 10 Januari 2012
Gagasan
mengenai resentralisasi pengelolaan pendidikan mencuat kembali pada akhir 2011.
Gagasan tersebut muncul sebagai reaksi terhadap gagalnya desentralisasi
pendidikan selama satu dekade terakhir, setelah pelaksanaan otonomi daerah.
Ternyata hal-hal indah yang dibayangkan akan terjadi dalam dunia pendidikan
pasca-otonomi daerah tidak menjadi kenyataan. Bahkan yang terjadi adalah
kesemrawutan dan ketidakjelasan sistem. Yang paling banyak dikorbankan dalam
desentralisasi pendidikan adalah para guru pegawai negeri sipil. Ada beberapa
indikator untuk melihat kegagalan desentralisasi pendidikan tersebut.
Pertama,
kesenjangan mutu pendidikan antara Jawa dan luar Jawa makin lebar lantaran,
pasca-desentralisasi pendidikan, tidak ada lagi transfer tenaga pengajar dari
Jawa ke luar Jawa, dan kapasitas daerah untuk mengembangkan pendidikan juga
terbatas.
Akhirnya, daerah yang maju tambah maju, sedangkan yang tertinggal
makin tertinggal.
Kedua,
guru semakin terbatas mobilitasnya, baik horizontal maupun vertikal. Atas nama
otonomi daerah, guru tidak bisa melakukan mobilitas horizontal (antardaerah)
maupun mobilitas vertikal (jabatan lebih tinggi, kecuali kepala dinas saja).
Mobilitas guru hanya terbatas di satu wilayah kabupaten/kota. Padahal, sebagai
tenaga pengajar dan pendidik, guru perlu memiliki wawasan geografis yang luas,
dan itu dimungkinkan bila dapat melakukan mobilitas horizontal secara leluasa.
Ketiga,
jenjang karier guru makin tidak jelas. Pada masa Orde Baru, guru yang terpilih
sebagai guru teladan, baik di kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional,
memiliki jenjang karier yang jelas. Mereka dapat dipastikan akan menjadi kepala
sekolah. Sukses menjabat kepala sekolah, dia akan diangkat menjadi pengawas di
provinsi, terus kemudian naik menjadi kepala kantor di kabupaten/kota madya
(Kakandep). Dari jabatan Kakandep, ia akan ditarik menjadi salah satu pejabat
struktural di Kantor Wilayah (Kanwil) P dan K di provinsi, hingga akhirnya
menjadi Kepala Kanwil. Sukses di provinsi, akan ditarik menjadi pejabat di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat. Tidak mengherankan, pada masa Orde
Baru itu, ada Direktur Pendidikan Dasar di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
yang mantan guru SD (yang berprestasi). Jenjang karier semacam itu sekarang
tidak ada lagi. Jenjang karier guru sekarang mentok sebagai kepala dinas
pendidikan di kabupaten/kota, dan itu pun bukan karena kompetensinya, melainkan
karena kedekatannya dengan kepala daerah.
Keempat,
pasca-desentralisasi, kesejahteraan guru menjadi tidak merata, sangat
bergantung pada kemampuan daerah masing-masing. Ada daerah yang mampu memberikan
tunjangan kesejahteraan daerah (TKD) cukup besar, seperti DKI Jakarta, Tarakan,
dan Kalimantan Timur pada umumnya; tapi banyak pula daerah yang tidak mampu
memberikan tambahan TKD sama sekali, atau ada tapi kecil, satu bulan hanya Rp
100 ribu. Padahal tugasnya sama-sama mencerdaskan anak bangsa.
Kelima,
masih mengenai guru. Pasca-desentralisasi, kecenderungan politisasi terhadap
guru makin tinggi untuk mendukung pencalonan salah satu calon kepala daerah,
terutama yang masih menjabat (incumbent). Politisasi tersebut sering
menjadikan guru sebagai korban. Guru yang diketahui mendukung calon yang kalah
akan digencet, bahkan mungkin dimutasikan ke daerah terpencil. Tapi, bila guru
menjadi bagian dari tim sukses calon terpilih, ada kemungkinan ia mendapatkan
hadiah berupa menjadi kepala dinas pendidikan.
Keenam,
yang baru saja hangat adalah penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
yang justru terlambat pada saat disalurkan melalui pemerintah daerah. Banyak
pemda yang menunda penyaluran dana BOS, sehingga amat mengganggu kelancaran
operasional sekolah. Padahal semestinya mereka makin merasa bertanggung jawab
atas kelancaran BOS.
Ketujuh,
kita belum pernah menyaksikan prestasi daerah dalam kebijakan pendidikan yang genuine
sebagai produk daerah pasca-desentralisasi; yang kemudian dapat direplikasikan
di daerah-daerah lain. Tidak ada satu pun daerah yang berani menolak
pemberlakuan kurikulum secara nasional dan sistem evaluasi nasional melalui
ujian nasional. Artinya, sesungguhnya daerah tidak punya prestasi dalam
pendidikan yang dapat menjadi dasar untuk tetap dipertahankannya kebijakan
desentralisasi pendidikan.
Pentingnya
Resentralisasi
Masih
banyak kelemahan yang dapat dicatat pada desentralisasi pendidikan, namun tidak
mungkin dikemukakan satu per satu karena terlalu banyak. Mengingat banyaknya
kelemahan dalam kebijakan yang didesentralisasi itulah, penulis sejak enam
tahun silam sudah menyuarakan pentingnya resentralisasi pengelolaan pendidikan
nasional, dan topik ini pernah menjadi tema seminar di SMA Sumpiuh, Kabupaten
Banyumas (September 2010), dengan penulis sebagai salah satu narasumbernya.
Saya sependapat dengan Mohammad Abduhzen (Kompas, 10 Desember 2011) soal
kebutuhan resentralisasi pendidikan dengan alasan posisi strategis pendidikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu sebagai upaya mempertahankan
eksistensi: cara menyelesaikan berbagai persoalan dan jalan utama menuju
terwujudnya kesejahteraan, kecerdasan, dan martabat bangsa.
Urgensi
dari resentralisasi kebijakan pendidikan itu amat dirasakan bila dikaitkan
dengan kecenderungan politik lokal yang sangat mementingkan kesukuan,
etnisitas, atau eksklusivisme, sehingga menjadi kurang toleran terhadap
kehadiran orang lain.
Pendidikan merupakan satu-satunya harapan bagi bangsa
untuk mencairkan segala bentuk eksklusivisme tersebut. Tapi harapan terhadap
institusi pendidikan bisa kecelik, ketika pendidikan sendiri terjebak
pada pola-pola sektarianisme dan primordialisme. Agar praksis pendidikan tidak
terjebak pada kecenderungan sektarianisme dan primordialisme, ia perlu dikelola
secara tersentralisasi guna memudahkan terjadinya pertukaran tenaga guru,
pengawas, bahkan kepala dinas antardaerah, terutama dari daerah yang surplus ke
daerah yang minus. Sistem desentralisasi tidak memungkinkan terjadinya
pertukaran itu.
Pada
kenyataannya, sampai sekarang ini kurikulum, buku pelajaran, sistem evaluasi,
anggaran, dan kebijakan lain yang menyangkut substansi pendidikan masih
tersentralisasi. Satu-satunya yang terdesentralisasi hanyalah soal pengelolaan
tenaga guru dan kependidikan. Dengan kata lain, bila ada kebijakan
resentralisasi, sesungguhnya yang berubah hanyalah manajemen guru dan tenaga
kependidikan, yang kembali seperti sebelum otonomi daerah. Dengan demikian,
tidak ada yang perlu ditakutkan dengan sentralisasi.
Satu-satunya
keberatan resentralisasi berasal dari para guru yang merasa diuntungkan oleh
sistem desentralisasi, seperti para guru di Kepulauan Riau, DKI Jakarta,
Tarakan (Kalimantan Timur), atau wilayah Kalimantan Timur pada umumnya yang
mendapatkan tunjangan kesejahteraan daerah cukup besar. Tapi, bagi para guru
pada umumnya (mayoritas dari 2,2 juta guru pegawai negeri), mereka akan lebih
senang dengan adanya sistem sentralisasi, karena dapat melakukan mobilitas
horizontal dan vertikal secara lebih leluasa.
Kecemasan
para guru pegawai negeri di daerah-daerah makmur bila terjadi resentralisasi
itu juga tidak perlu terjadi, bila pemerintah daerah memiliki tanggung jawab
besar untuk mensejahterakan warga. Betul, status mereka sebagai pegawai pusat.
Tapi, karena mereka mengemban tugas mencerdaskan warga di daerah, tidak ada
salahnya pemda setempat memberikan TKD kepada para guru pegawai negeri seperti
semula.
Persoalan mekanisme pemberian TKD dan payung hukumnya dapat dipecahkan
dengan mudah sejauh ada kemauan politik pemerintah maupun pemda. Dengan
demikian, tidak perlu takut dengan gagasan resentralisasi pendidikan.
Resentralisasi pendidikan amat diperlukan untuk pemerataan mutu pendidikan.
Sebab, dengan demikian pemerintah lebih mudah melakukan pemerataan guru dan
melakukan pertukaran guru setiap saat dari daerah surplus ke daerah minus.
Kebijakan pendidikan nasional harus dapat berkontribusi bagi terciptanya
ketahanan nasional. ●
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.
Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com
Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.
Sepatah kata cukup untuk orang bijak.