“Biar
Negara Hangus Terbakar….”
Ahmad Syafii Maarif, MANTAN KETUA UMUM PP MUHAMMADIYAH
Sumber
: KOMPAS, 4 Januari 2012
Revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia
pada 1945-1949 sungguh kritikal, melelahkan, tetapi sarat dengan harapan untuk
menang. Ia menyisakan berjuta pengalaman suka duka, heroisme, dan idealisme
dengan kualitas hampir tanpa cacat.
Sebagai anak kampung yang tersuruk di lembah
Bukit Barisan dalam usia di bawah 14 tahun, saya tidak menyumbang apa pun untuk
kepentingan revolusi itu. Sekiranya Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara tidak menjadikan kampung saya, Sumpur
Kudus, sebagai salah satu pusat pemerintahan gerilya selama beberapa minggu
pada 1949, kampung ini—seperti ribuan desa lain di seluruh Nusantara—tidak akan
pernah dicatat dalam peta perjuangan kemerdekaan.
Semboyan
Perjuangan
Sebagai anak kampung yang lugu dengan
pendidikan sekolah rakyat (SR) pada 1942-1947, tidak banyak yang singgah dalam
memori saya tentang percikan api revolusi di lingkungan pedesaan yang
terisolasi itu. Namun, bait lagu atau semboyan yang rasanya berbunyi: ”Biar
negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi”, masih bertahan di otak saya
sampai hari ini.
Saya tidak tahu siapa pencipta lagu atau
semboyan yang sangat nasionalistis itu, yang getarannya dirasakan jauh sampai ke
pelosok yang tak dikenal. Rakyat udik pun telah lama menjatuhkan talak tiga
terhadap apa yang bernama penjajahan. Semboyan ini pun bergema pada saat-saat
yang menentukan itu: merdeka atau mati!
Maka, tidak mengherankan apabila rakyat desa
menyambut para pejuang kemerdekaan dengan semangat pengorbanan yang teramat
tulus. Segalanya diberikan: harta dan jiwa tanpa mengharap imbalan apa pun.
Inilah pengorbanan yang paling otentik yang dikenal dalam masa revolusi.
Pemimpin dan rakyat hidup berdampingan tanpa jarak. Kesederhanaan adalah
fenomena keseharian saat itu.
”Biar negara hangus terbakar” melambangkan
sebuah tekad yang teramat kuat untuk menjadi bangsa merdeka. Sistem penjajahan
yang pada masa lampau itu asing sifatnya harus segera dihalau, sekali dan untuk
selama-lamanya.
Karena bercorak serba asing, apakah penjajah
itu berhidung mancung atau bermata sipit, kita dengan sangat mudah
mengenalinya. Kelakuannya serupa: zalim, diskriminatif, eksploitatif, opresif,
dan represif. Rakyat terjajah tak dianggap manusia penuh. Semua kelakuan buruk
dan busuk ini menyatu dengan sistem penjajahan itu.
Namun, setelah merdeka muncul kesulitan
karena yang berkuasa telah digantikan oleh anak bangsa sendiri, sekalipun
kelakuan buruk bisa saja berlanjut. Penguasa baru itu, yang saya kategorikan
sebagai londo ireng, tidak jarang pula meneruskan sifat-sifat penjajahan yang
tidak hirau dengan masalah keadilan dan nasib rakyat banyak.
Akibatnya, sila
kelima Pancasila berupa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih tetap
menggantung di awan tinggi, belum membumi untuk dapat dirasakan oleh seluruh
rakyat Indonesia.
Zaman
Bergerak, Sikap Berubah
Pada era 1950-an, beberapa tahun
pascarevolusi, kesederhanaan gaya hidup para elite kita masih sangat terlihat.
Bahkan, pernah seorang perdana menteri hanya memakai baju hem lengan pendek
saat dilantik presiden. Kesenjangan sosial-ekonomi belum dirasakan benar.
Maklumlah, negara dalam kondisi miskin.
Ada, memang, pertentangan ideologi politik
antarpartai yang cukup tajam, tetapi tak pernah berdarah-darah. Jika ada darah
yang tertumpah, itu semata-mata untuk melumpuhkan pemberontakan, seperti kasus
DI/TII, dan sebelumnya terjadi pula pemberontakan PKI Madiun yang memang harus
ditumpas.
Pada akhir 1950-an, dipicu oleh kesenjangan
antara daerah dan pusat serta semakin dominannya pengaruh komunisme, pergolakan
daerah sulit untuk dihindari dan penyelesaiannya pun berdarah-darah. Sesuatu
yang sangat disayangkan.
Akan tetapi, gaya hidup para elite masih
dalam batas normal. Kesederhanaan belum lagi meninggalkan panggung politik
nasional. Pesta pora perkawinan yang ekstra mewah, seperti yang terlihat
belakangan, jarang sekali terjadi. Roh proklamasi dengan pesan kesederhanaan
dan egalitariannya masih belum pupus dari kehidupan para elite. APBN dan APBD
ketika itu tak dijadikan sapi perahan oleh perselingkuhan penguasa/politisi dan
pengusaha.
Dengan bergeraknya zaman, berlaku pulalah
pergeseran kelakuan. Batas-batas moral telah dilanggar semau gue. Sebagian
pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa rasa malu telah sama
berkubang dalam dosa dan dusta. Pernyataan-pernyataan politik dan hukum telah
kehilangan otentisitasnya karena pada umumnya adalah untuk melestarikan
kekuasaan dan berebut tulang. Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan akan
sia-sia berharap perbaikan kehidupan rakyat banyak secara menyeluruh. Kekuasaan
telah dijadikan tujuan.
Ironisnya, ia sering dibungkus dalam bahasa
lembut, tetapi culas, demi kekuasaan dan uang. Teramat kecil jumlah anak bangsa
ini yang masih berpikir tentang masa depan bangsa dan negara. Kepentingan
kekinian yang serba pragmatis telah menjadi ”agama”, mengalahkan tujuan jangka
jauh bagi kelangsungan negara kepulauan yang cantik tetapi merana ini.
To have more and to use more
(semakin banyak memiliki dan semakin banyak pula menggunakan), tulis Erich
Fromm, adalah sifat masyarakat konsumeristik. Dikatakan bahwa masyarakat ini
telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan pada tingkat yang sama telah
melahirkan pula manusia tak berguna. Namun, sudah demikian burukkah masyarakat
Indonesia sekarang? Saya rasa belum, tetapi gejala ke arah itu telah semakin
terang benderang. Jika tidak dibendung dengan saksama oleh seluruh kekuatan
akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu
makin terbuka.
Akhirnya...
Semboyan masa revolusi yang berbunyi ”Biar
negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi” telah digeser oleh filosofi
pragmatis para elite: ”Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela,
asal aku tetap berkuasa”. Lagi-lagi, kekuasaan telah dijadikan tujuan
tertinggi.
Inilah penguasa londo ireng yang berlagak
santun, tetapi hati nuraninya telah lama lumpuh. Dan, kelumpuhan nurani ini
pulalah yang menjadi sumber utama dari segala macam ketidakberesan yang sedang
menerpa Indonesia sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar