Sunni,
Syiah, dan Ruang Kosong Budaya
Muhammad Ja’far,
PENELITI
INDOPOL RESEARCH CENTRE
Sumber
: KORAN TEMPO, 4 Januari 2012
“Nahdlatul
Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian
pernyataan populer almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cendekiawan NU.
Terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiai dalam
tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah.
Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam
bentuk teologi. Ini substansi pernyataan Gus Dur di atas.
Namun
sangat memprihatinkan, baru-baru ini terjadi tindak kekerasan terhadap muslim
Syiah di Sampang, Madura, salah satu basis NU. Sebuah pesantren Syiah dibakar massa
karena aliran itu dinilai sebagai ajaran sesat. Tindak serupa ini bukan yang
pertama, baik di Madura maupun di daerah lain di provinsi yang sama, Jawa
Timur. Sebelumnya, di Bondowoso, Pasuruan, Malang, dan Bangil pernah terjadi
penyerangan terhadap muslim Syiah.
Eskalasi
ini terjadi kira-kira dalam tempo empat tahun terakhir. Seharusnya ini menjadi
catatan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur beserta jajaran
keamanannya untuk mengantisipasi dan mencari solusi. Sebelum eskalasi konflik
terjadi, horizon keislaman di Jawa Timur sangat kondusif. Aroma Islam toleran
sangat kuat di provinsi ini. Kekhasan corak keislaman seperti ini tak lepas
dari akar budaya Nahdlatul Ulama (NU) yang tertanam kuat.
Said
Agil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar NU, menegaskan bahwa selama ini Madura
memiliki preseden positif soal hubungan antara muslim Sunni dan Syiah. Said
mensinyalir kejadian ini diletupkan pihak ketiga yang ingin merusak
keharmonisan tersebut.
Sunni-Syiah
Saudara
Secara
substansial, hubungan antar muslim Sunni dan Syiah tidak memiliki rintangan
signifikan bagi terjalinnya keharmonisan. Karena dua mazhab dalam Islam ini
justru memiliki banyak titik kesamaan ketimbang perbedaan. Teologi Syiah dan
Sunni tidak memiliki perbedaan mendasar. Baik dalam hal konsep ketuhanan
(tauhid), kenabian, kitab suci Al-Quran, maupun kepercayaan akan hari akhir dan
persoalan teologis lainnya. Ini bisa dirujuk pada literatur teologi dan juga
filsafat dari keduanya. Bahkan keduanya sering dipertemukan pada tokoh yang sama
dengan pemikiran yang sepaham.
Kajian
tentang dialog Sunni-Syiah semakin intensif menemukan banyak kesamaan di satu
sisi, dan menyadari bahwa perbedaan yang selama ini digaungkan sebenarnya tidak
menyangkut aspek yang fundamental dari ajaran masing-masing. Namun, sayangnya,
semakin dekatnya persaudaraan antara pemikiran Syiah dan Sunni ini hanya
berhenti pada tataran elite. Umat secara mayoritas belum diberi asupan dakwah
yang memadai tentang persaudaraan Sunni-Syiah. Ibarat piramida, di pucuk
sebenarnya bertemu, namun di bawah terpisah jauh. Karena itu, yang berkembang
di tingkat massa justru kesalahpahaman satu dengan yang lain. Mulai soal
teologi hingga syariah. Di antaranya, kesalahpahaman bahwa Al-Quran Syiah dan
Sunni berbeda, soal nikah mut’ah, penghormatan kepada sahabat, tata cara
ibadah salat, dan lain sebagainya.
Pada
tingkat “elite”, kesalahpahaman ini dianggap tidak berdasar secara akademis,
bahkan sekadar asumsi belaka. Namun, faktanya, kesalahpahaman ini fundamental,
signifikan, dan berefek besar. Walhasil, ada jurang pemisah yang lebar antara
proses dialog akademis pada tingkat intelektual dan pemahaman umat mayoritas.
Ini terjadi karena belum dilakukan strategi dakwah yang secara serius berupaya
untuk “membumikan” proses dialog yang terjadi pada tingkat “langit” tersebut.
Kalaupun ada, hanya berupa produk buku dan produk akademis elitis lainnya.
Padahal massa pada tingkat bawah memiliki “bahasa” tersendiri. Metode dakwahnya
seharusnya dilakukan secara lebih sederhana.
Pendekatan
Kultural
Sangat
menarik bahwa ternyata, secara kultural, banyak tradisi keislaman yang
dipraktekkan di Indonesia memiliki akar pada ajaran dan tradisi Syiah. Tradisi
Tabok dan peringatan bulan Muharam adalah salah satu contohnya. Tradisi ini
sudah berkolaborasi dalam berbagai budaya: Jawa, Sulawesi, maupun Sumatera.
Pada tanggal 10 Muharam, kita bisa melihat gelaran tradisi tersebut dalam
berbagai wajah budaya, namun satu substansi. Artinya, secara kultural
masyarakat Indonesia memiliki ikatan sosiologis dan historis yang kuat dengan
ajaran Syiah.
Tradisi-tradisi
tersebut menunjukkan: pertama, bahwa di Indonesia pada dasarnya sudah terjalin
harmoni yang kuat dan berlangsung berabad-abad antara Sunni dan Syiah. Demikian
kuatnya hingga menyatu dalam sebuah tradisi bersama. Kedua, budaya adalah
medium yang paling efektif sebagai pintu dialog dan harmoni. Sejauh ini,
jalinan dialog dan harmoni Syiah-Sunni kurang memaksimalkan perangkat budaya
sebagai mediumnya. Padahal dalam budayalah kita menemukan jejak-jejak harmoni
antara muslim Sunni dan Syiah Indonesia.
Budaya
sangat efektif untuk menerjemahkan hasil dialog akademis pada tingkat
intelektual ke dalam bahasa-bahasa yang sederhana yang mudah dicerna oleh umat
secara keseluruhan. Dan berbagai kesalahpahaman yang terjadi antara umat Islam
Sunni dan Syiah Indonesia, salah satunya, disebabkan oleh absennya budaya
sebagai perangkat dakwah dan dialog. Perangkat hardware (teologi,
syariah, fiqh) lebih dikedepankan ketimbang software (budaya,
akhlak, moral). Padahal yang kedua justru lebih efektif untuk membangun
harmoni. Absennya budaya ini menciptakan sebuah “ruang kosong” yang menjadi
jurang pemisah antara dialog akademis (elite agama) dan umat.
“Ruang
kosong budaya” inilah yang kemudian diisi dan dimanipulasi oleh pihak atau kelompok
tertentu, dengan kepentingan tertentu pula, untuk menciptakan
kesalahpahaman-kesalahpahaman antara muslim Syiah dan muslim Sunni. Sebagaimana
ditegaskan Said Agil Siradj. Dengan memanfaatkan “ruang kosong budaya”
tersebut, pihak ketiga tersebut merekonstruksi sebuah pemahaman yang saling
menyesatkan antara Sunni dan Syiah, sehingga muncul kecurigaan, kebencian, dan
motif untuk berkonflik di antara keduanya.
Ke
depan, agenda yang sangat penting untuk dilakukan adalah penelitian
komprehensif, baik kualitatif maupun kuantitatif, tentang peta kesalahpahaman
tersebut. Bagaimana proses terbangunnya kesalahpahaman itu, seperti apa pola
dan modusnya, seberapa jauh efek sosial-kulturalnya?
Sebab,
menurut saya, di tiap daerah, kesalahpahaman yang berkembang tidak sama
karakteristiknya. Di beberapa provinsi, kesalahpahaman yang berkembang lebih
kuat pada isu teologis, seperti kecurigaan bahwa Syiah memiliki Al-Quran yang
berbeda. Sedangkan di provinsi lainnya, kesalahpahaman lebih mengarah pada
aspek ibadah dan fiqh. Ini menunjukkan bahwa ada karakteristik yang
berbeda, yang menimbulkan efek kesalahpahaman yang juga berbeda.
Dengan bekal pemetaan, kita bisa mendiagnosis
“penyakit” kesalahpahaman ini. Setelah semua diketahui, akan lebih mudah untuk
memberikan “obatnya”. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan budaya. Peta
kesalahpahaman dapat dijadikan sebagai blueprint proses dialog
Sunni-Syiah. Jadi, harus ada sebuah kajian dan penelitian yang komprehensif
terhadap persoalan ini, sebagai bagian dari upaya dialog Syiah-Sunni. Walhasil,
konflik yang terjadi di Sampang bisa dilihat dari sudut pandang ini. Konflik
ini sengaja dilecutkan oleh pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan “kosongnya
budaya”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar