Rabu, 30 November 2011

Senjakala Kapitalisme

Senjakala Kapitalisme
Amich Alhumami, PENELITI SOSIAL DI DEPARTMENT OF ANTHROPOLOGY, UNIVERSITY OF SUSSEX, UNITED KINGDOM
Sumber : SINDO, 30 November 2011


Perekonomian dunia terguncang hebat akibat krisis finansial yang melanda dua benua: Amerika dan Eropa, semula terjadi pada 2008 dan berlanjut pada 2011.

Krisis ekonomi menohok tepat di wilayah yang menjadi jantung kapitalisme global.Dunia pun tersentak seakan tak percaya, negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalis yang kelihatan tangguh ternyata bisa limbung terkena serangan krisis keuangan akibat utang yang menumpuk. Krisis finansial bahkan membuat sejumlah pemerintahan di negara-negara Eropa jatuh (Yunani, Italia) atau kalah dalam pemilu (Inggris, Irlandia, Spanyol).

Krisis ekonomi yang disebut paling serius sejak The Great Depressionpada 1930-an itu memunculkan pertanyaan: mengapa negara dengan sistem ekonomi kapitalis yang tampak digdaya bisa lumpuh tak berdaya? Apakah krisis ekonomi ini menjadi penanda sejarah bahwa kapitalisme tengah memasuki periode senjakala? Periksalah kembali Karl Marx dan pemikir-pemikir progresif-radikal bermazhab Marxian, yang karya-karya kesarjanaan mereka berisi kritik atas ideologi kapitalisme berikut praktik ekonomi kapitalis, niscaya Anda akan mendapat pencerahan betapa kapitalisme mengandung kontradiksi- kontradiksi internal yang akut.

Sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme telah memikat dunia selama berbilang abad. Negara yang memeluk sosialisme seperti China sekalipun, praktik ekonominya bahkan merujuk pada kapitalisme. Namun, krisis keuangan yang justru melanda negaranegara kapitalis sendiri telah membuka mata dunia, betapa para kapitalis justru bekerja saling berbenturan. Didorong oleh ambisi besar menguasai sumber-sumber ekonomi produktif, para kapitalis cenderung mendominasi sistem produksi, menguasai alat-alat produksi,dan memonopoli aktivitas perekonomian untuk membangun masyarakat kapitalis.

Masyarakat kapitalis terdiri atas kumpulan para pemilik modal yang saling bersaing untuk melakukan ekspansi bisnis, karena digerakkan oleh hasrat mengakumulasi kapital dan melipatgandakan keuntungan. Jika bukan kapitalis A yang berinvestasi di bidang usaha tertentu,niscaya kapitalis B yang akan mengambil peluang bisnis dan investasi.Watak dasar kapitalisme adalah endless accumulation, yang tercermin pada naluri primitif untuk mengakselerasi pertumbuhan.

Hasrat mengakumulasi kapital yang tak bertepi dalam kapitalisme menjalar seperti kanker, yang terus tumbuh hanya untuk mengantarkan seseorang ke pintu kematian (lihat John McMurtry,The Cancer Stage of Capitalism, Pluto Press, 2009). Dengan watak ekspansionis dan bersandar pada hukum purba Darwinisme sosial, setiap pemilik modal cenderung berperilaku sama dalam menjalankan praktik ekonomi, melalui aneka rupa kegiatan bisnis berburu rente dalam payung oligopoli.

Praktik ekonomi yang demikian ini oleh Samir Amin, pemikir berhaluan Marxis, disebut the strategies of imperialist rent-seeking and rent-capturing by the oligopolies. Sosiolog Herbert Spencer yang mula-mula mengenalkan istilah Social Darwinism menjelaskan bahwa proses seleksi alam ditentukan oleh siapa yang lebih kuat dan punya daya adaptasi tinggi, dia bukan saja mampu bertahan hidup, melainkan juga akan terus berkembang dalam kehidupan. Sebaliknya, bagi siapa saja yang lemah dan rendah daya adaptasinya, dia akan punah dan tergilas oleh persaingan dalam kehidupan.

Hukum purba semacam ini diterapkan dengan sangat sempurna dalam praktik ekonomi kapitalis, yang secara teknis disebut accumulation by dispossession. Frase ini mengindikasikan betapa kapitalisme berkembang menjadi sistem ekonomi hegemonik di era modern melalui eksploitasi,dominasi, dan disposesi.Karena itu, para kritikus menyebut praktik ekonomi kapitalis serupa dengan praktik kekuasaan imperialis, yang mengeruk kekayaan alam dan sumber daya ekonomi di wilayah jajahan demi kemakmuran penguasa kolonial.

Sistem kapitalisme memang menggerakkan aktivitas ekonomi dengan memacu produktivitas, namun para kapitalis mengeksploitasi sumber daya ekonomi demi meraup keuntungan bahkan melampaui apa yang mereka produksi. Tak pelak,kapitalisme merupakan kekuatan destruktif yang sangat membahayakan peradaban dan kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks demikian, argumen para kritikus yang menyebut kapitalisme sebagai sumber katastrofi sosial-ekonomi menemukan dasar pijakan yang kuat.

Simaklah kritik pedas—sekali lagi—Samir Amin, penafsir Marxisme nomor wahid, berikut: “The destructive dimension of capitalism makes it impossible to believe that this system can be sustainable. Its place in the history of humanity is that of a parenthesis, one which creates the conditions for overtaking it.If this doesn’t happen, capitalism can only lead to barbarism and the end of all human civilization.” (Ending the Crisis of Capitalism or Ending Capitalism? 2011).

Dalam konteks kritik ideologi, Amin melukiskan betapa kapitalisme penuh dengan paradoks yang niscaya akan berujung pada pembusukan akibat keserakahan kolektif. Keserakahan berdaya rusak tinggilah yang mengantarkan pada krisis finansial global seperti yang terjadi saat ini. Bagi Amin, guncangan yang menerpa sistem ekonomi kapitalis dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya lebih dari sekadar krisis finansial, tapi jauh lebih mendalam lagi yakni krisis ideologi.

Krisis ideologi kapitalisme berpangkal pada kuatnya orientasi untuk menumpuk kekayaan material, meskipun harus ditempuh melalui caracara yang mengabaikan etika dan moralitas, bahkan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Maka, Amin pun secara provokatif menyarankan agar dunia tak perlu berikhtiar untuk mengakhiri krisis kapitalisme karena ia sedang bergerak menuju akhir sejarah. ●

Menunggu Kematian KPK?

Menunggu Kematian KPK?
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
Sumber : KOMPAS, 30 November 2011


Ibarat pergelaran panggung teater, dalam proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi minggu lalu, Komisi III DPR memulai babak pertama dengan adegan menegangkan.

Tak tanggung-tanggung, pilihan adegan itu: Komisi III menunda melanjutkan proses karena mereka menilai ada cacat yang dilakukan Panitia Seleksi Pimpinan KPK. Berdasarkan temuan sejumlah anggota Komisi III, Panitia Seleksi secara tak cermat telah menggunakan surat kuasa laporan harta kekayaan calon pimpinan KPK dengan formulir yang salah. Merujuk penjelasan Ketua Komisi III Benny K Harman, pokok masalah, surat kuasa untuk mengecek dan mengklarifikasi kebenaran data keuangan masih memakai formulir yang memberikan kuasa Ketua KPK periode 2003-2007.

Di tengah keterbatasan waktu melakukan uji kelayakan dan kepatutan, panggung Komisi III terasa kian menegangkan. Setidaknya, ketegangan dapat dirasakan saat sejumlah (mantan) anggota Panitia Seleksi bersama Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin hadir di Komisi III. Seperti hendak melakukan delegitimasi terhadap kerja Panitia Seleksi, komisi hukum DPR ini hanya berkenan membahas lebih lanjut apabila mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga Ketua Panitia Seleksi Patrialis Akbar hadir di Komisi III.

Dalam pertemuan yang melibatkan Patrialis Akbar, Amir Syamsuddin, dan sejumlah anggota Panitia Seleksi, diputuskan untuk melanjutkan kembali uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK. Ketegangan babak pertama berakhir begitu Panitia Seleksi melakukan klarifikasi dan mengakui telah memberikan formulir yang kedaluwarsa dalam proses seleksi. Kejadian itu membuktikan, sebetulnya yang dinantikan Komisi III adalah pengakuan bersalah dari Panitia Seleksi.

Sebuah Kesengajaan

Sebagai salah seorang anggota Panitia Seleksi, sejak nama-nama hasil seleksi disampaikan kepada presiden, saya sering mengemukakan, sangat mungkin terdapat kelemahan hasil kerja yang dilakukan Panitia Seleksi. Karena itu, sesuai kewenangan yang dimiliki, Komisi III harus mampu menutup kemungkinan kelemahan hasil kerja Panitia Seleksi. Untuk tujuan itu, UU No 30/2002 memberikan waktu tiga bulan bagi DPR memilih pimpinan KPK.

Apabila dikaitkan dengan temuan tentang formulir kedaluwarsa surat kuasa laporan harta kekayaan calon pimpinan KPK tersebut, pertanyaan mendasar yang patut dialamatkan kepada Komisi III: mengapa persoalan ini baru dikemukakan saat proses uji kelayakan dan kepatutan berlangsung? Apa saja yang dilakukan Komisi III sejak hasil Panitia Seleksi disampaikan Presiden kepada DPR 18 Agustus? Dengan batas waktu paling lama tiga bulan untuk memilih dan menetapkan calon pimpinan KPK, pertanyaan ini menjadi bukti kelalaian DPR dalam menjalankan perintah UU No 30/2002.

Seharusnya, jika serius mendapatkan pimpinan KPK yang mampu mendayung agenda pemberantasan korupsi, semua kemungkinan kekurangan Panitia Seleksi telah dikemukakan sejak awal. Selain tidak mengganggu proses uji publik di Komisi III, langkah mengungkapkan lebih awal akan memberi ruang bagi publik memberikan data lain yang mungkin baru diperoleh setelah proses di Panitia Seleksi berakhir. Dengan pengungkapan kekurangan yang dilakukan di tahap akhir, temuan baru publik jadi sulit memengaruhi uji kelayakan dan kepatutan.

Oleh karena itu, drama menegangkan yang muncul pada babak pertama uji kelayakan dan kepatutan dapat saja dimaknai sebagai sebuah kesengajaan (by design) agar publik tak memiliki waktu cukup untuk berpartisipasi mengungkap rekam jejak semua calon pimpinan KPK. Kesengajaan ini kian terasa karena sejak nama-nama diterima DPR nyaris tak ada langkah masif dan sistematis untuk menghimpun pendapat publik. Bagaimanapun, upaya melakukan pelacakan lebih jauh jadi keniscayaan untuk menutup segala kemungkinan kekurangan informasi yang berhasil dihimpun Panitia Seleksi.

Apabila diletakkan dalam upaya menelusuri rekam jejak calon pimpinan KPK, adanya formulir kedaluwarsa surat kuasa laporan harta kekayaan sulit untuk disebut sebuah temuan besar dan penting. Apalagi, jika diletakkan dalam konteks kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara sebagaimana diatur UU No 28/1999. Pasal 17 Ayat (3) UU No 28/1999 menyatakan, kewajiban melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara dilakukan sebelum, selama, dan setelah menjabat.

Menunggu Kematian

Merujuk argumentasi tersebut, soal formulir tidak menjadi masalah krusial. Yang jauh lebih mendasar: apakah jumlah harta kekayaan yang ditulis dalam formulir benar atau tidak. Dalam pengertian itu, laporan harta kekayaan yang disampaikan lebih banyak dimaksudkan untuk menilai kejujuran dalam menyampaikan jumlah harta kekayaan. Apalagi, syarat untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK dalam Pasal 29 Angka 11 UU No 30/2002 hanya menyatakan, ”mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Melihat perkembangan setelah nama-nama hasil Panitia Seleksi disampaikan Presiden ke DPR, banyak pihak yakin seleksi kali ini tak akan jauh beda dengan proses-proses sebelumnya. Yang dirasakan publik, sebagian anggota Komisi III tetap mengutamakan pertimbangan kepentingan jangka pendek dalam memilih pimpinan KPK. Salah satu pertimbangan yang potensial mengancam masa depan KPK adalah ketakutan memilih figur bersih yang memiliki keberanian menghadapi tekanan politik. Bahkan, bisa jadi anggota Komisi III yang berasal dari advokat memiliki ”perhitungan sendiri” pula dalam menentukan pilihan.

Di tengah lautan kepentingan yang mengitari anggota Komisi III, cara pikir pragmatis berpotensi ”membunuh” figur bersih dan berani. Padahal, kesalahan memilih calon pimpinan akan membuat KPK menjadi mandul dan sulit menjamah beberapa megaskandal yang upaya penyelesaiannya masih menggantung di KPK. Karena itu, di tengah tarik-menarik lautan kepentingan yang ada, anggota Komisi III yang masih menginginkan KPK menjadi lembaga extraordinary dalam desain pemberantasan korupsi harus melakukan perlawanan terbuka.

Salah satu cara paling mungkin diupayakan, dengan melakukan debat terbuka di dalam Komisi III sebelum menentukan pilihan. Debat itu diperlukan untuk mengetahui pandangan mereka atas semua calon. Setidaknya, dengan debat terbuka itu, dapat dilacak kecenderungan anggota Komisi III. Apabila itu dilakukan, pilihan subyektif demi kepentingan jangka pendek kemungkinan dapat diminimalisasi. Yakinlah, sekiranya tak ada terobosan cerdas untuk memangkas kepentingan politik yang ada, kita sebetulnya sedang menunggu kematian KPK. Kini, di hadapan kita, proses uji kelayakan dan kepatutan sedang menyediakan keranda mayat untuk KPK. ●

Asia Tenggara Pasca-perluasan?

Asia Tenggara Pasca-perluasan?
Pamungkas Ayudhaning Dewanto, PENELITI DI CENTER FOR EAST ASIAN COOPERATION STUDIES, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 30 November 2011


Konferensi Tingkat Tinggi Ke-19 ASEAN usai dilaksanakan di Bali, pertengahan November. Beberapa hal penting yang dihasilkan adalah disepakatinya komitmen mewujudkan Bali Concord III memperkuat tiga pilar utama ASEAN.

Meski demikian, ASEAN kini tidak sendiri. Keterlibatan para aktor luar kawasan menambah polarisasi kepentingan. Sedikitnya ada tiga kondisi yang mengindikasikan perubahan konstelasi ekonomi politik di Asia Tenggara dalam pertemuan ini.

Pertama, kesepakatan Amerika Serikat-Australia membangun pangkalan militer di Darwin, Australia. Pendirian pangkalan Marinir AS ini menunjukkan ancaman dipersepsikan datang dari utara Australia, kemungkinan China atau Asia Tenggara.

Kebijakan itu menjadi dilema bagi ASEAN yang anggotanya bersengketa di Laut China Selatan. AS masuk untuk mendukung Filipina mempertahankan klaim kedaulatan di kawasan itu. AS juga berpeluang terlibat dalam pengamanan di wilayah vital lain, seperti Selat Malaka, Selat Lombok, dan Selat Sunda. Maka, Asia Tenggara diprediksi menjadi wilayah ”Perang Dingin” jilid II (proxy war) bagi AS dan China.

Kedua adalah jatuhnya perekonomian Eropa yang berdampak negatif terhadap kohesivitas Uni Eropa. Maka, kepercayaan terhadap pasar Eropa yang selama ini menyerap produk-produk dari negara maju lainnya turun. Dampaknya adalah negara produsen mengalihkan pasar dari Eropa ke Asia. Menjamurlah kepentingan memperkuat daya beli dan produksi untuk Asia.

Ketiga, Asia diharapkan mampu menjadi kawasan penyangga (buffer zone) terhadap penyebaran krisis Eropa. Bukan hanya IMF yang belum lama ini meminta bantuan Asia berinvestasi dalam Fasilitas Stabilisasi Finansial Eropa (EFSF) untuk menambah dana talangan krisis, melainkan juga para pemimpin perusahaan yang dalam KTT APEC lalu menyimpulkan perlunya upaya struktural mendorong pertumbuhan di Asia.

Membatasi Keanggotaan

Negara anggota ASEAN harus waspada meningkatkan kualitas integrasi (deepening integration), di mana aspek penyerahan sebagian kedaulatan menjadi konsekuensi anggota. Sebagai contoh, menyepakati visa tunggal ASEAN, pengurangan pungutan pajak (bahasa perdagangan internasional disebut ”hambatan”), serta peningkatan komitmen investasi dan keuangan demi kepentingan kawasan.

Risiko terpahit adalah yang dirasakan Uni Eropa saat ini. Tumbangnya para pemimpin di Uni Eropa merupakan akibat dilema kebijakan nasional yang bertentangan dengan keputusan regional. Bisa dikatakan ini adalah ”efek samping” regionalisme.

Sebelumnya, Grieco dan Ikenberry (2003: 291) menegaskan, institusionalisme (termasuk regionalisme) dapat memaksa kekuatan nasional dalam keanggotaan institusi untuk tunduk ke dalam peraturan yang digagas negara anggota yang lebih kuat.

Dalam hal ini, memasukkan terlalu banyak negara ke dalam keanggotaan KTT Asia Timur merupakan suatu gagasan yang kurang strategis. KTT Asia Timur memiliki spirit membangun kerja sama eksklusif alternatif terhadap institusi global yang ada. ASEAN sebagai fasilitator tetap KTT Asia Timur harus tetap menjunjung tinggi spirit ini agar proses integrasi berjalan fokus.

Aktor lain seperti AS, misalnya, di tengah goyahnya aliansi trans-Atlantik karena krisis Eropa, mengampanyekan Kemitraan Lintas Pasifik (Trans-Pacific Partnership) demi liberalisasi perdagangan kawasan. Pengalaman krisis Asia 1998 dan krisis Jepang 1990 menunjukkan bahwa keterlibatan AS justru memperlambat proses pemulihan karena banyaknya persyaratan untuk diterapkan.

Efektivitas Program

ASEAN dan Asia Timur telah memiliki banyak infrastruktur ekonomi yang menunjang. Penambahan berbagai infrastruktur baru justru akan mendistorsi tujuan bersama negara anggota.

Usulan membentuk ASEAN Supreme Audit Institution (SAI), semacam lembaga audit tertinggi untuk mengantisipasi penyimpangan keuangan tingkat regional, menjadi sangat ironis ketika pemberantasan korupsi di tingkat nasional masih karut-marut.

Ke depan, perlu didorong penguatan komunitas lokal untuk mengimbangi kesepakatan pasar terbuka. Oleh karena itu, ASEAN harus beranjak pada kerja sama penciptaan insentif untuk membangun perekonomian lokal, khususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang menyelamatkan Asia Tenggara dari krisis global 2008. Paradigma menghilangkan ”hambatan” perdagangan harus diikuti penciptaan insentif untuk sektor ekonomi alternatif yang menopang stabilitas kawasan.

Penguatan mekanisme cadangan devisa bersama melalui Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) merupakan contoh penting dalam melokalisasi krisis dengan komitmen regional. Mekanisme ini juga meningkatkan kepercayaan diri pasar (market confidence) dengan keamanan berbisnis yang lebih terjamin. CMIM mungkin dapat ditingkatkan agar menyediakan fasilitas kredit untuk UMKM. Bank sentral dan kementerian keuangan negara anggota juga perlu rutin bertemu untuk antisipasi krisis.

ASEAN memiliki peran sentral dalam percaturan ekonomi-politik dunia ke depan. Jika komitmen integrasi dipegang teguh, ASEAN harus membumi dengan terobosan penting (cross- cutting issues), bukan distorsi memperluas keanggotaan dalam KTT Asia Timur.●

Duban dan Peta Jalan Bali


Duban dan Peta Jalan Bali

Makarim Wibisono, DIREKTUR EKSEKUTIF ASEAN FOUNDATION
Sumber : KOMPAS, 30 November 2011


Delegasi dalam konferensi perubahan iklim di Bali 2007 akan berkumpul kembali di Durban, Afrika Selatan, 28 November-9 Desember 2011. Dalam pertemuan negara pihak yang ke-17 ini, banyak masalah perubahan iklim akan dibahas dan diputuskan.

Pertemuan para pihak (COP) itu lengkapnya terkait dalam Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Di antaranya ada Tim Transisi yang ditugaskan Pertemuan Cancun untuk merancang operasionalisasi Dana Iklim Hijau (the Green Climate Fund), yang akan melaporkan hasil kerja.

Negara-negara Afrika akan mendorong agar Komite Adaptasi segera beroperasi menjalankan tugas. Bencana alam sebagai akibat dari perubahan iklim telah melanda Afrika, Asia, dan belahan bumi lainnya sehingga gerakan kolektif mengatasi masalah adaptasi sangat diperlukan. Negara-negara berkembang juga mendambakan lahirnya Pusat Teknologi Perubahan Iklim dan jaringannya seperti telah disepakati bersama.

Akses pada teknologi adaptasi dan mitigasi berikut mengenai hak akan kekayaan intelektualnya menjadi penting bagi negara berkembang dalam pelaksanaan UNFCCC. Sejumlah masalah peka seperti langkah-langkah perdagangan unilateral dan akses yang sama pada pembangunan berkelanjutan juga dibahas.

Isu yang menarik adalah bagaimana Durban memutuskan kelanjutan dari komitmen negara maju (Annex 1) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan seperti tertuang dalam Protokol Kyoto. Panel Internasional Perubahan Iklim (IPCC) telah menyampaikan laporan bahwa jika gaya hidup manusia tidak berubah dan emisi dunia tidak ditekan signifikan, panas bumi akan bertambah dua derajat celsius tahun 2050. Ini akan menimbulkan bencana dahsyat, seperti mencairnya gletser dan meningkatnya permukaan air laut.

Mengingat komitmen negara-negara maju yang termasuk Annex 1 jatuh tempo tahun 2012, masyarakat menunggu kesepakatan baru di Durban dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca.

Peta Jalan Bali

Peta Jalan Bali memiliki dua komponen berbeda. Pertama adalah disepakatinya Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) yang meluncurkan proses negosiasi di bawah UNFCCC. Ini untuk mencapai kerja sama jangka panjang dalam rangka melaksanakan kesepakatan secara efektif, utuh, dan berkelanjutan.

Dalam proses ini AS yang bukan merupakan negara pihak Protokol Kyoto ikut serta dalam negosiasi. Kedua, mandat hukum yang terpisah untuk meluncurkan negosiasi di bawah Protokol Kyoto guna mencapai kesepakatan komitmen kedua dari negara-negara maju untuk mengurangi emisi GRK jika komitmen pertama Protokol Kyoto jatuh tempo 2012.

Perundingan dalam kerangka Protokol Kyoto seharusnya sudah tuntas pada 2009 sehingga cukup waktu untuk proses hukum selanjutnya seperti ratifikasi. Akan tetapi, negara maju menentang memberikan komitmen kedua karena dianggap sebagai komitmen unconditional.

Menurut kelompok negara maju, negara berkembang seperti China, India, Brasil, dan Afrika Selatan juga termasuk major emitters (penghasil emisi karbon utama). Maka negara maju menginginkan beban pengurangan emisi gas rumah kaca tak hanya dipikul negara dalam Annex 1, tetapi juga oleh pencemar besar lain. Malah Jepang dan Australia mengusulkan segera diluncurkan perundingan untuk merumuskan instrumen baru yang mengikat secara hukum (legally binding instrument). Dengan demikian, ada rezim hukum baru yang juga mengikat China, India, Brasil, dan Afrika Selatan selain negara Annex 1.

Posisi Negara Berkembang

Kelompok 77 yang merupakan kelompok perunding negara berkembang bereaksi keras terhadap posisi negara maju. Empat hal dikemukakan sebagai dasar argumentasi.

Pertama, kesanggupan negara maju untuk mengurangi emisi GRK ternyata jauh di bawah target, tidak sesuai dengan kajian iptek dan dengan level tanggung jawab sebagai pencemar besar pendahulu.

Kedua, ada upaya menggoyahkan sistem dari kesepakatan terdahulu yang merupakan hasil perundingan lama. Seakan suatu proses negosiasi baru dalam mengubah aturan main yang ada.

Ketiga, tidak menghormati prinsip yang telah disepakati mengenai Prinsip Tanggung Jawab Bersama tapi Beda (equity and common but differentiated responsibility).

Keempat, negara-negara maju dianggap sering memberikan janji kosong untuk membantu negara berkembang mengenai keuangan, teknologi, serta pengembangan kapasitas dan adaptasi. Di Kopenhagen, beberapa negara maju berjanji memberikan dana segar sekitar 30 miliar dollar AS untuk periode 2009-2012. Janji yang lain adalah memberikan dana tambahan 100 miliar dollar AS setiap tahun setelah 2020. Ternyata, jumlahnya tidak seperti harapan dan kebanyakan adalah dana dari komitmen lama.

China dan India berargumen bahwa di negara mereka perbandingan emisi GRK dengan jumlah penduduknya sangat rendah dibandingkan dengan negara maju. Maka mereka menganggap tidak adil jika negara berkembang mendapat beban yang sama. Karena tanggung jawab historis, negara-negara maju juga memiliki emisi per kapita tinggi dibandingkan dengan emisi per kapita negara berkembang.

Menghadapi perbedaan sikap ini, pandangan masyarakat internasional berpaling ke Indonesia. Mereka menganggap Indonesia mewakili kedua belah argumen yang berseteru. Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan sehingga sangat peka terhadap perubahan permukaan air laut. Kedua, Indonesia adalah negara berkembang yang berpacu membangun negeri.

Dalam konteks ini, Indonesia mengikuti pandangan Ki Hadjar Dewantoro yang menganjurkan ”Ing Ngarso Sung Tulodo”. Di tengah tiadanya kesepakatan global, Indonesia bersedia secara sukarela mengurangi emisi GRK sebesar 26 persen atas kekuatan sendiri dan 41 persen dengan bantuan asing. Namun, inisiatif ini belum memecahkan kebuntuan perundingan. Akibatnya, Indonesia hanya memberikan prioritas pada aspek spesifik yang memiliki dampak langsung nasional.

Sebagai negara kepulauan terbesar, negara berpenduduk terbesar keempat, negara demokrasi terbesar ketiga, dan sebagai anggota G-20, Indonesia sebaiknya jangan terfokus pada masalah Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dan komitmen bilateral dengan Norwegia saja. Indonesia perlu ikut aktif mendorong agar Peta Jalan Bali menjadi kenyataan.

Indonesia perlu berusaha agar kemajuan tidak hanya terjadi di Kelompok Kerja Ad Hoc (AWG) terhadap Kesepakatan Komitmen Jangka Panjang, tetapi juga di AWG Protokol Kyoto. Masalah perubahan iklim tak dapat ditangani sendiri, tetapi sebaiknya dilakukan kolektif. ●