Rp. 125 Miliar demi Citra Megah
Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN TINGGAL DI YOGYAKARTA
Sumber : KOMPAS, 19 November 2011
Tidak
jadi soal rakyat masih hidup susah, yang penting pemerintah bisa menunjukkan
kehormatan bangsa dengan citra megah.
Monolog
kecil itu sulit dibungkam ketika kita menyaksikan upacara pembukaan SEA Games
XXVI/2001 di Palembang (11 November 2011) yang menelan biaya sekitar Rp 125
miliar.
Kompas
(13/11) mencatat, peristiwa itu merupakan upacara termegah sepanjang sejarah
pesta olahraga Asia Tenggara. Catatan ini jujur dan obyektif. Upacara itu
memang spektakuler: perpaduan seni, ide, dan teknologi. Pencapaian itu berhasil
menghadirkan peristiwa dramatik tentang keagungan bangsa Nusantara, tempat
Kerajaan Sriwijaya memberi sumbangan yang signifikan bagi peradaban bangsa.
Jika
kita mengingat pidato Soekarno pada tahun 1961 tentang ”jasmerah” (jangan
sekali-sekali meninggalkan sejarah), maka upacara pembukaan itu terasa
”relevan”. Ada upaya membangun kembali memori kolektif bangsa atas asal-usul
kebangsaan dan berbagai pencapaian peradabannya.
Terasa
Hambar
Namun,
peneguhan atas kebesaran bangsa melalui SEA Games itu mungkin saja terasa
hambar. Ini terjadi ketika kita menghadapkannya dengan perasaan kita tentang
kehidupan bangsa yang semakin terfragmentasi dan terdegradasi oleh
kepentingan-kepentingan domestik dan pragmatis kelompok elite politik-ekonomi.
Perasaan
kebangsaan merupakan puncak penghayatan atas pelbagai pengalaman membangsa dan
menegara. Dalam konteks kekinian, perasaan kebangsaan itu terasa hampa ketika
kita menjumpai pelbagai perubahan makna dan nilai atas realitas.
Sebut
saja negara yang tak lagi sepenuhnya menjadi lembaga besar politik, sosial,
ekonomi, dan budaya yang secara nyata memikul kewajiban konstitusional:
menyejahterakan, melindungi, dan mencerdaskan rakyat. Negara telah mengalami
detotalisasi dan degradasi dalam peran dan fungsinya secara konstitusional.
Negara pun akhirnya bermetamorfosis menjadi ruang pergumulan kepentingan
kelompok elite politik dan ekonomi yang tunduk kepada hegemoni pasar.
Negara
kesejahteraan yang dicita-citakan itu akhirnya tak lebih dari surga yang tak
pernah datang. Negara menjelma menjadi ruang besar yang dikapling menjadi
kamar-kamar kepentingan yang dikelola dengan sistem rente oleh kelompok elite
politik dan ekonomi. Dan, di salah satu kamar yang sempit dan pengap itu,
ratusan juta rakyat hidup megap-megap alias susah bernapas. Lebih celaka lagi,
rakyat pun harus menyewa kamar itu dengan membayar pelbagai kewajiban pajak.
Dari
celah-celah ruang pengap itu, ratusan juta rakyat melihat kelompok elite
membagi hasil keuntungan dari eksploitasi mereka atas negara. Uang yang
bergumpal-gumpal begitu mudah mereka dapatkan di tengah kesusahan rakyat
mengumpulkan serupiah demi serupiah. Rakyat yang menggigit kegetiran pun harus
menyaksikan pesta kelompok elite yang digelar sepanjang waktu. Sendok, garpu,
dan piring berdenting-denting jadi musik horor bagi rakyat yang hanya bisa
punya cita-cita untuk (sekadar) kenyang!
Oksigen
Harapan
Rakyat
percaya, masih ada presiden, menteri-menteri, polisi, militer, hakim, jaksa,
wakil rakyat, dan ketua-ketua partai politik. Namun, rakyat sulit mendapatkan
makna kepemimpinan politik yang berpotensi mengubah negara ini dari negara
”kartel” yang pengap jadi habitat rakyat yang penuh oksigen harapan. Rakyat
paham, kini telah terjadi perubahan makna dan peran: pejabat negara bukan lagi
penyelenggara negara (negarawan), abdi konstitusi, melainkan sekadar profesi
biasa yang cenderung mengabdi pada karier dan pundi-pundi.
Pemahaman
itu tak dibangun dengan kecanggihan teoretik ala pakar politik, tetapi
penghayatan hidup atas ketahanan (sosial, ekonomi, politik, budaya) yang
menekan dan menyiksa.
Dalam
ketahanan yang buram itu sulit bagi rakyat untuk memiliki kesamaan perasaan
dengan para petinggi di republik ini atas kebangsaan. Termasuk kesamaan di
dalam penghayatan atas kebesaran bangsa yang divisualisasi dan dinarasikan
secara sangat canggih melalui upacara pembukaan SEA Games XXVI di Palembang,
Sumatera Selatan, itu.
Ketika
negara semakin soliter dan kehilangan élan solidaritas terhadap rakyat, maka
rakyat akan membangun dunia maknanya sendiri atas realitas yang dikonstruksi
negara. Penderitaan akan menyuburkan sikap kritis dan keberanian untuk
bersikap. Dalam konteks ini, rakyat adalah ”filsuf-filsuf” jalanan yang piawai
memaknai kenyataan: pelbagai bentuk pencitraan tanpa kejujuran tidak lebih dari
sirkus kebohongan yang menyakiti hati rakyat.
Dalam
relasi penyelenggara negara dengan rakyat yang tidak tulus, apa pun makna yang
coba dibangun negara hanya akan menghasilkan kehampaan. Di sini, hukum
kekuasaan—sirkus dan roti—tidak berlaku. Rakyat tidak membutuhkan sirkus dalam
kelangkaan roti.
Kita
pun menjadi paham kenapa kemenangan tim nasional sepak bola dalam SEA Games
XXVI tidak terlalu dielu-elukan rakyat. Rakyat pun tidak menangis ketika timnas
senior tamat peluangnya di babak kualifikasi Piala Dunia 2014. Hati rakyat
hampa, itulah soalnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar