Senin, 21 November 2011

Hedonisme


Hedonisme

Putu Setia, REDAKTUR SENIOR KORAN TEMPO
Sumber : TEMPO INTERAKTIF, 20 November 2011


Apa yang salah dengan sikap hidup hedonisme? Mereka yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dalam hidup sah-sah saja ada di bumi ini. Tak ada orang yang semestinya iri, karena nasib sudah ditentukan oleh "garis tangan". Siapa yang menciptakan "garis tangan" itu? Bertanyalah kepada anak-anak. 

Jawabannya: Dia, yang juga membuat pelangi, "pelangi-pelangi ciptaan Tuhan".
Kaum hedonis hanya perlu disalahkan jika, dalam mengejar kenikmatan materi itu, merampas kenikmatan orang lain. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sah saja memakai Bentley, Hummer, apalagi Toyota Alphard, yang katanya tak mewah, sepanjang dia membelinya dengan hasil jerih payahnya yang halal. Bukan dengan menjadi makelar anggaran, atau menyetujui pasal sebuah undang-undang dengan imbalan uang. "Saya dari dulu sudah kaya, saya kan lawyer, saya kan pengusaha," begitu mereka membela. Bahwa ketika menjadi pengusaha dia pernah merampas hak karyawan dengan tidak memberi upah berbulan-bulan, dan ketika menjadi pengacara dia membela koruptor dengan membagi-bagikan uang sogokan kepada hakim dan jaksa, itu urusan masa lalu. "Jangan ungkit masa lalu, dong...," begitu pula mereka membela diri.

Saya punya cerita tentang kaum hedonis, apakah ini salah atau tidak, terserah yang membacanya. Malapetaka terjadi, tanah longsor melanda petani ketika mengerjakan saluran irigasi, sejumlah orang menjadi korban, lalu sejumlah orang--anak-anak dan para istri--telantar kekurangan makanan. Wakil rakyat terketuk hatinya. Mereka kumpul di sebuah rumah makan di hotel untuk memperbincangkan bagaimana mencari dana untuk menolong korban kelaparan itu. Berbagai jurus disebutkan: alihkan anggaran ini dan itu, hentikan proyek ini dulu, dananya bawa ke situ. Belum ada kesepakatan. Esoknya rapat diulang di tempat yang sama, dengan jumlah anggota lebih banyak. Butuh waktu panjang--dan makanan terus bertambah--untuk menolong rakyat yang menderita itu.

Akhirnya diperoleh anggaran, mereka menyumbang empat karung beras, ditambah ikan teri, garam, mi instan, dan sebagainya. Disepakati pula, ketika menyerahkan sumbangan, diliput oleh stasiun televisi--"Kalau tidak diliput, rakyat kan tak tahu?" Kru TV meminta uang transpor Rp 300 ribu, itu tak jadi masalah dan tak perlu rapat. Saya menghitung nilai sumbangan tak lebih dari Rp 200 ribu. Kalau saja mereka tak perlu rapat di hotel dan tak perlu liputan televisi, lalu biaya itu dimasukkan sebagai sumbangan, nilainya bisa Rp 1 juta. Sumbangan pun bisa lebih cepat. Ini keterlaluan, kepekaan mereka terhadap penderitaan sudah tumpul, bahkan dijadikan bahan pamer. "Bedebah, taik kucing, bangxxt?," saya memaki dalam hati--ini kejadian sekitar tiga tahun lalu, ketika saya belum dilarang mengumpat.

Apakah wakil rakyat yang hidup hedonistis itu bersalah? "Lo, saya kan sudah menyumbang," pasti jawabannya begitu kalau ada yang bertanya. Namun orang malas bertanya. Perilaku seperti itu sudah menjadi hal biasa, bahkan sampai sekarang ini. Lihat saja, begitu ada bencana, apakah angin puting beliung atau banjir, bendera partai berkibar di sana dan judul berita di koran berbunyi: "Fraksi XXX Telah Menyumbang Sepuluh Kardus Mi Instan". Nilai sumbangan lebih rendah daripada 4 liter oli untuk mobil Hummer.

Tragisnya, negeri ini akan masih lama memiliki wakil rakyat dan pejabat yang hedonistis. Sebab, hanya merekalah yang punya uang untuk menomboki pemimpin partai agar bisa dicalonkan, lalu hanya mereka yang punya uang untuk dibagikan kepada rakyat saat pencoblosan. Revolusi moral--mungkin hanya itu kalau berani--yang bisa menyelamatkan negeri ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar