Hedonisme
Putu Setia, REDAKTUR SENIOR KORAN TEMPO
Sumber : TEMPO INTERAKTIF, 20 November 2011
Apa
yang salah dengan sikap hidup hedonisme? Mereka yang menganggap bahwa
kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dalam hidup sah-sah saja
ada di bumi ini. Tak ada orang yang semestinya iri, karena nasib sudah
ditentukan oleh "garis tangan". Siapa yang menciptakan "garis
tangan" itu? Bertanyalah kepada anak-anak.
Jawabannya: Dia, yang juga
membuat pelangi, "pelangi-pelangi ciptaan Tuhan".
Kaum
hedonis hanya perlu disalahkan jika, dalam mengejar kenikmatan materi itu,
merampas kenikmatan orang lain. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sah saja
memakai Bentley, Hummer, apalagi Toyota Alphard, yang katanya tak mewah,
sepanjang dia membelinya dengan hasil jerih payahnya yang halal. Bukan dengan
menjadi makelar anggaran, atau menyetujui pasal sebuah undang-undang dengan
imbalan uang. "Saya dari dulu sudah kaya, saya kan lawyer, saya kan
pengusaha," begitu mereka membela. Bahwa ketika menjadi pengusaha dia
pernah merampas hak karyawan dengan tidak memberi upah berbulan-bulan, dan
ketika menjadi pengacara dia membela koruptor dengan membagi-bagikan uang
sogokan kepada hakim dan jaksa, itu urusan masa lalu. "Jangan ungkit masa
lalu, dong...," begitu pula mereka membela diri.
Saya
punya cerita tentang kaum hedonis, apakah ini salah atau tidak, terserah yang
membacanya. Malapetaka terjadi, tanah longsor melanda petani ketika mengerjakan
saluran irigasi, sejumlah orang menjadi korban, lalu sejumlah orang--anak-anak
dan para istri--telantar kekurangan makanan. Wakil rakyat terketuk hatinya.
Mereka kumpul di sebuah rumah makan di hotel untuk memperbincangkan bagaimana
mencari dana untuk menolong korban kelaparan itu. Berbagai jurus disebutkan:
alihkan anggaran ini dan itu, hentikan proyek ini dulu, dananya bawa ke situ.
Belum ada kesepakatan. Esoknya rapat diulang di tempat yang sama, dengan jumlah
anggota lebih banyak. Butuh waktu panjang--dan makanan terus bertambah--untuk
menolong rakyat yang menderita itu.
Akhirnya
diperoleh anggaran, mereka menyumbang empat karung beras, ditambah ikan teri,
garam, mi instan, dan sebagainya. Disepakati pula, ketika menyerahkan
sumbangan, diliput oleh stasiun televisi--"Kalau tidak diliput, rakyat kan
tak tahu?" Kru TV meminta uang transpor Rp 300 ribu, itu tak jadi masalah
dan tak perlu rapat. Saya menghitung nilai sumbangan tak lebih dari Rp 200
ribu. Kalau saja mereka tak perlu rapat di hotel dan tak perlu liputan
televisi, lalu biaya itu dimasukkan sebagai sumbangan, nilainya bisa Rp 1 juta.
Sumbangan pun bisa lebih cepat. Ini keterlaluan, kepekaan mereka terhadap
penderitaan sudah tumpul, bahkan dijadikan bahan pamer. "Bedebah, taik
kucing, bangxxt?," saya memaki dalam hati--ini kejadian sekitar
tiga tahun lalu, ketika saya belum dilarang mengumpat.
Apakah
wakil rakyat yang hidup hedonistis itu bersalah? "Lo, saya kan sudah
menyumbang," pasti jawabannya begitu kalau ada yang bertanya. Namun orang
malas bertanya. Perilaku seperti itu sudah menjadi hal biasa, bahkan sampai
sekarang ini. Lihat saja, begitu ada bencana, apakah angin puting beliung atau
banjir, bendera partai berkibar di sana dan judul berita di koran berbunyi:
"Fraksi XXX Telah Menyumbang Sepuluh Kardus Mi Instan". Nilai
sumbangan lebih rendah daripada 4 liter oli untuk mobil Hummer.
Tragisnya,
negeri ini akan masih lama memiliki wakil rakyat dan pejabat yang hedonistis.
Sebab, hanya merekalah yang punya uang untuk menomboki pemimpin partai agar
bisa dicalonkan, lalu hanya mereka yang punya uang untuk dibagikan kepada
rakyat saat pencoblosan. Revolusi moral--mungkin hanya itu kalau berani--yang
bisa menyelamatkan negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar