Pendidikan (Tuna) Kebudayaan
Achmad Fauzi,
AKTIVIS
MULTIKULTURALISME, ALUMNUS UIN YOGYAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 21 November 2011
Proses restrukturisasi Kementerian Kebudayaan ke dalam Kementerian
Pendidikan setelah terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu II melewati
pertimbangan yang logis dan kontekstual.Kebudayaan bukanlah artefak mati yang terpajang
mentereng di museum. Kebudayaan adalah hakikat hidup manusia dalam bersosial
dan membutuhkan kanal pendidikan sebagai instrumen konservasi, pengembangan,
dan diplomasi kultural. Kehadiran sentuhan kebudayaan dalam pendidikan adalah
penting agar sekolah tak hanya unggul secara akademik, tapi juga berbudaya.
Ki Hajar Dewantara meletakkan pendidikan sebagai usaha pewarisan
kebatinan yang ada dalam kebudayaan kepada generasi penerus. Bukan sekadar
pemeliharaan, tapi juga mengembangkan dan memajukan kebudayaan menuju keluhuran
hidup kemanusiaan.
Bullying
Kekerasan (bullying) antar pelajar maupun kekerasan guru
terhadap murid belakangan ini membuat kredibilitas lembaga pendidikan
dipertanyakan. Di dalam sekolah, yang berfungsi sebagai peretas bagi kaum
terdidik dan terpelajar, justru tersimpan dendam kesumat dan benih
kekerasan.Tawuran pelajar antarsekolah maupun konflik senioritas
berbentuk perpeloncoan ibarat induk ayam yang mengerami telur
busuknya. Lembaga pendidikan tidak mampu menetaskan individu baru karena siswa
terjerembab dalam kubangan aksi-aksi brutal yang tunabudaya.
Banyak faktor yang memicu kekerasan di sekolah, di antaranya
pengabadian dikotomi senior-junior, pengaruh pubertas, dampak broken home,
bahkan pola pendidikan yang keliru. Istilah bullying berbeda dengan occasional
conflict, yang merupakan pertengkaran biasa dan umum terjadi pada
anak-anak. Bullying merujuk kepada tindakan yang bertujuan menyakiti
fisik dan mental orang lain dan dilakukan secara berulang-ulang atas dasar
sentimen tertentu. Inilah yang terjadi di salah satu sekolah di Jakarta. Siswa
senior laksana dewa maut yang leluasa mengancam, menampar, bahkan melukai adik
kelasnya yang mbalelo dari perintah konyolnya.
Wajar jika sejumlah orang tua siswa mengadukan kegelisahan mereka
kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak. Aduan itu dalam rangka memutus mata rantai
kekerasan antar-pelajar, khususnya di sekolah tersebut di mana dalam kurun tiga
bulan telah terjadi 20 kali tawuran.
Kekerasan di sekolah merupakan fenomena absennya nilai kebudayaan
dalam unsur pendidikan. Sekolah tak lagi mencerahkan, melainkan justru membawa pengalaman
traumatis bagi siswa yang menjadi korban kekerasan. Pasal 2 Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional tegas mengatakan bahwa pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
Karena itu, di tengah kondisi bangsa yang luka tercabik oleh berbagai
aksi kekerasan, elaborasi pendidikan dan kebudayaan berperan penting mencetak manusia
terdidik dan beradab, menghargai kepelbagaian dan anti-kekerasan.
Munculnya kekerasan di sekolah bukan sekadar ironi yang muncul
secara tiba-tiba. Kekerasan adalah tempaan praktek pendidikan yang keliru, yang
hanya menekankan aspek pengajaran ilmu dan keahlian.Kurikulum sebagai anteseden
utama pendidikan dirancang semata-mata untuk menyekolahkan otak, bukan nurani.
Sehingga banyak keluaran pendidikan yang pandai berdebat, pintar berkilah, tapi
miskin daya sensitivitas.
Kurikulum yang bersifat absolut, pedagogi yang berbentuk alih
pengetahuan, dan sistem evaluasi yang bersifat reproduksi pengetahuan yang
telah diajarkan menghasilkan lulusan yang hanya berpikir homogen dan
hitam-putih.Yang merasa
benar menunjukkan superioritasnya terhadap yang dianggap
salah/sesat melalui cara-cara intoleran.
Tugas utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah melakukan
transformasi pembaruan pendidikan agar bangsa Indonesia terbebas dari belenggu
kekerasan. Pembaruan itu pertama-tama dimulai dari desain
kurikulum yang berorientasi pada pembangunan karakter, linear dengan budaya
khas Indonesia. Meski hasil tinjauan 155 laporan penelitian yang mempelajari
pengaruh kurikulum baru terhadap hasil belajar menghasilkan efek 16 persen
dibanding kurikulum sebelum diperbarui (Sutrisno, 1990), upaya internalisasi
nilai-nilai pendidikan karakter memiliki prospek terang karena memandang
belajar sebagai proses perubahan kepribadian dan tingkah laku. Proses pendidikan ini mewariskan nilai keagamaan,
kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada tiap generasi sehingga mereka siap
menyongsong masa depan yang lebih kompleks.
Humaniora
Pilar penting pendidikan karakter bertumpu pada ilmu humaniora.
Pendidikan humaniora berorientasi pada pembinaan sikap, perilaku, dan rohani
yang di dalamnya terkandung unsur inklusivisme, kasih sayang, tepo seliro,
toleransi, dan semangat menghargai. Pendidikan humaniora pada sekolah majemuk
meniscayakan interaksi pergaulan yang melampaui kelompok partikularnya. Siswa yang
cenderung memilih partner interaksi yang sekelas, seagama, dan sesekolah dibiasakan
bergaul dan memperlakukan siapa saja secara setara. Supaya hal itu berjalan
efektif, semua guru harus siap menjadi penghayat nilai dengan memberikan teladan
yang baik bagi anak didiknya. Banyak kasus murid “kencing berlari” karena
perilaku guru yang memberikan
teladan “kencing berdiri”.
Implementasi pendidikan humaniora bukan sekadar hafalan
kaidah-kaidah atau teori, tapi juga merelevansikan nilai-nilai normatif yang
abstrak dengan kondisi sosial, sehingga peserta didik mampu menerjemahkan diri
dalam kehidupan masyarakat yang kompleks secara fleksibel tanpa ada ketegangan.
Siswa dari berbagai kelompok, suku, budaya, agama, dan kelas sosial dilatih
membaur. Unsur-unsur perekat yang menyatukan batin mereka menjadi katarsis
dalam mempelajari prinsip-prinsip hidup bersama di sekolah maupun masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar