Sabtu, 19 November 2011

Sindrom Australia


Sindrom Australia

James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 19 November 2011


Situasi di sekitar KTT ASEAN ini menarik untuk diamati, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Sebelum hadir di KTT Ke-19 ASEAN yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton berkunjung ke Filipina. Sementara Presiden Amerika Serikat Barack Obama singgah di Australia.

Di Filipina, di atas kapal perang USS Fitzgerald, Clinton berjanji akan mendukung Filipina secara militer. Dalam kunjungan ke bekas negara jajahannya itu, Clinton juga menandatangani sebuah deklarasi untuk menandai 60 tahun perjanjian keamanan antara Amerika Serikat dan Filipina.

Janji Clinton ini menjadi menarik karena Filipina dan beberapa negara anggota ASEAN lain tengah bersoal dengan China di Laut China Selatan. Menghadapi China yang raksasa, Filipina merasa perlu untuk mendapatkan dukungan Amerika Serikat, negara raksasa lain.
Dengan jumlah penduduk sebesar 1,35 miliar orang, China memang merupakan negara raksasa apabila dibandingkan dengan Filipina yang penduduknya hanya 93,6 juta orang.

Alasan Filipina meminta perlindungan Amerika Serikat mungkin bisa dipahami mengingat ketegangan di Laut China Selatan, akhir-akhir ini, memang meningkat. Laut China Selatan menjadi perairan tumpang tindih klaim wilayah banyak negara, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei, dan China.

Di Australia, Presiden Obama mengumumkan kesepakatan keamanan baru dengan Australia, yang dianggap banyak kalangan sebagai tanggapan atas perilaku China yang akhir-akhir ini semakin agresif.

Lewat perjanjian keamanan baru itu, Amerika Serikat akan memperbesar kehadiran militernya di Australia. Sekitar 250 personel marinir Amerika Serikat akan memulai rotasi di Australia utara, tahun depan, hingga total personel militer di wilayah itu nantinya mencapai 2.500 orang.

Bagi Amerika Serikat, kawasan Asia Tenggara, yang merupakan bagian dari Asia Pasifik, kawasan yang lebih luas, sangat penting. Lebih dari 80 persen ekspor dan impor Amerika Serikat diangkut melalui kawasan ini. Itu sebabnya, Amerika Serikat menjaga kawasan ini dengan mengoperasikan Armada VII Amerika Serikat yang bermarkas di Yokohama, Jepang, dan rentang garis operasinya dari Diego Garcia (Lautan Hindia) hingga Guam (Lautan Pasifik).

Pada masa Perang Dingin lalu antara Barat dan Timur, Amerika Serikat memiliki pangkalan militer di Thailand dan Filipina, yang kemudian ditutup seiring dengan pudarnya Perang Dingin dan runtuhnya komunisme. Pada saat ini, Armada VII menggunakan fasilitas pelabuhan di Singapura untuk kepentingan logistik dan pertukaran personel. Secara terbatas, militer Amerika Serikat juga hadir di Australia.

Lalu, pertanyaannya, mengapa Australia memerlukan Amerika Serikat untuk menjamin keamanannya? Sebagai negara benua yang berbatasan dengan Benua Antartika di selatan, Australia sejak awal selalu memersepsikan musuh bagi negaranya akan datang dari utara.

Namun, jika disebutkan potensi ancaman terhadap Australia akan datang dari utara, Indonesia tidak perlu merasa tersinggung karena Australia memang tidak pernah menganggap Indonesia sebagai ancaman bagi keamanan negaranya.

Dr Paul Dibb, akademisi dari Lembaga Pertahanan, Australian National University, yang pada tahun 1980-an diminta membuat laporan tentang peninjauan pertahanan Australia, sama sekali tidak mencantumkan Indonesia sebagai ancaman.

Australia selalu menganggap China sebagai ancaman. Dalam ceramahnya di Jakarta, Dr David Walker, dosen tamu di Universitas Indonesia tahun 1986, mengatakan, anggapan itu tidak didasarkan atas sejarah berdirinya Australia. Kekhawatiran itu lebih bersumber dari sedikitnya penduduk yang berdiam di negara benua yang wilayahnya sangat luas. Ia menyebut kekhawatiran itu sebagai sindrom Australia.

Australia yang penduduknya sangat sedikit apabila dibandingkan dengan luas wilayah negaranya khawatir melihat China yang penduduknya sangat padat. Kekhawatiran itu, menurut David Walker, bertambah karena di masa lalu China menjadi motor dari komunisme internasional di Asia.

Gerakan tentara Jepang ke selatan pada Perang Pasifik (1942-1945), hingga mencapai Papua Niugini, membuat Australia merasa bahwa negaranya tidak benar-benar aman terhadap serangan dari utara. Walaupun di utara Australia ada Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Itu sebabnya Australia memperluas rentang garis pertahanan keamanannya hingga 3.000 kilometer. Bahkan, lewat kerja sama pertahanan lima negara dengan Malaysia, Singapura, Australia, Inggris, dan Selandia Baru, Australia menempatkan pesawat tempur di Butterworth, di utara Kuala Lumpur.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar