Sabtu, 19 November 2011

Insentif Berbasis Publikasi Internasional (344)


Insentif Berbasis Publikasi Internasional

Agus Purwanto, FISIKAWAN TEORETIK ITS
Sumber : KOMPAS, 19 November 2011


Dunia riset kita masih karut-marut dan derita para periset belum akan berakhir karena gaji dan penghargaan masih jauh dari memadai. Demikian isi utama laporan Kompas tentang riset dan aneka masalahnya di Tanah Air.

Dari sekian banyak masalah riset yang disorot, diulas, dan diusulkan oleh Liek Wilardjo (Kompas, 30/9/2011) serta Tri Ratnawati dan Satryo BS (Kompas, 1/11/2011), ada satu yang masih belum mendapat perhatian, yakni ilmuwan sejati yang telah eksis. Di tengah keadaan yang jauh dari kondusif, dengan berbagai cara dan komitmen, mereka berhasil membuktikan kerja sebagai ilmuwan sejati.

Jurnal Internasional

Ilmuwan, sesuai namanya, adalah orang yang melakukan pencarian sesuatu yang baru atau orisinal dengan kerja ilmiah. Ilmuwan lekat dengan orisinalitas. Inilah yang membedakan ilmuwan dengan yang bukan ilmuwan. Teknisi dan laboran juga melakukan kerja ilmiah, tetapi sifatnya rutin dengan prosedur dan hasil yang telah diketahui.

Dosen bergelar doktor, bahkan profesor, dapat saja sangat piawai menjelaskan teori-teori rumit. Namun, selama belum punya kontribusi orisinal yang tertulis dan dimuat di jurnal internasional, ia belum ilmuwan: hanya teknisi teoretis. Ia dosen atau pengajar biasa yang mungkin sangat pintar atau hafal di luar kepala karena telah mengajar subyek itu bertahun-tahun.

Barometer kerja ilmuwan hanya dua: publikasi di jurnal internasional atau paten. Di suatu universitas, bisa jadi ada seribu dosen, sekian ratus doktor, dan sekian puluh guru besar. Namun, hanya beberapa yang mampu eksis sebagai ilmuwan. Contohnya di UI, menurut Terry Mart (Kompas, 24/9/2011), dari sekitar 3.000 dosen, hanya 200 yang diklasifikasi sebagai dosen inti penelitian, sedangkan sisanya adalah dosen pengajar dan struktural. Dari 200 dosen ilmuwan ini, UI berharap menghasilkan 150 publikasi internasional per tahun.

Ilmuwan dalam negeri dengan publikasi internasional jelas orang hebat, bahkan mungkin setengah gila. Dengan berbagai kendala yang ada, mereka mampu bertahan, bahkan menghasilkan karya orisinal. Setiap tahun, sekian ratus, bahkan sekian ribu, orang pintar dikirim studi lanjut di luar negeri. Mereka pun mendapatkan gelar akademik tertinggi doktor, tetapi hanya sedikit yang terus eksis sebagai ilmuwan ketika kembali ke Tanah Air.

Penelitian yang dipublikasi di jurnal internasional, selain membuktikan kualitas sang peneliti, juga memperkenalkan peneliti dan institusinya ke tingkat internasional. Pada saatnya, normal tidaknya perguruan tinggi harus diukur dari keluaran publikasi internasionalnya.

Atase Pendidikan Indonesia di India Dr Son Kuswadi, beberapa waktu lalu, menemani beberapa rektor PTN berkunjung ke Indian Institute of Technology (IIT) di New Delhi. Fasilitas di IIT ini relatif terbatas dan lebih kuno daripada fasilitas PTN besar di Indonesia. Di balik keterbatasan ini ternyata IIT tergolong luar biasa. Mereka menghasilkan 1.958 publikasi internasional per tahun dari total 500 dosen.

Keadaan tersebut terbalik dengan ITB. Rektor ITB yang bergabung dalam rombongan tersebut berkomentar, ITB hanya punya 500 publikasi internasional per tahun dari sekitar 1.200 dosennya. Sementara ITS baru 103 publikasi per tahun dari sekitar 1.100 dosen yang dimiliki.

Insentif Khusus

Kementerian Riset dan Teknologi perlu membuat program insentif khusus dan besar bagi akademisi atau peneliti yang telah menghasilkan produk berupa publikasi di jurnal internasional. Besar insentif untuk satu publikasi internasional dengan semua penulis Indonesia adalah Rp 100 juta. Program insentif telah ada, tetapi baru sekadar cukup untuk membayar biaya muat publikasi ketika artikel diterima suatu jurnal.

Angka dosen ilmuwan dan angka harapan publikasi per tahun UI cukup menggambarkan kemampuan umum ilmuwan kita. Angka-angka tersebut secara kasar menyatakan, satu ilmuwan menghasilkan satu publikasi dalam 1 tahun 4 bulan. Artinya, insentif Rp 100 juta jadi tambahan gaji sebesar Rp 6 juta per bulan. Angka yang belum seberapa jika dibandingkan gaji peneliti di Malaysia, sekitar Rp 45 juta per bulan, tetapi sangat berarti bagi para dosen ilmuwan di Indonesia. Kalaupun ada dosen yang mampu menghasilkan dua atau tiga publikasi internasional per tahun, insentif tetap harus diberikan secara utuh karena memang layak diberikan atas kemampuannya.

Setiap tahun, pemerintah menggelontorkan dana hibah penelitian yang diperebutkan dan dibagikan berdasarkan proposal penelitian. Masalahnya, hasil penelitian yang dibiayai dana hibah ini hanya berupa laporan yang sifatnya formalitas, tak sampai ke taraf publikasi internasional. Tak ada mekanisme penilaian yang efektif atas hasil penelitian. Barangkali inilah alasan mengapa Kemristek belum berencana menaikkan gaji para peneliti.

Pemberian insentif berbasis karya berupa publikasi di jurnal internasional akan memotong rantai penelitian basa-basi. Program ini sekilas terasa aneh: bagaimana mungkin seseorang dapat berkarya jika tak ada anggaran dan fasilitas seperti dikeluhkan selama ini? Kenyataannya memang ada yang eksis dalam berbagai keterbatasan ini. Mereka harus diapresiasi secara khusus. Merekalah ilmuwan sekaligus pahlawan sejati yang mampu menghidupkan tradisi riset dan meningkatkan pengakuan internasional bagi lembaga riset dan pendidikan tinggi Indonesia.  

3 komentar:

  1. OKE PAK AGUS, SAYA SETUJU SAJA...KARENA SAYA DILULUSKAN DARI PTN YANG BERBASIS ILMUWAN...SAYA SEPAKAT UNTUK PARA PEJUANG ILMIAH..BUKAN HANYA SEKEDAR MENCARI HIBAH....

    BalasHapus
  2. buat referensi ,, www.tokojurnal.blogspot.com
    Terimakasih :)

    BalasHapus
  3. Katanya, ilmuwan itu orang yang melakukan pencarian sesuatu yang baru atau orisinal dengan kerja ilmiah. Tetapi mengapa ilmuwan tersebut masih belum berhak menyandang gelar sebagai “Ilmuwan” apabila hasil temuannya tersebut (1) belum ditransformasikan ke dalam sebuah karya tulis ilmiah dan/atau (2) karya tulis ilmiah tersebut belum dimuat di jurnal internasional? Saya berharap, yang dimaksud “jurnal internasional” bukanlah jurnal yang terbit di luar Indonesia dan juga bukan “jurnal nasional”-nya Singapura atau Amerika.

    Kedua, mengenai istilah ilmuwan sejati. Saya kira siapapun berhak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ilmuwan sejati. Ilmuwan sejati mungkin saja ditafsirkan sebagai ilmuwan beneran (bukan ilmuwan-ilmuwanan), ilmuwan plus (plus-plus), atau mungkin juga ilmuwan yang bekerja semata-mata untuk kemaslahatan umat manusia (bukan untuk kepentingan uang atau bisnis).

    Ketiga, saya mau tanya apakah orang-orang pintar yang disewa oleh suatu korporat atau BUMN untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian terapan demi kepentingan bisnis masih berhak menyebut diri mereka sebagai para ilmuwan, meskipun hasil temuannya tidak pernah dipublikasikan di jurnal internasional?

    Last but not least, kalau usulan program insentif untuk publikasi internasional tersebut ternyata tidak disetujui oleh Menristek, sebaiknya jangan cepat patah arang. Saya berharap orang-orang pintar di PTN-PTN kita bisa lebih pintar dalam mencari solusi “jalan-keluar” dibandingkan dengan mereka yang bekerja di birokrasi-birokrasi pemerintahan yang pada umumnya terikat oleh aturan-aturan procedural yang kaku.

    BalasHapus