Insentif Berbasis Publikasi Internasional
Agus Purwanto, FISIKAWAN TEORETIK ITS
Sumber : KOMPAS, 19 November 2011
Dunia
riset kita masih karut-marut dan derita para periset belum akan berakhir karena
gaji dan penghargaan masih jauh dari memadai. Demikian isi utama laporan Kompas
tentang riset dan aneka masalahnya di Tanah Air.
Dari
sekian banyak masalah riset yang disorot, diulas, dan diusulkan oleh Liek
Wilardjo (Kompas, 30/9/2011) serta Tri Ratnawati dan Satryo BS (Kompas,
1/11/2011), ada satu yang masih belum mendapat perhatian, yakni ilmuwan sejati
yang telah eksis. Di tengah keadaan yang jauh dari kondusif, dengan berbagai
cara dan komitmen, mereka berhasil membuktikan kerja sebagai ilmuwan sejati.
Jurnal
Internasional
Ilmuwan,
sesuai namanya, adalah orang yang melakukan pencarian sesuatu yang baru atau
orisinal dengan kerja ilmiah. Ilmuwan lekat dengan orisinalitas. Inilah yang
membedakan ilmuwan dengan yang bukan ilmuwan. Teknisi dan laboran juga
melakukan kerja ilmiah, tetapi sifatnya rutin dengan prosedur dan hasil yang
telah diketahui.
Dosen
bergelar doktor, bahkan profesor, dapat saja sangat piawai menjelaskan
teori-teori rumit. Namun, selama belum punya kontribusi orisinal yang tertulis
dan dimuat di jurnal internasional, ia belum ilmuwan: hanya teknisi teoretis.
Ia dosen atau pengajar biasa yang mungkin sangat pintar atau hafal di luar
kepala karena telah mengajar subyek itu bertahun-tahun.
Barometer
kerja ilmuwan hanya dua: publikasi di jurnal internasional atau paten. Di suatu
universitas, bisa jadi ada seribu dosen, sekian ratus doktor, dan sekian puluh
guru besar. Namun, hanya beberapa yang mampu eksis sebagai ilmuwan. Contohnya
di UI, menurut Terry Mart (Kompas, 24/9/2011), dari sekitar 3.000 dosen, hanya
200 yang diklasifikasi sebagai dosen inti penelitian, sedangkan sisanya adalah
dosen pengajar dan struktural. Dari 200 dosen ilmuwan ini, UI berharap
menghasilkan 150 publikasi internasional per tahun.
Ilmuwan
dalam negeri dengan publikasi internasional jelas orang hebat, bahkan mungkin
setengah gila. Dengan berbagai kendala yang ada, mereka mampu bertahan, bahkan
menghasilkan karya orisinal. Setiap tahun, sekian ratus, bahkan sekian ribu,
orang pintar dikirim studi lanjut di luar negeri. Mereka pun mendapatkan gelar
akademik tertinggi doktor, tetapi hanya sedikit yang terus eksis sebagai
ilmuwan ketika kembali ke Tanah Air.
Penelitian
yang dipublikasi di jurnal internasional, selain membuktikan kualitas sang
peneliti, juga memperkenalkan peneliti dan institusinya ke tingkat
internasional. Pada saatnya, normal tidaknya perguruan tinggi harus diukur dari
keluaran publikasi internasionalnya.
Atase
Pendidikan Indonesia di India Dr Son Kuswadi, beberapa waktu lalu, menemani
beberapa rektor PTN berkunjung ke Indian Institute of Technology (IIT) di New
Delhi. Fasilitas di IIT ini relatif terbatas dan lebih kuno daripada fasilitas
PTN besar di Indonesia. Di balik keterbatasan ini ternyata IIT tergolong luar
biasa. Mereka menghasilkan 1.958 publikasi internasional per tahun dari total
500 dosen.
Keadaan
tersebut terbalik dengan ITB. Rektor ITB yang bergabung dalam rombongan
tersebut berkomentar, ITB hanya punya 500 publikasi internasional per tahun
dari sekitar 1.200 dosennya. Sementara ITS baru 103 publikasi per tahun dari
sekitar 1.100 dosen yang dimiliki.
Insentif
Khusus
Kementerian
Riset dan Teknologi perlu membuat program insentif khusus dan besar bagi
akademisi atau peneliti yang telah menghasilkan produk berupa publikasi di
jurnal internasional. Besar insentif untuk satu publikasi internasional dengan
semua penulis Indonesia adalah Rp 100 juta. Program insentif telah ada, tetapi
baru sekadar cukup untuk membayar biaya muat publikasi ketika artikel diterima
suatu jurnal.
Angka
dosen ilmuwan dan angka harapan publikasi per tahun UI cukup menggambarkan
kemampuan umum ilmuwan kita. Angka-angka tersebut secara kasar menyatakan, satu
ilmuwan menghasilkan satu publikasi dalam 1 tahun 4 bulan. Artinya, insentif Rp
100 juta jadi tambahan gaji sebesar Rp 6 juta per bulan. Angka yang belum
seberapa jika dibandingkan gaji peneliti di Malaysia, sekitar Rp 45 juta per
bulan, tetapi sangat berarti bagi para dosen ilmuwan di Indonesia. Kalaupun ada
dosen yang mampu menghasilkan dua atau tiga publikasi internasional per tahun,
insentif tetap harus diberikan secara utuh karena memang layak diberikan atas
kemampuannya.
Setiap
tahun, pemerintah menggelontorkan dana hibah penelitian yang diperebutkan dan
dibagikan berdasarkan proposal penelitian. Masalahnya, hasil penelitian yang
dibiayai dana hibah ini hanya berupa laporan yang sifatnya formalitas, tak
sampai ke taraf publikasi internasional. Tak ada mekanisme penilaian yang
efektif atas hasil penelitian. Barangkali inilah alasan mengapa Kemristek belum
berencana menaikkan gaji para peneliti.
Pemberian
insentif berbasis karya berupa publikasi di jurnal internasional akan memotong
rantai penelitian basa-basi. Program ini sekilas terasa aneh: bagaimana mungkin
seseorang dapat berkarya jika tak ada anggaran dan fasilitas seperti dikeluhkan
selama ini? Kenyataannya memang ada yang eksis dalam berbagai keterbatasan ini.
Mereka harus diapresiasi secara khusus. Merekalah ilmuwan sekaligus pahlawan
sejati yang mampu menghidupkan tradisi riset dan meningkatkan pengakuan
internasional bagi lembaga riset dan pendidikan tinggi Indonesia. ●
OKE PAK AGUS, SAYA SETUJU SAJA...KARENA SAYA DILULUSKAN DARI PTN YANG BERBASIS ILMUWAN...SAYA SEPAKAT UNTUK PARA PEJUANG ILMIAH..BUKAN HANYA SEKEDAR MENCARI HIBAH....
BalasHapusbuat referensi ,, www.tokojurnal.blogspot.com
BalasHapusTerimakasih :)
Katanya, ilmuwan itu orang yang melakukan pencarian sesuatu yang baru atau orisinal dengan kerja ilmiah. Tetapi mengapa ilmuwan tersebut masih belum berhak menyandang gelar sebagai “Ilmuwan” apabila hasil temuannya tersebut (1) belum ditransformasikan ke dalam sebuah karya tulis ilmiah dan/atau (2) karya tulis ilmiah tersebut belum dimuat di jurnal internasional? Saya berharap, yang dimaksud “jurnal internasional” bukanlah jurnal yang terbit di luar Indonesia dan juga bukan “jurnal nasional”-nya Singapura atau Amerika.
BalasHapusKedua, mengenai istilah ilmuwan sejati. Saya kira siapapun berhak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ilmuwan sejati. Ilmuwan sejati mungkin saja ditafsirkan sebagai ilmuwan beneran (bukan ilmuwan-ilmuwanan), ilmuwan plus (plus-plus), atau mungkin juga ilmuwan yang bekerja semata-mata untuk kemaslahatan umat manusia (bukan untuk kepentingan uang atau bisnis).
Ketiga, saya mau tanya apakah orang-orang pintar yang disewa oleh suatu korporat atau BUMN untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian terapan demi kepentingan bisnis masih berhak menyebut diri mereka sebagai para ilmuwan, meskipun hasil temuannya tidak pernah dipublikasikan di jurnal internasional?
Last but not least, kalau usulan program insentif untuk publikasi internasional tersebut ternyata tidak disetujui oleh Menristek, sebaiknya jangan cepat patah arang. Saya berharap orang-orang pintar di PTN-PTN kita bisa lebih pintar dalam mencari solusi “jalan-keluar” dibandingkan dengan mereka yang bekerja di birokrasi-birokrasi pemerintahan yang pada umumnya terikat oleh aturan-aturan procedural yang kaku.