Sabtu, 19 November 2011

Pendidikan (“Nyambi”) Kebudayaan


Pendidikan (“Nyambi”) Kebudayaan

Yudhistira ANM Massardi, SASTRAWAN, WARTAWAN, PENGELOLA SEKOLAH GRATIS UNTUK DUAFA
Sumber : KOMPAS, 19 November 2011


Sesungguhnya, sejak dulu yang jadi tuntutan para seniman dan budayawan adalah kehadiran suatu kementerian yang secara khusus mengelola kebudayaan.

Mengingat begitu luas dan strategisnya wilayah kebudayaan, sangatlah tidak masuk akal jika kebudayaan hanya merupakan sampiran atau kerja sambilan (nyambi) seorang menteri pendidikan atau menteri pariwisata.

Kini, setelah puluhan tahun urusan kebudayaan hanya menjadi embel-embel dalam sistem pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mengembalikan lagi urusan tersebut (dari Kementerian Pariwisata) ke Kementerian Pendidikan.

Gagal Klasifikasi

Pentas ironi yang dimainkan para pemimpin di negeri ”pemilik kebudayaan adiluhung” ini bukan cuma tak kunjung usai, melainkan justru terus berulang. Seakan-akan tak ada yang belajar dari sejarah. Persis seperti ironi sejarah: ”Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar apa pun dari sejarah.”

Penyebabnya, sekali lagi adalah gagal klasifikasi—suatu hal yang diajarkan Aristoteles 25 abad silam. (Seharusnya, pemahaman tentang klasifikasi memang diajarkan sejak usia dini agar kita tidak berkelanjutan gagal menjadi bangsa pembelajar).

Kita sesungguhnya sudah memiliki rumusan pendidikan dan kebudayaan, tetapi para pelaksana gagal memaknainya.

Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”

Definisi tersebut secara keseluruhan indah dan luar biasa. Praktiknya, itu hanyalah deretan kata hampa tanpa makna. Seharusnya, undang-undang juga membuat definisi kata ”sadar”, ”terencana”, ”suasana belajar”, ”proses”, ”pembelajaran”, ”peserta didik”, ”aktif”, ”mengembangkan”, ”potensi diri”, ”akhlak mulia”, dan seterusnya.

Coba, kita tanya, khususnya para guru dan dosen, pahamkah mereka makna setiap kata dalam definisi tersebut? Apakah pemahamannya sama satu sama lain? Lalu, bagaimana implementasi semua makna itu dalam proses belajar-mengajar di kelas?

Kita selalu terjebak pada asumsi bahwa ”semua orang pasti sudah tahu” yang dimaksud. Padahal, justru itulah pangkal seluruh kegagalan. Namun, anggaplah semua orang sudah tahu. Mari kita periksa apa yang terjadi selama ini. Jika definisi tadi dilaksanakan sesuai makna tiap kata, hasilnya pastilah luar biasa!

Kenyataannya, sistem pendidikan kita hanya menghasilkan lulusan calon penganggur, tak memiliki keterampilan, secara mental rapuh, dan secara moral koruptif. Metode pembelajaran satu arah, klasikal, hafalan, dengan tujuan akhir ujian nasional, terbukti membunuh kreativitas dan daya hidup siswa. Sistem pendidikan nasional gagal membangun manusia pembelajar!

Tempat Sampah

Filsuf Perancis, Jean-Jacques Rousseau, pernah mengingatkan: Salah satu elemen kebudayaan yang bertanggung jawab atas korupsi moral manusia adalah pendidikan, maka pendidikan harus ditransformasikan. ”Orang harus mengajarkan kepada anak-anak satu-satunya ilmu, yaitu ilmu tentang kewajiban manusia” (F Budi Hardiman).

Akan tetapi, satu-satunya ilmu yang diajarkan oleh sistem pendidikan kita adalah: lulus ujian nasional dan dapat ijazah!

Pakar pendidikan, Prof Winarno Surakhmad, menyimpulkan, pendidikan nasional kita hanya menggiring bangsa Indonesia pada ”tragedi nasional”.

Di tengah semua kekacauan itu, seorang Wiendu Nuryanti sekonyong-konyong menerima tugas sebagai wakil menteri pendidikan bidang kebudayaan. Pertanyaan pertama tentulah: Apakah ia paham yang disebut pendidikan dan kebudayaan?

Melalui media massa dikabarkan, Wiendu akan ”memasukkan kebudayaan yang membangun karakter bangsa dalam kurikulum pendidikan”. Ia menilai, muatan kebudayaan sangat minim dalam kegiatan pendidikan sehingga, misalnya, tidak ada pilihan untuk mengambil mata pelajaran Bahasa Batak dan Jawa. Begitu pula dalam ekstrakurikuler, menari belum disediakan di semua sekolah (Kompas.com, 26/10/2011).

Seorang teman guru berkomentar, ”Kurikulum pendidikan di Indonesia nyaris seperti ’tempat sampah’....” Maklum, belum lama berselang, kita melihat betapa sibuknya Kemdiknas yang hendak memasukkan butir-butir ”pendidikan karakter” ke dalam kurikulum.

Dengan pola berpikir business as usual seperti itu, tampak betapa serampangannya seorang penentu kebijakan. Ia melemparkan tanggung jawab kepada orang lain: dalam hal ini para guru dan murid.

Revolusi Kebudayaan

Apa sebenarnya kebudayaan itu? Berbagai sumber menyebutkan, kebudayaan adalah nilai-nilai sosial-kemasyarakatan yang dimiliki sebuah bangsa, bersifat turun-temurun, serta hasil karya artistik dan intelektual yang khas dan menjadi jati diri bangsa itu. Di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain dari anggota masyarakatnya. Dalam definisi yang lebih ringkas: kebudayaan adalah hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia.

Kebudayaan tidaklah statis. Ia bergerak. Ia hidup. Kebudayaan bukan sekadar kumpulan artefak nilai-nilai dan karya-karya warisan nenek moyang, melainkan sekaligus mengandung hasil karya cipta-rasa-karsa yang terus bertumbuh. Itulah sebabnya, kebudayaan membutuhkan dan melahirkan pendidikan bagi terjadinya proses pewarisan dan pengayaan. Inilah upaya mempertahankan diri dan demi kelangsungan hidup suatu bangsa.

Pendidikan kebudayaan diperlukan agar bisa dicapai nilai-nilai kehidupan, hasil karya artistik dan intelektual yang lebih baik dan lebih indah. Tanpa pendidikan yang berkualitas, kebudayaan hanya akan menjadi prasasti: seperti karya fiksi yang terputus dari ruang dan waktu.

Pendidikan kebudayaan adalah upaya pencerdasan seluruh anak bangsa untuk berani berinisiatif bagi terjadinya perubahan dan perbaikan. Bukan sikap-sikap dan pendekatan business as usual. Lebih dari itu, jika kebudayaan bangsa Indonesia sekarang ini adalah kebudayaan korupsi, pendidikan kebudayaan yang harus diselenggarakan adalah yang bisa mendorong anak bangsa untuk melakukan revolusi kebudayaan!

Kita memerlukan manusia-manusia Indonesia baru dalam kapasitas seorang Mao Zedong, Deng Xiaoping, Stalin, Mikhail Gorbachev, Imam Khomeini, Hugo Chavez, Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan Nurcholish Madjid. Untuk itu, bolehlah kita meminjam semboyan filsuf Immanuel Kant: Sapere aude! (Beranilah berpikir sendiri!), menuju summum bonum (kebaikan tertinggi).

Apakah itu tersedia dalam kurikulum dan dipahami para tuan dan nyonya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar