“Quo Vadiz” Revolusi di Suriah?
Zuhairi Misrawi, ANALIS POLITIK DAN PEMIKIRAN TIMUR TENGAH
Sumber : KOMPAS, 21 November 2011
Jika
revolusi di Libya memerlukan waktu enam bulan untuk menjatuhkan rezim Khadafy,
revolusi di Suriah memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah memasuki bulan
kesembilan, belum ada tanda-tanda kejatuhan rezim Bashar al-Assad.
Sebaliknya,
justru rezim yang berkuasa makin brutal dalam menghadapi para demonstran. PBB
merilis jumlah demonstran yang tewas di Suriah selama berlangsungnya revolusi
lebih dari 3.500 orang. Bahkan, menurut data aktivis HAM di Suriah, jumlah
korban yang tewas mencapai 5.000 orang. Kematian Mashaal Tamoo, oposisi asal
suku Kurdi, semakin meningkatkan perlawanan untuk menjatuhkan rezim Bashar
al-Assad.
Jatuhnya
korban dalam jumlah besar tersebut terkait respons dunia internasional yang
lamban dalam menyikapi Bashar al-Assad. Negara-negara Arab juga terlihat sangat
hati-hati bersikap karena Suriah didukung kekuatan lainnya di Timur Tengah,
seperti Hizbullah (Lebanon), Hamas (Palestina), faksi Syiah (Irak), dan Iran.
Di samping itu, veto Rusia dan China di PBB semakin menghambat arah revolusi.
Pasca-jatuhnya
rezim Khadafy di Libya, tensi revolusi di Suriah mengalami eskalasi yang
semakin masif. Menurut kalangan oposisi, jika rezim totaliter sekuat Khadafy
bisa dijatuhkan, tidak ada alasan untuk tidak melengserkan Bashar al-Assad yang
kekuatannya jauh di bawah Khadafy. Hanya saja, belajar dari Tunisia, Mesir, dan
Libya, revolusi membutuhkan gerakan yang terorganisasi. Revolusi bukan wahyu
yang tiba-tiba turun dari langit.
Dua Alasan
Menurut
Salwa Ismail (2011), ada dua faktor yang menjadi alasan kenapa rezim Bashar
al-Assad harus dilengserkan. Pertama, faktor obyektif. Ketidakpercayaan publik
terhadap rezim Bashar al-Assad meluas di sejumlah kota, antara lain Homs, Hama,
Latakia, Aleppo, dan beberapa wilayah di Damaskus. Demonstrasi melibatkan
sejumlah kelompok masyarakat, dokter, pengacara, dan kalangan profesional
lainnya. Mereka yang semula mendorong agar dilakukan reformasi politik berubah
menuntut Bashar al-Assad mundur dari jabatannya.
Sikap
tersebut diambil karena rezim yang berkuasa dalam empat dekade terakhir itu
tidak punya iktikad serius melakukan reformasi politik. Alih-alih melakukan
reformasi, justru menangkap, memenjarakan, bahkan membunuh para demonstran yang
jumlahnya sudah mencapai ribuan akibat aksi brutal militer.
Kedua,
faktor subyektif. Kepercayaan negara-negara Arab dan Barat terhadap rezim
Bashar al-Assad kian defisit. Turki yang semula masih memberikan ruang
negosiasi dengan Suriah, belakangan mendukung tuntutan rakyat Suriah untuk
tegaknya demokrasi. Di samping itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah menegaskan
sikapnya bersama tuntutan rakyat Suriah untuk mengakhiri rezim Bashar al-Assad.
Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Mesir, dan Kuwait juga secara eksplisit meminta
agar Bashar al-Assad menghentikan sejumlah tindakan biadab terhadap kalangan
oposisi.
Kedua
faktor tersebut merupakan modal sangat penting bagi kalangan oposisi untuk
melengserkan rezim Bashar al-Assad. Menyusul protes keras Uni Eropa atas
pelanggaran HAM berat, Uni Eropa juga sudah lama melakukan embargo minyak.
Langkah tersebut akan mengakibatkan krisis ekonomi bagi Suriah mengingat minyak
sebagai sumber pendapatan ekonomi yang sangat determinan. Embargo minyak akan
memberikan pukulan telak bagi rezim yang berkuasa karena dapat menyebabkan
krisis ekonomi yang serius di Suriah.
Meskipun
demikian, perjalanan revolusi di Suriah masih panjang. Sejauh ini, para loyalis
Bashar al-Assad yang berada di pemerintahan dan militer masih di pihaknya. Para
diplomat juga masih loyal kepada Bashar al-Assad. Kondisi ini berbeda jauh
dengan Libya yang ditandai pengunduran secara besar-besaran dari lingkaran
dalam Khadafy, tak terkecuali para diplomat yang bertugas di negara-negara
Barat.
Keberhasilan
Bashar al-Assad menjaga soliditas kekuasaannya tidak lain karena ia berhasil
membangun kekuasaan politik dan militer dari sekte Alawi, yaitu salah satu
sekte dalam Syiah yang berada di Suriah. Sejak Hafedz al-Assad memimpin Suriah
pada tahun 1974, kekuasaan dikontrol oleh Partai Baaths yang dikuasai
sepenuhnya oleh sekte Alawi, yang jumlahnya sekitar 12 persen dari jumlah
penduduk Suriah.
Sejak
berada di tampuk kekuasaan pada 2000, Bashar al-Assad melanjutkan kekuasaan ala
pendahulunya, yaitu memberlakukan kekuasaan dalam darurat militer. Tidak boleh
ada kekuatan oposisi yang dapat menggoyang kekuasaannya. Pada 1982, Ikhwanul
Muslimin melakukan demonstrasi besar-besaran di Hama, tetapi diredam dengan
aksi militer yang menyebabkan jatuhnya korban hingga 10.000 orang tewas. Sejak
saat itu, hampir tidak ada perlawanan politik terhadap rezim Bashar al-Assad.
Gejolak
revolusi yang merambah Hama, Idlib, Homs, Latakia, Aleppo, Douma, dan sebagian
wilayah di Damaskus dalam enam bulan terakhir mempunyai kelebihan dibanding
aksi massa yang terjadi pada 1982. Ketidakpercayaan terhadap rezim Bashar
al-Assad lebih bersifat masif karena rakyat Suriah merasakan tak mempunyai masa
depan yang cerah dalam bidang politik dan ekonomi. Korupsi, kolusi, nepotisme,
dan kekerasan militer merupakan realitas sosial-politik yang menghantui rakyat
Suriah. Mereka tak punya alternatif selain menjatuhkan rezim Assad.
Makin Limbung
Tentu,
yang menjadi inspirasi dalam revolusi di Suriah adalah revolusi di Tunisia,
Mesir, dan Libya. Rakyat Suriah sedang menyongsong lahirnya zaman baru
demokratisasi, yang meniscayakan kedaulatan rakyat dan penegakan hukum di atas
segala- galanya. Mereka sudah tidak mau lagi hidup di bawah rezim yang
totaliter dan militeristik. Rakyat Suriah memandang, negara-negara tetangganya
sudah merayakan kemerdekaan politik, maka saatnya mereka juga merayakan pesta
demokrasi, yang memberlakukan politik dari bawah ke atas (bottom up), bukan
dari atas ke bawah (top down).
Rezim
Bashar al-Assad, cepat atau lambat, akan mengalami delegitimasi dari dalam,
termasuk dari para loyalisnya. Liga Arab sudah membekukan keanggotaan Suriah.
Beberapa pihak dari sekte Alawi yang selama ini menyokong rezim Assad sudah
mulai berpihak kepada oposisi.
Jaksa
Agung Suriah Adnan Bakkour sudah mengundurkan diri dari pemerintahan Assad,
sebagai simpati terhadap ribuan korban yang tewas akibat aksi brutal militer. Kalangan
oposisi sudah membentuk Dewan Nasional yang dipimpin oleh seorang pemikir
Muslim, Burhan Ghalyoun.
Posisi
Bashar al-Assad kini semakin limbung. Satu-satunya pihak yang masih loyal
adalah militer. Dalam situasi seperti sekarang, militer Suriah mesti belajar
dari revolusi Tunisia, Mesir, dan Libya. Dalam ideologi militer, kepentingan
negara-bangsa harus diutamakan daripada kepentingan rezim yang berkuasa. Jika
tidak, korban akan berjatuhan dalam jumlah yang lebih besar dan revolusi akan
berumur panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar