Haji dan Sikap Antikorupsi
Lamlam Pahalam,
DIREKTUR
BANDUNG INTELLECTUAL CIRCLE
Sumber : KORAN TEMPO, 19 November 2011
Setelah dua bulan lamanya, perhelatan pelaksanaan haji tuntas dilaksanakan.
Anggota jemaah haji sudah kembali ke kampung halamannya masing-masing untuk kembali
berkumpul dengan sanak saudara, handai taulan, maupun teman sejawat setelah sekian
lama menunaikan ibadah haji dengan segala macam rukun yang terkandung di
dalamnya.Tentu orang mendoakan bagi para hujaj (orang-orang yang
melaksanakan haji) agar mereka mendapatkan predikat mabrur, adanya kualitas
diri yang baik dari sebelumnya. Mabrur dimaknai dengan adanya perubahan sikap
serta orientasi hidup ke arah yang lebih benar, mendasar, baik, dan tepat.
Hasil ini poin penting bagi orang yang telah bersusah payah melaksanakan ibadah
haji. Perubahan ini adalah pesan berharga bagi orang yang telah melaksanakan
rukun Islam kelima.
Perubahan kualitas individu bagi hujaj tidaklah disimbolkan
dengan perubahan kopiah dari warna hitam ke warna putih. Secara simbolis, ini
bagus. Namun yang terpenting adalah adanya perubahan karakter yang mendasar,
yang menyasar dan membersihkan karakter tercela. Di antara perubahan karakter
yang mendasar tersebut ialah adanya perubahan sikap dan mindset hidup
dari sifat rakus dunia menjadi moderat, dari hedonis ke sederhana. Sebab,
karakter hedonis inilah yang menjadi penyebab orang melakukan korupsi.
Nalar Ihram
Makna ini bisa terbaca secara cermat dari pakaian ihram yang
senantiasa dipakai oleh hujaj, bahwa pakaian ihram berwarna putih
tak berjahit. Semua yang melaksanakan ibadah haji, pakaian ihram-nya
sama, tidak membeda-bedakan antara si kaya dan si miskin. Pakaian ihram,
yang melambangkan kesederhanaan, menunjukkan gaya hidup yang tawadhu, tidak
lagi mempertontonkan pakaian yang mencerminkan gaya hidup hedonis, bermegah-megah,
dan berfoya-foya. Pakaian ihram memberi pelajaran kesetaraan dan
kesamaan manusia di hadapan Sang Pencipta. Bahwa pakaian yang bagus bukanlah
pakaian baru dengan model yang perlente maupun dengan harga yang
mahal. Pakaian baru pun bukanlah baju bermodel fashion Prancis
ataupun baju berbahan sutra. Namun pakaian bagus adalah pandangan hidup yang
jelas terhadap
dunia dan segala isinya. Pandangan yang didasarkan pada keyakinan
dan nilai luhur yang dianut.
Demikian juga dalam pelaksanaan ibadah haji. Orang melakukan wukuf
di Arafah dengan segala tuntutan perbuatan yang dilakukan. Bermunajat, berdoa,
dan melakukan muhasabah (introspeksi diri). Wukuf berfungsi membongkar
sikap keserakahan dan ketamakan hidup yang kerap dilakukan.Wukuf di Arafah
menunjukkan evaluasi kritis terhadap episode kehidupan yang telah kita lalui.
Paradigma wukuf memberikan pendidikan kontrol diri terhadap godaan hidup yang semakin
keras dan kencang.
Tak ketinggalan melakukan jumrah (melempar batu), yang dimaknai
dengan pelemparan terhadap setan yang menjadi sumbu kejelekan. Ia mengandung
pesan
yang mendalam untuk senantiasa mampu melemparkan gaya hidup yang berlebihlebihan,
yang bermuara pada gaya hidup hedonis. Jumrah dimaknai dengan sikap mengusir
rasa rakus dan tamak yang mengendap di dalam jiwa dengan batu
keimanan. Rayuan setan maupun godaan iblis yang melahirkan
perilaku korupsi sepantasnya dilempari oleh batu ketakwaan.
Gaya hidup yang hedonistik maupun permisif hanya akan melahirkan
karakter korupsi di negeri ini. Pandangan kehidupan yang mengajarkan
keserakahan dan budaya serba boleh akan bermuara pada pengerukan harta kekayaan
sebanyak-banyaknya. Mengeksploitasi keuangan dengan cara apa pun, mengabaikan prinsip
halal dan haram. Pola pikir seperti inilah salah satu motif yang paling dominan
saat orang melakukan korupsi. Semua pandangan dan gaya hidup di atas dikoreksi
oleh cara berpakaian ihram.
Demikian juga perilaku korupsi yang senantiasa dilakukan
berulang-ulang, yang menunjukkan tidak adanya evaluasi diri secara cerdas.
Mengunyah perilaku minus dan terus minus, mencerminkan lemahnya kontrol
terhadap kualitas hidup. Rajinnya menggarong uang negara tiap tahun, lagi dan
lagi, memperlihatkan hilangnya perenungan nalar terhadap kesadaran diri.
Deretan perilaku bejat ini seharusnya bisa diredam dengan karakter wukuf.
Sebab, sejatinya wukuf adalah pengevaluasian diri secara total terhadap rekam
jejak kehidupan masa lampau yang suram.
Pelengkap dari semua itu, menghardik sikap keganasan terhadap
harta haram adalah nilai etis yang diserap dari nalar jumrah. Melemparkan
keserakahan, mengusir hedonisme, dan menghardik ketamakan merupakan “mata
kuliah”jumrah dengan “bobot SKS”tiga hari.Tentu semoga para politikus yang
telah menunaikan ibadah haji menerjemahkan nalar jumrah ini secara pintar dalam
lingkaran kekuasaan mereka. Sebab, karakter hedonis, permisif, maupun sikap
oportunis adalah bensin yang melahirkan percikan api korupsi.
Bagi para politikus yang telah berhaji, predikat haji mereka
dituntut untuk dibuktikan
dalam perilaku politiknya dengan sikap sederhana tapi anggun.Tidak
lagi mendemonstrasikan kekayaan maupun memamerkan kelebihan harta demi penilaian
yang semu dan lucu. Para politikus yang telah berhaji dimohon dengan hormat
untuk melonggarkan gaya kehidupannya secara wajar, patut, dan etis. Sebab,
mereka telah mendapatkan pendidikan haji, yang mengajarkan tentang
kesederhanaan dan sikap integritas yang tinggi. Amat bertolak belakang jika
sikap dan karakter para politikus yang telah melaksanakan ibadah haji tidak
berubah. Boleh jadi gelar haji mereka patut dipertanyakan sekaligus gelar
mabrurnya bisa diragukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar