Dari Demokrasi Menuju “Dimuqratiyya”
Ulil Abshar-Abdalla, PENDIRI JARINGAN ISLAM LIBERAL
(JIL)
Sumber : JIL, 21 November 2011
Angin
perubahan saat ini bertiup kencang di seluruh kawasan Arab – apa yang oleh para
pengamat kerap disebut sebagai fenomena Musim Semi Arab (Arab Spring/al-Rabi’
al-‘Arabi). Dimulai dari Tunisia, perubahan itu bergerak cepat ke Mesir, Yaman,
Bahrain, Syria, Libya dan Yordania. Bahkan, negeri seperti Saudi Arabia yang
selama ini dianggap kedap terhadap segala bentuk perubahan pun tak bisa
menghindar dari badai ini. September lalu, misalnya, Raja Abdullah dari Saudi
Arabia mengumumkan perempuan di negeri itu akan diberikan hak untuk memberikan
suara serta mencalonkan diri dalam pemilu kota (municipality/al-baladiyya) –
satu-satunya pemilu yang ada di Saudi Arabia saat ini.
Perkembangan
ini tentu merupakan angin segar bagi dunia Islam. Selama ini, dunia Arab
dipandang sebagai kawasan yang sulit mengalami perubahan ke arah kehidupan yang
lebih terbuka dan demokratis. Kawasan ini diidentikkan dengan sejumlah
ciri-ciri yang esensialistik: despotisme, otoritarianisme, konservatisme
budaya, lemahnya masyarakat sipil, dsb. Ada pandangan seolah-olah
otoritarianisme (al-istibdad) dan kearaban adalah dua sisi dari mata uang yang
sama, tak bisa dipisahkan. Badai perubahan yang menerjang kawasan itu sekarang
ini menunjukkan dengan sangat baik sekali bahwa pandangan yang esensialistik
tentang dunia Arab sama sekali tak benar.
Sebelum
perubahan berhembus di kawasan Arab, kita semua sudah menyaksikan perubahan
serupa di kawasan lain; kali ini di kawasan Melayu, yakni Indonesia. Pada 1998,
apa yang terjadi di dunia Arab saat ini sudah terlebih dahulu kita alami,
dengan sejumlah kemiripan yang sangat mencolok. Misalnya, baik
perubahan-perubahan di kawasan Arab sekarang atau di negeri kita lebih dari
satu dasawarsa yang lalu itu tak dipimpin oleh satu tokoh tunggal – seorang
“mullah” karismatik, misalnya. Aktor utama dalam dua perubahan itu adalah
koalisi masyarakat sipil, tanpa ada kepemimpinan yang menonjol pada satu
golongan tertentu.
Kalangan ‘Islamis’ yang selama ini menjadi pusat perhatian
dan kekhawatiran pihak di Barat sama sekali tak memainkan peran utama, baik
dalam reformasi yang terjadi di negeri kita sendiri atau Arab sekarang. Ini
berbeda jauh dengan perubahan di Iran sekitar tiga puluh tahunan yang lalu: di
sana, peran seorang mullah karismatik yang diwakili oleh sosok Ayatullah
Khomeini sangatlah besar sekali.
Absennya
tokoh agama karismatik dalam dua revolusi di dunia Islam itu, menurut saya,
merupakan faktor penting yang sangat menguntungkan untuk percepatan laju
demokratisasi. Keadaan jelas akan berbeda sama sekali manakala dalam dua
revolusi itu, aktor utama yang berperan di dalamnya berasal dari kalangan
agama, misalnya. Dalam keadaan seperti itu, prospek demokratisasi jelas akan
susah untuk diharapkan berlangsung dengan mulus. Contoh yang sangat baik adalah
Iran: apa yang terjadi di negeri itu setelah menangnya Revolusi Mullah bukanlah
terciptanya sistem politik yang terbuka dan demokratis, melainkan hanyalah
“operasi plastik” di permukaan saja – dari otoritarianisme sekular di bawah
Shah Iran ke otoritarianisme baru dengan wajah agama di bawah kepemimpinan para
mullah (istilah untuk ulama di Iran).
Fine,
setelah perubahan-perubahan yang menggembirakan di dunia Islam ini, lalu apa?
Apakah cerita sudah berhenti di sini dan kita tak akan menghadapi soal-soal
yang lain lagi? Apakah gerak ke arah emansipasi sudah berhenti dengan menangnya
gagasan demokrasi dan kebebasan di sana? Saya mengatakan: tidak sama sekali.
Belajar dari pengalaman di negeri kita selama tiga belas tahun terakhir di era
reformasi, proses demokratisasi tidaklah selesai hanya pada satu babak saja.
Ini proses yang akan memakan waktu lama, dan, yang penting untuk diingat,
sangat melelahkan. Di tengah-tengah proses ini, bisa terjadi semacam “popular
discontent”, kekecewaan masyarakat karena perubahan itu ternyata tak segera
membawa hasil yang kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan
terbitnya matahari demokrasi di dunia Islam itu, satu hal yang patut disyukuri
ialah berakhirnya otoritarianisme. Manifestasi paling vulgar dari
otoritarianisme di dunia Islam selama ini adalah bercokolnya seorang penguasa
–bisa presiden, bisa seorang raja atau amir—dalam waktu yang lama, tanpa batas
waktu, juga tanpa kontrol melalui mekanisme yang normal dalam demokrasi, yaitu
check-and-balance. Tumbangnya penguasa otoriter semacam ini merupakan syarat
utama untuk perubahan-perubahan positif pada tahap berikutnya, terutama untuk
suatu kekuasaan baru yang lebih ‘accountable’ karena dipilih langsung oleh
rakyat.
Tetapi,
berlalunya seorang otokrat hanyalah babak pembuka saja. Demokrasi bukanlah
semata-mata tersedianya ruang yang terbuka bagi semua pihak dan golongan untuk
bersuara dan partisipasi dalam proses politik yang sedang berlangsung di sebuah
negara. Langkah berikutnya yang jauh lebih penting adalah membuat suatu
kesepakatan politik yang ditorehkan dalam dokumen tertulis berupa sebuah
konstitusi. Dalam konstitusi itu, haruslah ada jaminan yang kokoh bagi hak-hak
dasar, bagi civil rights: hak-hak untuk berpendapat, berserikat, kebebasan
beragama dan berkeyakinan, hak untuk hidup yang bermartabat, hak untuk
mendapatkan perlakuan yang fair dan sama di muka hukum, dsb.
Proses
tersebut, dalam kasus Indonesia, sudah dilalui dengan cukup sukses: kita sudah
melakukan amandemen selama empat kali atas UUD 1945. Dalam amandemen itu,
sejumlah perubahan konstitusional yang mendasar yang menjamin hak-hak sipil
bagi seluruh warga negara dilakukan. Di dunia Arab saat ini, proses itu belum
terjadi, dan kita tentu berharap, perubahan-perubahan yang sudah terjadi sejauh
ini di kawasan itu akan dimahkotai (crowned) dengan faset penting pada babak
berikutnya, yakni perumusan konstitusi yang menjamin nilai-nilai kebebasan bagi
warga negara. Sebab demokrasi tak ada artinya apa-apa tanpa mengandaikan
prinsip lain, yakni konstitusionalisme.
Merumuskan
sebuah konstitusi yang demokratis, meski merupakan langkah yang penting, tetap
saja belumlah tahap yang mencukupi pada dirinya sendiri. Seringkali, sebuah
konstitusi dirumuskan untuk kemudian menjadi sekadar rumusan kosong saja,
karena tidak dilaksanakan dalam kehidupan politik yang riil. Kita, sekarang
ini, melewati fase yang menjengkelkan ini: banyak terjadi kasus di mana
jaminan-jaminan bagi hak-hak dasar yang ada dalam konstitusi dilanggar oleh
pelbagai pihak, baik pemerintah (ingat kasus GKI Yasmin) atau pihak-pihak dalam
masyarakat sendiri.
Yang
jauh lebih penting dari pada proses perumusan konstitusi itu ialah komitmen
terhadap konstitusi tersebut. Tahap yang jauh lebih krusial adalah bagaimana
mendidik masyarakat agar mereka memiliki komitmen yang mendalam pada konstitusi
yang sudah dirumuskan di dalam gedung parlemen itu. Pasal-pasal dalam
konstitusi kita mulai dari pasal 28A hingga 28J, plus pasal 29, semuanya berisi
hak-hak warga yang harus dijamin oleh negara. Pasal 28E dan 29, misalnya,
menjamin kebebasan beragama dan keyakinan bagi seluruh warga negara. Tetapi,
apa gunanya pasal semacam ini bila komitmen untuk melaksanakan pasal itu, baik
oleh pemerintah atau masyarakat, tak kita jumpai dalam kehidupan riil? Apa
gunanya pasal semacam ini jika, misalnya, sejumlah golongan dalam penduduk kita
mengembangkan pandangan sosal-keagamaan yang justru menentang ide kebebasan
beragama semacam itu?
Di
sini, proses berikutnya menjadi sangat penting: yaitu pribumisasi atas
konstitusi – proses di mana nilai-nilai yang dijamin dalam konstitusi mempunyai
daya gugah bagi masyarakat karena diterjemahkan melalui nomenklatur budaya yang
akrab bagi mereka. Dalam kasus Islam, misalnya, jaminan atas nilai-nilai
kebebasan, termasuk misalnya kebebasan beragama, akan mempunyai makna yang
mendalam bagi umat manakala nilai itu mendapatkan justifkasi dari ajaran Islam
sendiri, sehingga, dengan demikian, nilai itu bukanlah nilai yang asing lagi,
tetapi nilai yang sudah mempribumi dalam kerangka simbolik yang mereka pahami –
nilai yang legitimate.
Jika Gus Dur dulu mengajukan gagasan tentang pribumisasi Islam, maka sekarang
pun kita memerlukan pribumisasi atas demokrasi – proses menjadikan demokrasi
bukan semata-mata nilai yang datang dari Barat, tetapi “mindset” yang
menghunjam dalam psikologi umat sehingga membentuk suatu komitmen yang medalam.
Dengan kata lain, demokrasi harus diterjemahkan dalam skema nilai yang hidup
dalam sebuah masyarakat – demokrasi perlu bergerak ke level berikutnya, yaitu
“dimuqrathiyya” (terjemahan Arab dari kata democracy). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar